Selamat datang di Kota Asap!
Hari ini, aku akan membawamu melihat-lihat Kota Asap dengan berjalan kaki. Berbeda dengan kota-kota lain yang mungkin pernah kamu lihat dalam perjalananmu yang jauh, di Kota Asap trotoar menjadi tempat bagi segala sesuatu yang bukan pejalan kaki.
Dan—lihat! Bukankah ini lucu?
Pohon-pohon rindang tumbuh tepat di tengah-tengah trotoar—memecahkan semen dan beton, membuatnya retak-retak setiap beberapa langkah. Di Kota Asap, kamu akan melihat orang-orang menari di atas trotoar, seperti meniti tali seraya melompat-lompat menghindari halang-rintang: tiang-tiang, rambu-rambu, barang-barang dagangan, penjaja makanan, motor yang diparkir melintang, jalan-jalan yang berlubang, kotak pos, gardu listrik…
Bersiaplah melompat terkejut ketika suara klakson yang memekakkan berteriak di telingamu dan roda-roda menggerung di belakangmu. Semua ini biasanya akan disertai sumpah-serapah yang menyuruhmu ‘minggir’ ke dua sisi: kamu bisa melompat ke dalam parit untuk menghindar atau melompat ke jalan raya yang ramai dengan mobil-mobil yang melaju kencang.
Ya, di Kota Asap, kamu akan menemukan pejalan kaki terserempet motor serta tertabrak gerobak dorong di trotoar. Aku sering membayangkan garis kapur putih digambar di atas beton, menandai posisi tersungkur pejalan kaki yang hanya ingin tergesa tiba di tujuan, menunggu kawan, atau sekadar melangkah sembari menikmati pemandangan.
Tapi seperti kamu tahu, terkadang Kota Asap menyimpan kebaikan yang tidak kelihatan.
Di musim hujan, misalnya, jika beruntung, kamu akan terhimpit bersama ratusan motor di atas trotoar yang kotor, becek, lengket, dan penuh tanah, dikelilingi asap yang mencekikmu jika terhirup. Kemudian kamu akan mundur sedikit, sedikit, sedikit, ketika orang-orang merangsek ke arahmu, mendesakmu, hingga kamu menabrak gerobak penjaja nasi goreng yang dinaungi terpal biru.
Dari balik wajan penggorengan yang berdesis itu, sepasang lengan sawo matang mengulurkan bangku-bangku plastik yang sudah retak dan kakinya hilang satu, memberi isyarat padamu dengan matanya, kemudian berkata, “Duduk saja, tunggu di sini, nggak apa-apa, kok, duduk saja… ayo, silakan… sepertinya hujannya masih lama…”
Hanya pada saat-saat seperti inilah, di Kota Asap, mereka yang beruntung dapat membedakan karbonmonoksida dari embun asap*.
*)embun asap adalah embun halus seperti asap yang biasa kamu lihat pada malam hari.
13 Responses
Aku gak mau ke kota asap 🙁
LOL *cubit-cubit*
I (heart) Kota Asap
kayaknya familiar dengan suasana Kota Asap di cerita ini 😀
errrr *clingak-clinguk* 😀
wah bagus sekali ya nulisnya ….
jengkel sih dengan kondisi kota asap, tapi bisa aja ketemu “kebaikan yg tidak kelihatan”
keep writing yaa 🙂
tiap liat avatarmu aku rasanya pingin lari-lari di padang rumput mengejar kupu-kupu pakai gaun musim panas 😀 #lebay
maksudnya bandung ya? atau jakarta? 😀 maap ngga mudeng, hehe
jakarta, nad 😀 kalo bandung mah kota kembang atuh 😀
memang sih, di kota asap, para pejalan kaki kurang dihargai.
aku benci asap..tapi aku terlanjur mencinta jakarta…
biarpun bgtu aku tetap suka kota asap,, hee
untung aku di kota coto