Selamat datang di Kota Asap!

Hari ini, aku akan membawamu melihat-lihat Kota Asap dengan berjalan kaki. Berbeda dengan kota-kota lain yang mungkin pernah kamu lihat dalam perjalananmu yang jauh, di Kota Asap trotoar menjadi tempat bagi segala sesuatu yang bukan pejalan kaki.

Dan—lihat! Bukankah ini lucu?

Pohon-pohon rindang tumbuh tepat di tengah-tengah trotoar—memecahkan semen dan beton, membuatnya retak-retak setiap beberapa langkah. Di Kota Asap, kamu akan melihat orang-orang menari di atas trotoar, seperti meniti tali seraya melompat-lompat menghindari halang-rintang: tiang-tiang, rambu-rambu, barang-barang dagangan, penjaja makanan, motor yang diparkir melintang, jalan-jalan yang berlubang, kotak pos, gardu listrik…

Bersiaplah melompat terkejut ketika suara klakson yang memekakkan berteriak di telingamu dan roda-roda menggerung di belakangmu. Semua ini biasanya akan disertai sumpah-serapah yang menyuruhmu ‘minggir’ ke dua sisi: kamu bisa melompat ke dalam parit untuk menghindar atau melompat ke jalan raya yang ramai dengan mobil-mobil yang melaju kencang.

Ya, di Kota Asap, kamu akan menemukan pejalan kaki terserempet motor serta tertabrak gerobak dorong di trotoar. Aku sering membayangkan garis kapur putih digambar di atas beton, menandai posisi tersungkur pejalan kaki yang hanya ingin tergesa tiba di tujuan, menunggu kawan, atau sekadar melangkah sembari menikmati pemandangan.

Tapi seperti kamu tahu, terkadang Kota Asap menyimpan kebaikan yang tidak kelihatan.

Di musim hujan, misalnya, jika beruntung, kamu akan terhimpit bersama ratusan motor di atas trotoar yang kotor, becek, lengket, dan penuh tanah, dikelilingi asap yang mencekikmu jika terhirup. Kemudian kamu akan mundur sedikit, sedikit, sedikit, ketika orang-orang merangsek ke arahmu, mendesakmu, hingga kamu menabrak gerobak penjaja nasi goreng yang dinaungi terpal biru.

Dari balik wajan penggorengan yang berdesis itu, sepasang lengan sawo matang mengulurkan bangku-bangku plastik yang sudah retak dan kakinya hilang satu, memberi isyarat padamu dengan matanya, kemudian berkata, “Duduk saja, tunggu di sini, nggak apa-apa, kok, duduk saja… ayo, silakan… sepertinya hujannya masih lama…”

Hanya pada saat-saat seperti inilah, di Kota Asap, mereka yang beruntung dapat membedakan karbonmonoksida dari embun asap*.

*)embun asap adalah embun halus seperti asap yang biasa kamu lihat pada malam hari.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dan langkah-langkah kita adalah detak yang menahan waktu agar berjatuhan sedikit lebih pelan. Seperti gerimis yang bisa nampak sebagai jarum-jarum halus atau butiran embun—tergantung seberapa cepat jantung kita berdegup.

I’ll close my eyes, I’ll find you by following my heartbeat… dan buatku, itu adalah detak sepatumu pada aspal. Pada jalanan yang panas, kering dan berdebu. Pada hari-hari hujan yang becek, kotor dan lengket. Pada genggaman tangan yang harus terpisah sekejap ketika pohon besar meretakkan trotoar; tumbuh di tengah-tengahnya seperti sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Hei—hati-hati! Dan kita menghindari lubang ketika ada. Sepeda motor yang tiba-tiba merangsek dari belakang. Meniti jalan sempit yang dipenuhi penjaja makanan agar tidak terjatuh ke dalam selokan. Meraih satu sama lain ketika terantuk. Lihat itu! Menunjuk ke berbagai arah ketika pandangan jatuh hati pada pintu-pintu dan jendela. Mengendap-endap menghindari pasangan-pasangan yang tengah berpelukan di taman, lalu melompat-lompat di sekitar danau yang diterangi lampu-lampu kecil. Memandangi daun-daun gugur dan kaki-kaki kita yang berjalan beriringan.

+ Kita sudah berjalan lama, apakah kakimu sakit?

– Tak apa, selama ada kamu tak mengapa…

Dan kita pun terus berjalan.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Kamu sunyi dalam hiruk-pikuk itu. Mataku bertanya. Aku tidak baik-baik saja, jawabmu dalam sebuah kedip yang lelah. Aku tahu. Dan kita mencari sepi untuk meringkus sesak. Matamu sembap. Jelaga itu lekat padamu seperti sesuatu yang pernah. Seperti sesuatu yang sudah.

Setiap perpisahan membawa luka sendiri-sendiri. Lukamu sudah dimulai sejak awal kalian bertemu. Pada segala yang terasa tidak seharusnya. Mengetahui akhir ceritanya sejak mula ternyata tak bisa menjadi pengurang rasa sakit ketika kamu sampai pada halaman terakhir. Sesuatu yang sudah diduga masih tak bisa membuat tangismu reda ketika waktunya tiba.

Aku tidak hendak menghiburmu atau membuatmu tertawa. Aku hanya akan duduk diam di sini dan membiarkanmu menangis. Selama yang kamu perlu. Because tears are words the heart can’t say.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Twitter bisa menjadi sumber kebajikan yang luar biasa. Episode kecil yang terekam di Twitter sore ini antara @litaaja dan @arisaja bisa memberikan ilustrasi bagi pepatah di atas. Ya, hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin. Janganlah terburu emosi 😀

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Just because some people are smiling in a cheerful-looking way, it doesn’t mean that they live an easy life. Just because some people look depressed and carrying around a huge black cloud on top of their head everywhere they go, it doesn’t mean that they live the most miserable life.

Everyone has got their own problems. My problems are not bigger than yours, yours are not bigger than mine. To think of my problems as something that’s bigger-than-yours or yours as bigger-than-mine is such a selfish thought.

But no matter how fucked-up your life could be, it’s you—and only you who could decide:

You can wail around—screaming and crying until your eyes popped-out from the socket, like the image of that girl in Tim Burton’s The Melancholy Death of Oyster Boy. You can drink a bottle of Southern Comfort to comfort you or curse with your mouth shut. Or you can listen to angry songs on your iPod in maximum volume while sipping a cup of hot coffee in a cafe somewhere, smiling to the passers-by.

And whatever you do, whatever you choose, I won’t judge you. Because that, too, is selfish. And I’m not into fishy stuff.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

hujan bulan juni.

sepotong hati.
menghanyut 4.2 juta kaki.
merinai sendiri.
lalu terhenti;
pada sesuatu merupa muara:

kamu.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Jim Lynch, 2005 | 272 halaman

The Highest Tide adalah salah satu novel paling cantik, sunyi, dan manis yang pernah saya baca. Mungkin buku ini bisa menjadi bahan bacaan yang menyenangkan untuk melewati akhir pekan 🙂 Di Gramedia juga sudah tersedia edisi terjemahannya.


The Highest Tide
berkisah mengenai Miles, anak lelaki berusia 13 tahun yang insomnia dan jatuh cinta pada laut.

Miles tinggal di rumah kecil dekat teluk di Puget Sound, dan dari matanya; Miles memukau kita semua dengan kisah-kisah indah mengenai laut dan pantai; makhluk-makhluk laut seperti keritip dan kerang-kerangan, pasang-surut, ikan-ikan, bintang laut–juga mengenai Angie; gadis muda beranjak dewasa yang ‘bermasalah’ dan terpaut beberapa tahun lebih tua darinya.

Gadis yang dicintainya.

Suatu malam, Miles yang biasa-biasa saja menemukan bangkai hewan laut raksasa terdampar di pantai, dan kehidupannya yang tenang seketika menjadi bising dan hiruk-pikuk. Miles yang bukan siapa-siapa dan hanya seorang anak canggung dari teluk berubah menjadi sorotan media massa.

Dalam hingar-bingar itu, Miles tak menghiraukan decak kagum yang ditujukan padanya dan malah menarik dirinya pada kehidupan laut. Pada perempuan tua yang sekarat. Pada keluarganya yang retak. Pada Angie yang terjerumus ketika tengah mencari identitas diri. Dan di tengah perjalanan ini, Miles menemukan kebahagiaannya sendiri.

Kebahagiaan yang sunyi, tenang, dan tidak berteriak. Kebahagiaan yang menebar tanpa suara, seperti taburan gula halus di atas kue tart.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ada mereka yang belajar dan percaya setelah mengalami. Ada yang belajar dan percaya cukup setelah melihat atau bersentuhan dengan mereka yang telah mengalami.

Sama seperti kita tahu bahwa tak bijaksana menusukkan ujung jari ke dalam dua lubang stopkontak–tanpa perlu benar-benar merayakan sensasi gelenyar listrik mengaliri tubuh terlebih dahulu.

Kita juga bisa tahu dan percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja — bahwa apapun yang kita perlukan niscaya akan dicukupkan; karena satu-satunya hal yang dibutuhkan untuk percaya adalah: percaya. Dalam If I Sit in My Own Place, Rumi bertutur:

I know that God will give me my daily bread. There is no need to run about and waste my energies needlessly. In fact, when I gave up any ideas of money, food, clothes, of satisfying physical desire, then everything began to come to me naturally.

Memang, rasanya kurang bijaksana menggantungkan kebahagiaan dan masa depan kepada orang lain — atau benda lain. Karena manusia berubah. Waktu berlalu. Ketika kita bergantung pada segala yang berada di luar kendali kita, maka takkan pernah ada yang terasa benar. Kebahagiaan itu bisa didapatkan hanya dengan memandangi bunga liar yang tumbuh cantik di tepi jalan atau harus dengan pesiar dengan yacht di Laut Mediterania. Saya selalu berpikir tak ada yang salah dengan keduanya, namun merasa bahwa orang-orang pada kelompok pertama lebih beruntung dari yang terakhir. Bukankah menyenangkan jika kita bisa berbahagia hanya karena hal-hal yang sederhana?

When I run after what I think I want, my days are a furnace of distress and anxiety; if I sit in my own place of patience, what I need flows to me, and without any pain.

From this I understand that what I want also wants me, is looking for me and attracting me; when it cannot attract me any more to go to it, it has to come to me. There is a great secret in this for anyone who can grasp it.

Bukankah dalam hidup saya sudah berkali-kali dikecewakan, hanya untuk menemukan bahwa kekecewaan saya adalah bagian dari kebahagiaan besar di depan? Semuanya seperti perjalanan kilas-balik yang bisa saya tertawakan kini (dan sungguh, menertawai diri sendiri adalah sesuatu yang melegakan), sementara perjalanan berikutnya masih menunggu dalam waktu yang belum dijamah langkah kaki.

Bagaimana di usia belasan saya jatuh hati pada seorang lelaki secara diam-diam dan menunggunya hingga belasan tahun, berharap ada sebuah keajaiban terjadi sehingga saya bisa mengutarakan perasaan saya dan mengalami hari-hari yang dihabiskan berdua saja dengannya — untuk kemudian menemukan bahwa: setelah belasan tahun, saya akhirnya diberikan satu kesempatan itu…

dan menyadari bahwa saya tidak sungguh-sungguh jatuh cinta padanya. Bahwa apapun perasaan yang saya miliki terhadapnya, jelas itu bukan cinta.

Ini seperti menginginkan sesuatu sedemikian hebat, mendapatkannya, kemudian menyadari bahwa kita tidak membutuhkannya. Bahwa ternyata, bukan ini yang kita cari. Mungkin saya lambat belajar, karena dibutuhkan belasan tahun untuk menyadarkan saya mengenai hal ini — atau belasan tahun inilah yang membuat saya sabar, pelan-pelan, tidak terburu, tidak tergesa. Membuat saya menghargai hal-hal kecil. Membuat saya mengetahui bahwa apa yang saya butuhkan dan inginkan tidak abadi, dan akan terus berubah seiring dengan berlalunya waktu. Membuat saya kini menikmati sensasi lain dari jatuh cinta yang membuat saya tertawa dan menangis; bukan hanya menangis, bukan hanya tertawa.

Atau seperti saat-saat saya begitu percaya diri bahwa saya akan masuk ke perguruan tinggi impian — sehingga tidak mendaftar ke universitas lain; dan mendapati kenyataan dalam selembar koran bahwa: saya tidak lulus. Bahwa pada detik-detik terakhir, saya — yang berkali-kali mewakili sekolah dalam kompetisi debat (dan menang) ini, menghadapi kemungkinan tidak melanjutkan ke bangku kuliah selama setahun karena sudah tidak ada universitas yang membuka pendaftaran. Tetapi… masih ada satu universitas lagi yang membuka pendaftaran untuk jurusan yang saya minati. Pendaftaran gelombang terakhir. Maka saya putuskan mengikuti ujian masuk, dan lulus.

Dan bagaimana di universitas ini saya akhirnya bisa mengikuti berbagai kompetisi debat, lagi — termasuk satu kompetisi besar tahun itu melawan mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi impian saya; di mana saya tidak lulus ujian masuk. Dan tim saya… menang; dan sejak saat itu tim debat kami menjadi begitu kuat dan solid, memenangkan beberapa kompetisi lagi, sehingga saya mendapatkan tambahan ‘uang jajan’ dari kampus — dan mendapatkan beasiswa untuk 2 tahun terakhir di kampus TEPAT ketika keluarga saya tengah membutuhkan dana yang agak besar untuk sesuatu hal; dan orang tua saya mulai sedikit cemas memikirkan pembayaran uang kuliah saya berikutnya.

Dan bahwa dari teman kampus juga, dalam 2 tahun terakhir itu saya mendapatkan pekerjaan sampingan mengajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk sebuah perusahaan Korea, sehingga saya masih bisa menutupi kebutuhan sehari-hari sendiri. Ketika murid Korea saya ditugaskan ke Singapura bersama keluarganya, saya terancam tak punya pekerjaan sampingan. Saya mengirimkan lamaran ke beberapa agensi periklanan untuk kesempatan magang (karena saya menyukai pekerjaan kreatif), tetapi tak ada yang menjawab. Tetapi kemudian seorang kawan memperkenalkan saya dengan kawannya, dan akhirnya, sambil menyelesaikan skripsi, saya membantu-bantu bekerja di sebuah agensi periklanan digital — dan menyadari bahwa saya tak punya kesempatan menyalurkan ide-ide kreatif saya di sini.

Dan dunia seperti termampatkan dalam jarak beberapa meter saja, ketika dari kubikel saya, saya melihat manajer saya: dan dia adalah suami dari dosen saya. Sang manajer pernah mendengar mengenai saya dari istrinya, dan mengetahui hasrat saya akan pekerjaan yang memungkinkan saya mengeksplorasi ide-ide kreatif saya, ia menyarankan saya untuk mencoba melamar pekerjaan di sebuah konsultan humas yang tengah membutuhkan personil. Saya mencari informasi mengenai konsultan humas ini, dan mendarat di sebuah blog milik seorang perempuan — yang sudah bekerja di perusahaan tersebut selama 1 tahun, menikmati pekerjaannya dan mencintainya.

Maka saya memutuskan untuk mencoba — tak ada salahnya, bukan?

Dan mengetahui di kemudian hari bahwa saya diterima di perusahaan tersebut, salah satunya adalah karena ” Habis CV yang kamu kirimkan adalah CV paling kreatif yang pernah kami lihat!”

Perempuan yang blog-nya saya baca itu kemudian menjadi salah seorang sahabat baik saya. Bahkan ketika ia sudah meninggalkan perusahaan ini, saya masih berada di sini. Masih bersenang-senang dan bermain-main dengan warna, desain, tulisan, serta ide-ide yang melompat-lompat di kepala; dan sering dikatai ‘nista’ karena merasa kangen keramaian kantor ketika sedang libur panjang.

Dan hidup hingga saat ini tak hentinya turun, naik, turun, naik, menghujam, memuncak, datar, turun, naik, turun, naik… tetapi jika saya memampatkan setidaknya 15 tahun ke belakang ini dalam paragraf-paragraf di atas: saya akan melihatnya, kecewa, air mata, bahagia, yang tumpang-tindih.

Tapi entah bagaimana, saya selalu tahu bahwa saya akan baik-baik saja dan bahagia. Melangkah ringan sebagaimana adanya, sebagaimana yang sudah. Meyakini bahwa walau langit gelap, matahari itu selalu ada, dan tidak pernah berhenti bersinar, meskipun sedang tidak kelihatan.

Say there are ten worries nagging at you; choose the one about the Divine World, and God personally will see to the other nine worries without any need for you to do anything. There is a great secret in this for anyone who can grasp it.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Kamu sendiri sudah merupa kejutan yang datang terlalu dini. Bahkan hingga kini; setiap harinya aku masih selalu bisa menemukan percik kembang api dengan warna dan konfigurasi berbeda yang kamu ledakkan di langit hatiku.

Ini seperti perjalanan pukul tiga dini hari, dengan bantal di pangkuan dan gelap di luar; dari balik jok belakang mobil yang temperaturnya terlalu dingin. Saat kita menengadah pada terbitnya matahari di puncak tertinggi candi; alih-alih mengagumi yang terbenam.

Yang sudah lalu adalah pelajaran, yang belum terjadi adalah pengharapan.

Ini bukan tentang malam yang dihabiskan dalam terang lilin, denting piano, dan secangkir Earl Grey yang terus mengalir dari dalam poci — empat belas lantai di atas tanah. Ini juga bukan tentang pagi berkabut di atas kapal Cina menyusuri pilar-pilar kapur dengan pantai-pantai kecilnya yang berpasir putih.

Ini tentang kamu — yang setiap harinya masih saja meletakkan semangka kuning di rak yang kulewati ketika hendak menuju anjungan tunai mandiri. Kamu, yang menebarkan wangi butter dan karamel setiap kali aku sedang mengantri karcis di bioskop. Kamu, yang hadir dalam secangkir chilled matcha dan hazelnut latte atau menyelinap ke dalam kisi-kisi pendingin ruangan di kamarku sebagai aroma therapy Country Walk.

Ini tentang kamu — yang dengan lucunya masih seringkali menyamar menjadi tomat ceri dalam semangkuk saladku.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP