time to release the balloons and watch them disappear again – @beradadisini

Ketika kamu ingin melepaskan sesuatu, visualisasikan gambaran ini: ikatlah sesuatu yang ingin kamu lepaskan itu pada sebuah balon gas, kemudian lepaskan balon gas itu, dan saksikan ketika ia naik semakin tinggi ke langit dan akhirnya hilang dari pandanganmu.

Saya lupa di mana pernah membacanya. Tetapi saya pernah mencoba hal ini beberapa kali. Tidak berhasil untuk semua hal, tetapi cukup berhasil untuk beberapa hal. Ada saat-saat ketika saya ‘melepaskan balon-balon’ itu ke udara (biasanya saya memvisualisasikan hal ini sebelum tidur di malam hari) menyaksikannya menghilang di langit, dan setelah itu perasaan saya menjadi lebih ringan. Seakan sebagian beban sudah terangkat dari pundak.

Melepaskan harapan adalah salah satunya. Berpegang pada harapan bisa jadi hal yang menyenangkan, sekaligus memberatkan. Ada kalanya kita melihat hal-hal yang belum tuntas, impian-impian yang belum sempat diwujudkan, keinginan-keinginan yang belum terpenuhi, semua yang kita harapkan akan terjadi, tetapi tidak—atau belum menjadi kenyataan. Terkadang ini menjadi beban tersendiri. Seakan kita punya setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Terkadang kita lupa bertanya: apakah kita perlu mempertahankan semua ini? Ataukah kita perlu melepaskan beberapa ke udara sehingga kita bisa melangkah dengan lebih ringan? Ini sama halnya dengan terus-menerus membeli baju-baju baru; sampai lemari pakaian kita penuh sesak, hanya karena kita tidak tega membuang baju-baju lama yang hampir tak pernah dipakai lagi. Sama halnya dengan keinginan. Harapan. Cinta. Angan-angan.

Sebelum daftarnya menjadi semakin panjang, mungkin ada baiknya kita menarik napas sejenak. Melihat dengan lebih jernih. Bayangkan bahwa dalam satu periode waktu, kita hanya bisa menyimpan 3 buah balon harapan di tangan. Apa saja yang akan kita genggam, dan balon-balon mana saja yang akan kita lepaskan?

Belakangan, saya merasa balon-balon saya mulai memenuhi ruang. Ia berceceran mulai dari kamar tidur, koper, kolong tempat tidur, meja kerja, jalan raya, sampai sudut hati. Jadi, nanti malam, sudah saatnya saya melepaskan beberapa ke udara dan menyaksikan mereka naik, naik, naik terus… sampai hilang dari pandangan.

We can’t have everything we want. Dan saya masih belajar pelan-pelan, untuk bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Sulit, memang. Dan mungkin masih akan selalu ada sedikit air mata yang tumpah. Tapi tak apa. Esok mungkin masih menawarkan kejutan-kejutan yang akan membuat saya tertawa bahagia.

Yang penting saya sudah menyediakan ruang. Ruang untuk balon-balon baru yang masih akan berdatangan dari waktu ke waktu.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Enam tahun meninggalkan banyak hal di belakang, sekaligus menjanjikan banyak kesempatan di depan. Perpisahan dan pertemuan yang diabadikan di sini menjadi semacam catatan atas hidup yang tidak pernah bisa ditebak bagaimana bermulanya, atau bagaimana berakhirnya.

Enam tahun yang lalu, saya menulis karena saya tidak bisa tidak menulis. Karena saya cinta. Karena hanya itu yang saya pikirkan ketika membuka mata di pagi hari dan menjelang tidur di malam hari: saya ingin menulis dan merekam hidup dengan jari-jemari saya di atas papan ketik, tak peduli apakah ada yang membacanya ataupun tidak.

Enam tahun yang lalu saya menulis karena saya sedih. Karena saya kecewa. Karena saya marah. Karena saya bahagia. Karena saya patah hati. Karena saya jatuh cinta.

Enam tahun yang lalu, catatan-catatan ini dimulai. Dan bagi mereka yang selalu ada sejak saat itu hingga kini, maupun bagi mereka yang hadir di tengah-tengah atau pada perjalanan masa kini, terima kasih. Terima kasih banyak.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Probably bokeh gives you a mellowy feeling because it represents the blurry sight you get when you see things through teary eyes | @beradadisini

Saya ingin mengirimi kamu hujan. Hujan yang sangat lebat jika saya sedang terlalu kangen. Hujan rintik-rintik untuk menyapa kamu dari balik jendela ketika kamu penat. Saya ingin meniup awan hitam ke atas kotamu. Meninggalkan bayang-bayang gelap di atas pucuk kepalamu ketika kamu berjalan pulang; lalu membasuh wajahmu dengan rintik pertama ketika kamu sampai di ambang pintu.

Saya ingin mengajakmu memandangi hujan. Melihat tetes-tetesnya dekat-dekat dari balik kaca yang berembun, berlomba menggambari jendela dengan jari-jemari kita yang tak pernah berhenti bergerak selagi kita berbicara. Lalu ketika tetes-tetesnya semakin menderas, saya ingin menyeretmu ke jalanan yang basah. Kita akan berlarian di bawah hujan—tertawa-tawa ketika pada beberapa kesempatan kita nyaris terpeleset di sisi-sisi jalan yang licin. Kita akan bermain: menjejakkan kaki kuat-kuat di atas kubangan agar bisa menciprati satu sama lain.

Ketika dingin sudah merayapi kita lambat-lambat, saya akan mengajakmu menepi sebentar di sebuah kedai kopi yang buka 24 jam. Ada dua cangkir kopi hangat di atas meja, kertas-kertas tisu, serta suara kita mengisi celah-celah di udara. Malam berganti pagi—dan kita bahkan tak menyadari bahwa sejak lama, hujan sudah berhenti.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Bina Shah, 2011 | 296 pages

Beberapa tahun terakhir ini, saya tertarik pada novelis-novelis India seperti Lahiri, Umrigar, Divakaruni, juga Bhagat. Ada sesuatu yang magis dari tulisan-tulisan mereka, kisah-kisah universal yang dibalut dengan nuansa tradisional yang kental. Sejak saat itu, saya memiliki ketertarikan khusus pada novel-novel dari Asia Selatan. Sayang, tak banyak penulis modern dari luar India yang saya ketahui. Namun sepulangnya dari Pakistan, saya menerima bingkisan dari Bina Shah, penulis novel Slum Child. Begitu membuka halaman pertama dan membaca kalimat pertamanya, saya tahu bahwa saya tidak akan bisa meletakkan buku ini lagi sebelum membacanya sampai habis.

Tidak mudah menjadi gadis Kristen miskin di daerah kumuh di Karachi, Pakistan. Tetapi di sanalah Laila tinggal, di Issa Colony yang kotor dan tidak menjanjikan apapun, termasuk masa depan. Laila gadis yang bersemangat dan cerdas. Hidup bersama ibu, ayah tiri, kakak perempuan yang sakit-sakitan dan adik-adik lelaki tirinya, Laila mencoba menemukan tempatnya di dunia. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai hal, termasuk tentang keberadaan Tuhan.

Ketika Jumana—kakak perempuan Laila—meninggal dunia karena TBC, dan ibu mereka dilanda depresi berat, ayah tiri Laila terbujuk untuk menjual keperawanan Laila. Mendengar rencana ini, Laila pun minggat dari rumah, meminta perlindungan kepada majikan ibunya—sebuah keluarga Muslim yang kaya-raya di daerah elit Karachi. Bekerja sebagai pengasuh anak, kini Laila pun harus bergelut dengan sebuah dunia yang berbeda 180 derajat dari dunia yang ia tinggalkan. Di sinilah ia merasakan debar-debar cinta pertama dan memberanikan diri bermimpi mengenai masa depan; namun kemudian menyadari bahwa pada akhirnya, ia harus memilih ke mana ia hendak “pulang”.

Slum Child merupakan sebuah novel yang sedih, sekaligus kuat. Dari mata kanak-kanak Laila, kita diajak melihat kehidupan di daerah kumuh secara apa adanya, tanpa emosi berlebih. Interaksi Muslim-Kristen, orangtua-anak dan golongan kaya-miskin dikisahkan secara lugas, tanpa terjebak dalam stereotipe. Slum Child menyadarkan kita bahwa kebaikan bisa muncul dari tempat-tempat yang paling tidak disangka-sangka. Dan novel ini adalah salah satu novel yang membuat saya sungguh-sungguh tersenyum, juga menitikkan air mata ketika membacanya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Saya memang terkadang ceroboh. Meletakkan barang-barang secara sembarangan, kemudian melupakannya selama beberapa waktu, hingga suatu hari panik mencari-cari sesuatu yang tak ada di tempat semula. Ada kalanya, saya pulang naik taksi dan duduk di jok belakang, memandangi lampu-lampu gedung yang menyala dari balik jendela, lalu menyadari bahwa saya masih meninggalkan tas di kantor dan hanya membawa telepon genggam. Kali lain, saya bangkit terburu-buru dari tempat duduk hingga roda kursi melindas jempol sendiri.

Seseorang pernah bilang: The past is a nice place to visit, but certainly not a good place to stay. Tetapi saya sering ceroboh menyimpan masa lalu. Membiarkannya tercecer berantakan, sehingga saya sering tersandung dan jatuh ke atasnya ketika sedang tidak hati-hati. Saya juga suka ceroboh dalam memutar ulang kenangan. Ketika ia berputar, terkadang saya meninggalkannya sebentar ke belakang untuk membuat secangkir kopi. Lalu pergi melihat-lihat buku Murakami. Dan begitu saja, saya lupa. Tanpa sadar, kenangan itu terus berputar di latar belakang selagi saya melanjutkan hidup: mandi, tidur di bis, makan, membeli bunga, bekerja, melamun, cuci kaki.

Saya juga sering ceroboh meletakkan hati saya di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Terkadang saya menitipkannya di suatu tempat, lalu lupa mengambilnya kembali ketika saya sedang membutuhkannya. Terkadang saya meninggalkannya begitu saja ketika tengah merasa terbebani, kemudian sibuk mencarinya ketika sedang merasa terlalu sendiri. Kali lain, saya sedang begitu terburu-buru; lekas-lekas memasukkan hati saya ke dalam koper dan berbalik pulang, kemudian baru menyadari bahwa saya lupa meninggalkan separuh hati saya di tempat yang baru saya tinggal pergi.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Di sini, kita harus berhenti. Sedikit hati-hati. Menunggu waktu yang tepat untuk menyeberang. Ada sesuatu yang tengah kita tuju di depan. Mungkin sekarang segalanya nampak buram. Dan dari sini, cahaya di ujung sana mungkin tidak begitu kelihatan. Tetapi terkadang, kamu hanya harus percaya bahwa ada sesuatu yang indah di tempat yang akan kita datangi nanti. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku pun tak tahu pasti apa yang akan menyambut kita di ujung jalan. Cuma satu hal yang pasti:

di sana, akan ada aku.

Jika itu cukup buatmu, pejamkan matamu, genggam tanganku, dan bersama, kita akan menyeberang meninggalkan masa lalu.

*) based on a photograph by Nico Wijaya

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dua puluh delapan adalah tentang sekian banyak perjalanan. Perjalanan hidup. Perjalanan hati. Dan koper yang tak pernah tersimpan lama-lama di dalam lemari.

Dua puluh delapan adalah langkah-langkah ringan untuk lebih menjadi diri sendiri. Untuk berhenti hidup sesuai dengan ekspektasi orang lain terhadap diri kita, tapi hidup sesuai dengan ekspektasi kita akan diri kita sendiri.

Dua puluh delapan adalah serangkaian episode datang dan pergi, datang dan pergi, tentang mereka yang terlepas, tentang mereka yang kembali, tentang kesempatan-kesempatan yang hadir satu-satu setiap kali. Tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan yang terpapar dalam satu garis lurus.

Dua puluh delapan adalah lensa kamera yang dijepretkan berkali-kali, mengabadikan semua yang tak bisa disimpan hanya dalam ingatan; musik-musik Lenka, Owl City dan Imogen Heap; pergantian panas, mendung dan hujan di bawah rumah kaca; wajan serta panggangan, juga baris demi baris liqueur cupcakes; summer dresses dan negeri-negeri eksotis.

Dua puluh delapan adalah kembali menikmati kesenangan menjadi “geek”. Kacamata yang tidak-plus-tidak-minus dan cardigan warna-warni. Catatan-catatan tentang wormhole, Einstein, teori Genesis|Nirvana, serta dunia paralel Michio Kaku. Puluhan buku dari tempat-tempat yang jauh. Kotak cat air dan buku sketsa. Earphone. Prosa-prosa pendek berumur tengah malam hingga adzan subuh.

Dua puluh delapan adalah menjadi bebas dan sedikit tidak pedulian: ‘So what? This is my life, anyway!’ – kemudian mengerti bahwa bahkan dengan menjadi diri sendiri, kita sesungguhnya sudah sangat dicintai. Dan diberkati.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Senin pagi. Sepertinya kita masih saja berjalan sendiri-sendiri. Aku pun menjadi semakin terbiasa akan sekian perjalanan yang dilalui sendirian. Sendirian seperti waktu. Ia adalah teman yang baik. Sendirian selalu membuatku merasa ringan. Segalanya menjadi lebih sederhana. Nggak ada yang perlu diperbincangkan atau diperdebatkan. Nggak perlu lari mengejar atau lelah menunggu. Sendirian membuatku bebas melakukan apa yang diinginkan. Bebas berdiam diri sambil memandangi langit sepanjang malam tanpa perlu memikirkan apakah ada yang akan merasa terabaikan. Bisa berlama-lama melakukan banyak hal dan menikmati momen tanpa takut terlambat memenuhi janji dengan seseorang.

Kamu selalu bilang, kamu takut sendirian. Aku nggak tahu kenapa demikian. Sendirian itu bisa jadi menyenangkan, selama kamu nggak kesepian. Kamu bilang, mungkin itu karena aku memilih untuk sendirian. Sementara untukmu, sendirian adalah kutukan. Entahlah. Tapi… begini. Ada sebuah kutipan dari film Bones. You can love many, but there will only be one you love the most.

Katakanlah, aku baru pulang ke rumah sehabis lembur. Pukul 12 malam. Aku mandi, memakai piyama, membaca buku sebentar, kemudian tidur menjelang pukul satu dinihari. Pukul tiga pagi, telepon genggamku berdering. Kamu. Kamu bilang, kamu butuh aku, sekarang. Untuk datang ke tempat kamu berada. Dan kamu tahu, kan? Aku nggak akan bertanya lebih jauh lagi. Aku akan bangun dari tempat tidur, ganti baju, memanggil taksi, lalu meluncur untuk menemui kamu. Hanya untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja.

Semua orang punya sosok itu. Sosok di pukul 3 pagi yang membuat kita terjaga dan ingin pergi menjaganya. Kamu juga punya. Dan kamu, adalah pukul 3 pagiku. Karena itu, setiap kali kamu sedang merasa sangat sendirian, kamu tinggal mencari namaku di memori telepon genggammu, lalu menekan tombol itu: call.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Kalau ada satu hal yang selalu kamu jaga baik-baik, itu adalah perkataanmu. “Karena apa yang kita katakan, bisa melukai perasaan orang lain,” katamu. Saat itu, aku cenderung setuju. Tetapi kemudian, hidup mengajariku satu hal. Hal-hal yang kita simpan dalam diam serupa stoples kecil yang terus disesaki cangkang-cangkang kerang. Ada rasa terganggu yang menunggu setiap kali menatap cangkang-cangkang kerang itu bersesakan di dalamnya. Rasa takut ketika cangkang-cangkang di lapisan teratas sudah semakin mendekati bibir stoples. Rasa cemas ketika stoples mulai sulit untuk ditutup. Rasa sakit ketika kita melesakkan cangkang-cangkang kerang itu lebih dalam. Rasa tercekik ketika kita memaksakan tutup stoples agar bisa tetap terpasang pada tempatnya; menghancurkan cangkang-cangkang di bagian bawah stoples menjadi bubuk-bubuk halus dalam prosesnya. Rasa bersalah ketika kulit-kulit kerang di lapisan tengah ikut berderak dan retak saat kita berusaha mengadakan ruang untuk kulit-kulit kerang baru di bagian atas. Waktu menyadarkanku, bahwa hal-hal yang tidak (pernah) kita katakan ternyata bisa melukai perasaan orang lain jauh lebih dalam, sekaligus melukai perasaan kita sendiri. Menimbulkan sesak di dada. Semacam sesak yang tak mau pergi, tak peduli seberapa dalam kita menghirup udara. Lama-lama, ia membuat kita lupa seperti apa rasanya bernapas lega.

 

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP