Semuanya nampak seperti serangkaian “kebetulan”.

Seorang sahabat dari luar kota mengajak saya ‘sowan’ ke sebuah kedai teh mungil di kota tempat saya tinggal. Kedai teh yang belum pernah saya dengar namanya, dan belum pernah saya kunjungi sebelumnya.

Di kedai teh ini, kami berbincang tentang banyak hal, seperti biasa. Dan selagi kami berbincang tentang kamu, pemilik kedai teh itu—seorang lelaki bertubuh kecil dan berwajah ramah, datang menyapa. Ia kemudian menyodorkan sebungkus teh hasil racikannya sendiri, yang disimpannya di dalam sebuah kaleng.

Saya menghirup wangi teh dalam bungkusan itu. Segar; seperti wangi laut dan musim panas.

Lantas, jika kamu percaya bahwa tidak ada hal yang bernama ‘kebetulan’ di dunia ini, maka bukan kebetulan pula jika teh racikan di dalam kaleng itu bernama Fragrance of Love. Campuran dari berbagai jenis teh asli Indonesia dengan chammomile, peppermint, kulit jeruk, dan serai (lemongrass).

***

Nama kedai teh itu Lare Solo.

Kedainya kecil saja, seperti warung-warung teh yang biasa kamu temui di perjalanan menuju Puncak. Letaknya di kawasan Agripark, Taman Kencana, Bogor. Nama pemiliknya Pak Bambang.

“Awalnya saya membuka kedai teh ini karena blog juga. Saya bercerita tentang teh di sana, dan banyak orang yang suka. Jadilah kemudian saya berkenalan dengan kawan-kawan pecinta teh lainnya, dan mendirikan kedai teh ini, kecil-kecil saja,” ujar Pak Bambang sambil menyeduhkan teh untuk kami.

Oh ya, apakah kamu tahu mengenai ‘Jayeng’? Jayeng adalah jabatan non-formal yang diberikan kepada pembuat teh untuk warga. Di setiap hajatan, Jayeng akan menyiapkan puluhan gelas teh untuk para tamu. Mulai dari merebus air, menyeduh teh, menuangkannya ke dalam gelas, memberi gula, dan mengaduknya satu per satu. Jayeng menjadi semacam profesi yang memadukan tradisi, pengabdian, kesungguhan, dan kecintaan akan teh. Ada banyak lagi kisah-kisah menarik seputar teh yang bisa kamu temukan lewat halaman-halaman blog Pak Bambang, atau lewat percakapan santai dengan beliau di Lare Solo.

Dari dapur kecil ini, berbagai macam teh diseduh dan dihidangkan. Ada empat macam teh yang kami coba hari itu: teh tarik, mango sencha, fragrance of love, dan racikan teh peppermint dari Pak Bambang. “Cukup banyak varian teh, bunga-bungaan, dan bahkan peppermint ini masih impor,” Pak Bambang menjelaskan. “Tanah dan cuaca sangat mempengaruhi rasa, jadi walaupun satu varian teh atau bunga-bungaan bisa ditanam di Indonesia, rasa dan aromanya entah mengapa tidak bisa ‘pas’. Misalnya untuk peppermint ini, saya sudah coba daun mint dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi rasa dan aromanya kok beda.”

Menghirup aroma dari bungkusan demi bungkusan teh yang disodorkan Pak Bambang ternyata begitu mengasyikkan. Wangi ‘rumput laut’ yang tercium pada berbagai bungkusan teh hijau pun membuat saya ingin membawanya pulang dan meletakkannya di samping tempat tidur.

Untuk 1 teh tarik dan 3 poci teh yang kami pesan, ditambah dua porsi risoles keju dan daging asap, percaya atau tidak—kami hanya membayar 40ribu rupiah. Surga yang luar biasa bagi para pecinta teh, terutama bagi mereka yang terbiasa membayar 40ribu rupiah hanya untuk sepoci teh di Jakarta. Belum lagi percakapan dengan Pak Bambang, yang nilainya melebihi nominal tersebut. Mulai dari mengenal berbagai jenis teh, upacara minum teh di Jepang, racikan-racikan teh yang pernah dibuat, sampai perjalanan beliau mendirikan kedai teh mungil ini, semuanya menjadi teman minum teh yang sangat menyenangkan.

Suatu hari, saya akan mengajakmu ke sini dan memperkenalkanmu dengan sesuatu yang bukan kebetulan itu. Sepoci Fragrance of Love. Diminum hangat-hangat. Kalau kamu bertanya seperti apa rasanya? Aku akan menjawab bahwa rasanya…

seperti kita.

Care for a cup of tea and me? 😉

_____________________________________________________________________________

This post has been published in AirAsia Indonesia’s 3Sixty magazine, Feb 2015.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

I always love Hong Kong—either for strolling around, shopping, writing and sketching, taking pictures, or simply lazying in an open-air coffee shop, reading a good book—the city never fails me. The people, the weather, the smell of seafood grilled over charcoal, the bustling sound of the crossings, the tramways, the light bulbs… somehow all feels magical and romantic. The city represents everything that’s new and everything that’s old: like the past, present and future, merged into one. It’s also for these reasons Hong Kong came up to be a city with great significance in my book #28Days. This is how Hong Kong looks like from the eyes of the girl character in the book:

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

I have found that the hour of separation does not prevail against the joining of our unearthly selves, as I have known with the first meeting that my spirit was your companion for countless ages | Kahlil Gibran

Lisboa seperti kamu: yang mengejutkan pagiku dengan hal-hal lucu. Kota ini, seperti kamu, juga menyimpan ketertarikan pada seni dan sejarah. Kubayangkan kamu (tepatnya: kita) berkeliling kota dengan kamera di tangan, menyusuri jalan-jalan dan monumen bersejarah mulai dari Avenida de Liberdade  sampai Avenida Almirante Reis: mengabadikan arsitektur-arsitektur Romanesque, Gothic, Manueline, Baroque, juga konstruksi-konstruksi Modern dan Post-Modern yang nampak terlalu terang di bawah terik matahari.

Di bawah Jembatan 25 de Abril yang menghubungkan Lisboa dan Almada, aku akan berkata bahwa jembatan ini mengingatkanku pada gambar-gambar kartu pos dari San Fransisco, dan kamu akan memberitahuku bahwa jembatan ini dibangun oleh American Bridge Company, perusahaan yang sama yang mengkonstruksi Jembatan San Fransisco-Oakland Bay. “Hingga tahun 1974, jembatan ini masih dinamakan Jembatan Salazar atau Ponte Salazar,” kamu akan menambahkan, menunjukkan bahwa kamu sudah melakukan risetmu.

Pada akhirnya, mungkin kamu masih akan terus memilih untuk memotret dan mencatat di notes kecilmu seharian. Sementara aku akan memilih untuk berteduh di sebuah restoran kecil, memotret botol-botol minyak zaitun seraya membaca buku atau menulis surat-surat untukmu (ya, benar, surat-surat itu; surat-surat yang tak pernah kukirimkan).

Kita tak perlu bersama sepanjang waktu. Di akhir hari, pada saatnya, kita toh akan saling mencari dan menemukan: mungkin dalam sepiring salmon yang dibakar, atau di antara helai-helai parutan wortel berwarna oranye segar.

Selepas makan siang, aku berlari-lari menghindari panas matahari dan mendaki menuju Feira da Ladra atau “Thieve’s Market”, pasar loak di Sao Vicente de Fora, dekat Alfama, tak jauh dari the National Pantheon, Gereja Santa Engracia.

Pasar ini buka setiap Selasa dan Sabtu, dari subuh hingga matahari terbenam. Orang-orang menggelar dagangan mereka di atas koper-koper tua, meja-meja kecil, di atas tikar, juga di dalam mobil: asesoris kuno, CD-CD lama, buku-buku antik, baju, sepatu, lukisan, keramik… ah, kamu akan suka pemandangan ini!


Di sinilah aku bertemu anak lelaki kecil itu; yang tengah menemani ibunya berjualan lukisan-lukisan di atas keramik. Ia sendiri tengah melukis. Tangannya mengoleskan kuas di atas lembaran sebuah buku sketsa. Ia tersenyum lebar ketika melihatku berjongkok memilih-milih keramik. Dengan tangannya, ia menunjuk kamera yang tergantung di leherku, menunjuk dirinya sendiri, kemudian menirukan gaya orang memotret.

“Me? Taking pictures of you?” saya bertanya sambil membalas senyum lebarnya.

Ia mengangguk, lalu melihat ke arah kamera dengan percaya diri: matanya besar dan berbinar-binar.

Ia mengingatkanku padamu: seseorang yang meruntuhkan dinding di sekelilingnya, kemudian mengejutkanku dengan segala sesuatu yang tiba-tiba. Seperti pertanyaan-pertanyaanmu yang tak bisa diduga arahnya, seakan kita sudah pernah saling mengenal jauh sebelumnya, seperti teman lama: seakan-akan kita memang bukan dua orang yang baru pertama kali ini bertemu muka. Tetapi begitulah, ada kejutan dan keramahan itu, juga sedikit kepolosan dan ketidakpedulian pada diri anak lelaki itu—yang membuatku teringat padamu.

Tiba-tiba aku rindu saat-saat terakhir kita bersama itu…

Aku mengingatnya seperti aroma gula, mentega, dan kayu manis yang menguar dari Pasteis de Belem (ah, dan kamu juga selalu suka pastries semacam ini)—manis, hangat, lekat.

Angin sore meniup rambutku ketika aku berjalan melewati lift Santa Justa di Chiado, sebelah tenggara Praca Dom Pedro IV Square, yang dibangun arsitek Perancis kelahiran Portugal, Raoul de Mesnier du Ponsard—murid Gustave Eiffel (tak heran kalau struktur bangunan ini mirip dengan Menara Eiffel). Kalau saja kamu ada di sini, kita akan naik ke atas sana, ke restoran Italia di puncaknya, Bella Lisa Elevador—menyesap secangkir kopi pelan-pelan sambil mengabadikan pemandangan indah itu: Rossio Square, kastil, sungai…

dan kamu.

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Aku jatuh cinta pada Lagos, kota pantai kecil di mulut Sungai Bensafrim—membentang sepanjang Lautan Atlantik di Algarve, Portugal Selatan.

Dari terminal bis, aku sudah bisa melihat jembatan yang membentang menuju pantai, serta jalan menanjak ke perbukitan, tempat rumah-rumah musim panas dengan dinding-dinding putih dipenuhi wisatawan selama musim liburan. Aku jatuh cinta pada warna-warni terang di jalan-jalan yang kulewati: spanduk, lapak-lapak penjual baju, atap-atap rumah, jemuran, juga langit yang berawan.

Lagos adalah kota yang lucu. Kamu bisa mengitarinya berkali-kali dan selalu menemukan sesuatu yang baru: restoran, toko es krim, penjual sepatu, juga seorang ibu yang membuatkanku tato ‘Om’ di pergelangan kaki dengan henna.

Are you a Buddhist?” tanyanya.
Aku menggeleng, “I just like it,” jawabku sambil tersenyum.
Where are you from?”
“Indonesia,” jawabku.

Ia nampak terkejut, kemudian ia mengisahkan perjalanannya semasa muda dulu: betapa ia dan suaminya sudah mengelilingi pantai-pantai di Indonesia dan menyelam di sana. Bali, Lombok, Bunaken, Flores. “Itu dulu sekali,” katanya. “Indonesia sangat indah. Saya ingin kembali, tetapi sekarang mungkin harga tiket sudah mahal. Saya juga sempat mendengar kerusuhan di sana, semoga Indonesia sudah damai, ya.”

Ini adalah kota yang ingin kutinggali selama beberapa bulan. Aku akan pergi ke pusat kota, berbelanja buah dan sayur, mengunjungi toko buku. Ini adalah kota di mana aku bisa membeli es krim di toko kecil, lalu duduk di taman, di bawah pohon, di depan air mancur, pemandangan laut di sisi kananku; sambil membaca The Wind-Up Bird Chronicle-nya Murakami.

Ini adalah kota di mana penjaga toko yang sempat melihatmu kemarin akan tersenyum, dan pengemudi taksi yang sempat mengantarmu tadi pagi melambai dan berseru padamu dari depan alun-alun. Ini adalah kota di mana orang-orang tidak berbicara bahasa Inggris, tetapi mereka bercakap dengan mata, tangan, juga bibir yang bergerak naik membentuk lengkungan menyenangkan. Ini adalah kota di mana aku bisa pergi ke benteng-benteng tua setelah selesai membaca, duduk di taman yang teduh, memandangi burung-burung laut yang sesekali turun dan menulis di sana sampai jenuh.

Untuk menghilangkan penat setelah mengitari kota seharian, aku bisa berlari ke pantai dengan kaki telanjang, lalu menceburkan diri di air yang dingin.

Menjelang pukul delapan malam, aku akan kembali ke rumah musim panas di atas bukit, memandangi senja yang turun, lalu bercakap denganmu lewat tombol-tombol telepon genggamku.

Quisiera que estuvieras aqui,

H

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Melangkah keluar dari terminal bis di Jerez, aku merasa seperti berada di dalam komik Lucky Luke. Kota ini seperti mati. Begitu sepi, begitu kering. Tak ada orang di sekitar. Debu-debu beterbangan dibawa angin, terkadang segerumbul semak kering menggelinding di jalanan. Aku menyusuri kota kecil di Cadiz ini untuk mencari kebun-kebun anggur: bodega. Sejak dulu, Jerez telah menjadi pusat industri anggur, dengan ekspor sherry ke seluruh dunia.

Jalan-jalan yang sepi membuatku melompat masuk ke dalam taksi. “Toko-toko yang buka… tempat banyak orang-orang…” dan pengemudi taksi itu mengatakan, “Central!”. Maka meluncurlah kami ke bagian pusat kota. Sepanjang jalan, toko-toko tutup dan berdebu. Di ‘pusat kota’ terdapat sekitar tiga buah restoran yang buka. Maka aku mampir di sana untuk menyantap paella, sambil memperlihatkan peta kepada pelayan di sana. Di mana saja bodega yang buka pada jam-jam ini?

Pelayan itu melingkari bodega-bodega di petaku dengan pena. Maka sehabis makan siang, aku berjalan meninggalkan pusat kota, melewati komidi putar yang cantik dan tak berkelip, juga patung pejuang di alun-alun yang sendirian. Semuanya begitu sepi, begitu hening. Bodega pertama yang terdekat dan dilingkari pena adalah sebuah rumah tua seperti kastil, dengan halaman yang dipenuhi ilalang dan rumput-rumput tinggi. Pintu gerbang besarnya (yang mengingatkanku pada adegan-adegan telenovela), terkunci dan dirantai. Mungkin bodega ini sudah lama bangkrut.

Menyusuri jalan-jalan yang tetap sepi, sandal jepitku putus sebelah. Dan Jerez adalah kota di mana tak peduli berapa banyak uang yang kau punya—meski kau mampu membeli sandal jepit Burberry, kau tidak bisa menemukan toko yang buka dan menjual sandal jepit pada pukul tiga sore. Aku mencoba melangkah dengan telanjang kaki di jalan yang bersih, tetapi panasnya matahari membuatku berlompatan di atas aspal. Akhirnya sandal jepit itu diikat ke kakiku. Begitulah. Jika ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa dibeli dengan uang, salah satunya adalah: sandal jepit di Jerez.

Untungnya tak jauh dari sana, ada sebuah bodega dengan gerbang terbuka: Bodega Tio Pepe. Dengan kereta merah lucu, aku dan rombongan wisatawan, juga sepasang kekasih (yang pria punya wajah mirip Yesus), mengitari bodega itu—yang dipenuhi pucuk-pucuk anggur.

Aku ingin menunjukkan pola-pola cahaya ini padamu: permainan dari atap rambatan anggur dan sinar matahari yang meninggalkan lingkaran-lingkaran indah di dinding. Kamu bilang, “Berikan aku foto-foto!”

Jadi aku ingin menunjukkan padamu botol-botol dengan desain yang lucu ini,

satu tong anggur yang khusus dibuat untuk Jose Saramago, salah satu pengarang favoritku,

lapisan jamur yang mengubah jus anggur menjadi minuman beralkohol,

juga tangga dan gelas kecil ini. Bodega Tio Pepe juga terkenal dengan keluarga tikus yang tinggal di salah satu sudut ruang penyimpanan anggur mereka. Tikus-tikus ini dulu menjilati tetesan anggur yang tumpah dari tong. Dan sampai kini, keluarga Happy Mice masih berdiam di Tio Pepe. Sesekali mereka muncul untuk naik tangga dan minum anggur, juga menyantap keju atau biskuit yang ditinggalkan di tengah ruangan.

Cheers!

Quisiera que estuvieras aquí,

H

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

We build a bridge of hope from memories. It stretches from here to there—connecting you and me, the structure’s as still as our faith.

Ada beberapa jembatan di Sevilla, yang dibangun menjelang La Seville de la Exposición Universal de 1992. Yang paling terkenal di antaranya adalah Quinto Centenario (mereka bilang banyak kecelakaan yang terjadi di sini), juga jembatan Barqueta dan Alamillo—yang dirancang oleh arsitek kenamaan, Santiago Calatrava. Jembatan-jembatan itu mengingatkanku pada jarak di antara kita. Jarak yang terentang di antara dua hati. Mereka memberikan harapan—jembatan-jembatan itu, seperti mengatakan bahwa jarak selalu bisa diseberangi.

Sevilla, good! Good! Dance! Flamenco! Very good! Barcelona, flamenco, not good!” kata Salvador bersemangat. Dengan bahasa Inggris yang patah-patah, Salva—demikian ia biasa dipanggil, memperagakan tarian flamenco di atas trotoar yang ramai sebelum menutup pintu taksinya.

Tetapi aku tidak menonton flamenco selama berada di Sevilla, juga tidak mengunjungi Plaza de Toros yang terkenal itu (kamu tahu, kan, aku tak terlalu suka membayangkan ratusan banteng yang sudah mati di arena di dalam sana itu, dalam sebuah pertarungan yang menurutku tak seimbang). Aku menghabiskan dua hari di Sevilla untuk pergi ke kebun raya,

mencelupkan churros ke dalam cokelat,

lalu berjalan-jalan berkeliling kota ketika semua orang tengah siesta. Rasanya seperti berjalan-jalan di kota mati, tanpa penghuni.



Matahari di bagian selatan Spanyol menyorot panas—merambat pelan dari dataran sepanjang sungai Guadalquivir yang melintasi kota dari Utara ke Selatan.  Kulitku mulai terasa perih. Sunglasses-ku berembun. Tapi tak mengapa. Aku merasa puas karena bisa memotret dengan bebas: rumah-rumah, gang, gereja, jalanan, juga atap-atap tanah liat, tanpa harus menghindari kepala orang-orang yang tiba-tiba saja lewat.

Kemudian, begitu saja, aku menemukan Basilica de la Macarena, yang menyimpan patung The Virgin of Hope (Nuestra Señora de la Esperanza). Orang-orang lokal menyebutnya La Macarena, imaji pelindung para matador dan kesayangan kaum gipsi.

Matador kelahiran Sevilla, Joselito, menghabiskan sebagian besar harta kekayaannya untuk membelikan empat butir batu permata bagi sosok Sang Perawan yang dipahat Pedro Roldán pada abad ke-17 itu. Ketika Joselito tewas di atas ring pada tahun 1920, La Macarena—dengan lima butir air mata yang bergulir di pipinya, didandani sebagai “janda” selama sebulan.

Aku melangkahkan kaki ke dalam gereja yang gelap itu, duduk di sana, dan berdoa. Ya, aku memang bukan Katolik, tetapi bukankah—seperti Hafiz, kita percaya bahwa kita selalu bisa berdoa di mana saja? Karena bukankah Tuhan, seperti cinta, ada di mana-mana, selama kita percaya?

Dan begitulah.

Apa yang mengada di antara kita akan tetap ada, selama kita percaya. Selama hati kita berkelip dalam jeda-jeda terang-gelap, seperti kode Morse yang disampaikan lewat cahaya senter di malam hari:

..   .– .. … ….   -.– — ..-   .– . .-.. .-..

.- -. -..   ..   .– .. … ….   -.– — ..-   .– . .-. .   …. . .-. .

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

You hold me tight, but I’m a dancing kite.
The wind catches me at night, tosses me lightly out of sight.
The stretch of the string’s a distance we need to work on.
But just grab me, hurry, before I fell to the ground.

Patagonia Bar di La Rambla 116 mungkin tak terbiasa kedatangan tamu pada pukul 10 pagi. Para pelayan masih sibuk menyapu lantai, juga menata meja dan kursi. Sementara Olivier—si pemilik bar juga masih mengelap gelas-gelas basah dengan wajah mengantuk. Bau alkohol menguar di udara ketika ia berbicara (“Want some cocktails?”). Mungkin ia belum tidur sehabis berpesta-pora semalaman. Di Barcelona, klub-klub baru mulai ramai menjelang pukul dua pagi, dan pesta sesungguhnya baru dimulai pada pukul tiga dini hari.

“Aku suka memandangi orang-orang yang sama sekali asing,” pernah kukatakan padamu hal ini suatu hari. “Dan aku akan bertanya-tanya serta menyusun cerita dalam benakku: siapa mereka, apa yang mereka pikirkan, akan ke mana mereka setelah ini, hal apa yang pernah mereka alami di masa lalu yang membuat mereka menjadi seperti sekarang ini?”

Misalnya lelaki dengan anjingnya itu.

Mungkin hidupnya tak selalu seperti itu. Mungkin dulu ia punya kawan-kawan. Mungkin anjing itu datang kemudian, dan mereka berdua bertahan: ia tak ingin lagi sendirian, anjing itu mencari sedikit makanan dan perlindungan. Kemudian keduanya sadar, bahwa mereka saling membutuhkan. Yang satu membuat yang lain merasa lebih baik. Dalam hidup, terkadang itu cukup. At least, you have a reason to live.

Kamu bilang, kamu mengerti. Kamu pun terkadang mempertanyakan hal yang sama, meski mungkin tak sekerap aku. Satu hal yang tak kukatakan kepadamu: aku juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu, dan mereka-reka cerita tentang kamu dalam benakku. Aku sadar ada begitu banyak hal tentangmu yang tidak kuketahui hingga saat ini.

Seperti bapak tua yang tengah merapikan perhiasan-perhiasan di sebuah kios dekat dermaga, aku pun kemudian merapikan pertanyaan-pertanyaan untukmu dalam kotak-kotak kategori: hidup, cinta, keluarga, sahabat, masa-masa sulit, karir… dan begitu seterusnya, seperti dalam kolom-kolom astrologi.

Sore harinya, dari sebuah kedai kopi di kelokan Double Beates—aku menangkap sosok seorang lelaki yang tengah merokok bersandar di beranda bangunan apartemen yang terletak persis di seberang tempat dudukku.

Lalu aku bertanya-tanya mengapa ia berdiri di sana membelakangi jalanan di bawahnya. Ia justru memilih untuk menghadap ruangan tempat ia sebelumnya berada. Apa yang dilihatnya di dalam sana? Seorang perempuan yang tengah tertidur, barangkali? Televisi yang menyala dan menayangkan siaran berita? Ataukah mungkin ia memang tidak tengah memandangi apa-apa?

Dan kamu, apa yang sedang kamu lakukan saat ini? Apa yang kamu pikirkan ketika kamu bersandar di ambang jendela apartemenmu pada pagi hari, menikmati sinar matahari? Apakah kamu akan memandang ke luar, ke jalanan ramai di bawahmu—atau ke dalam ruangan? Apakah kamu akan bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan saat itu, di mana aku, dan apakah aku tengah memikirkanmu seperti kamu yang tengah memikirkanku?

Kamu selalu bilang bahwa hidup ini lucu. Penuh dengan hal-hal sederhana yang tak pernah kamu duga keajaibannya. Aku juga berpikir begitu. Termasuk tentangmu. Tentang hal-hal yang tak pernah melintas di benakku: tentang hari ketika aku sedang tidak mencari apa-apa dan kemudian menemukanmu itu, juga tentang tanda titik dua dan kurung tutup ketika kamu tahu aku akan bertandang ke Camp Nou. Jadi hal-hal sederhana semacam pemandangan rumput  yang menghijau, tiang-tiang gawang bercat putih, serta bangku-bangku stadion berwarna biru-kuning itu juga menjelma lucu di mataku. Karena semuanya membuatku teringat kamu.

Malam harinya, aku menjengukkan kepala ke dalam galeri Hector Fernandez—yang terletak tepat di seberang apartemenku. Seorang perempuan sedang berlatih melukis di sana. Ia tersenyum ketika melihatku, kemudian kembali menunduk menekuni pekerjaannya di atas kanvas, dikelilingi cat minyak dan akrilik (tidakkah kamu suka bau cat semacam ini?).

Aku, aku sudah melukismu berkali-kali dalam benakku (hanya kamu, bukan kita—karena kita rasanya terlalu dini). Dalam benakku ada kamu: sendiri, duduk di sebuah kedai kopi, menunggu. Sesekali kamu akan membersihkan lensa kameramu lalu melihat foto-foto yang sudah kamu ambil hari itu. Kemudian kamu akan merasa sedikit bosan, lalu memandang ke sekelilingmu (juga ke arah pintu).

Kamu akan melihat orang-orang, lalu-lalang, atau duduk berpasangan. Dan kamu akan mulai mempertanyakan siapa mereka, apa yang mereka pikirkan, akan ke mana mereka setelah ini, hal apa yang pernah mereka alami di masa lalu yang membuat mereka menjadi seperti sekarang ini…

Awalnya kamu tak memperhatikan ketika pintu depan berdenting terbuka.

Tetapi beberapa detik kemudian kamu menangkap bayangan itu dari sudut matamu: seseorang berjalan mendekat, bergegas menghampiri mejamu. Kamu mengangkat wajah dan tersenyum ketika melihatku berdiri di hadapanmu. Aku akan membalas senyummu, mencuri satu sesap dari cangkir kopimu, lalu berseru: “Baiklah, sekarang tanyakan padaku semua pertanyaan-pertanyaan itu!”

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dan aku menengadah pada suatu pagi. Kota asing di negeri asing. Tetapi langit selalu membuatku merasa tak terlalu jauh dari rumah. Darimu.

Mereka menyebutnya Iberia, diambil dari kata dalam bahasa Yunani Kuno Ιβηρία (Ibēría). Temuan di dalam gua prasejarah di Altamira dan peninggalan arkeologis di Atapuerca ribuan tahun sebelum Masehi menunjukkan bahwa manusia modern telah menetap di dataran Iberia, di sepanjang sungai Ebro, atau Ibērus. Kini dataran itu membentang dari Punta de Tarifa di Selatan ke Estaca de Bares Point di Utara, mewadahi Spanyol, Portugal, Andorra, juga Gibraltar, dengan Cabo da Roca di Barat dan Cap de Creus di Timur.

Ini adalah sebuah pagi di Barcelona. Dari sebuah apartemen di lantai atas Double Beates, tak jauh dari riuh-rendah La Rambla—jalanan paling terkenal di kota. Kamu tahu, Picasso, Miró, dan Hemingway dulu biasa berjalan-jalan di atasnya, lalu minum-minum di Bar Marsella di Carrer de Sant Pau, 65 atau London Bar di Carrer Nou de la Rambla 34.

Pagi itu, ada pintu yang membuka ke beranda. Menghadap ke gang sempit yang disesaki toko kelontong, galeri seni Hector Fernandez, juga kantor-kantor (aku mengintip seorang perempuan yang sedang duduk di meja kerjanya, dikelilingi buku-buku dan alat tulis).

Ada orang-orang berbicara, berteriak, suara rantai sepeda, juga salak anjing di kejauhan. Aku berdiri di sana, memandangi. Secangkir kopi hangat di tangan, memikirkanmu.

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Kindness is like electricity. It keeps flowing wherever it finds a connection | Bina Shah, Pakistani’s writer & columnist

What have you heard about Pakistan?

If all that came to mind is the images of bombings, killings, corruption, Moslem extremists, natural disasters, poverty and terrorist attacks, well, you were just like me. Until four days ago, that is, when I landed in Karachi (Pakistan’s City of Bright Lights) and realized that the country has a lot more to tell than what we’ve seen in news reports.

The top of my memory list about Pakistan is the genuine warmth and hospitality of the people. It brushed over me like a sweet nostalgia of being in my own home country. The friendly gesture seeped gently and silently from the side street of Karachi, the market, to the security guards at the hotel lobby. When we were hitting Karachi’s bustling street on midday and taking pictures of a colorful tuk-tuk, the driver turned his head to us, made a peace sign with his hand, and shot us a pleasant smile. At Zainab market, overhearing Dita and me speaking in Indonesian, the shopkeeper told us how he adored Indonesian batik and wished to sell it in Pakistan (which he couldn’t do, unfortunately, due to high customs duty). It’s impossible not to feel optimistic and hopeful when there’s such friendliness around; lifting your mood as you go along.

The second is the positive energy radiated by Pakistan’s younger generation I met during the Social Media Summit. I have faith in Pakistan today, as I have faith in Indonesia 5 – 10 years ago, when things turned ugly. I mean, we’ve been dealing (and still dealt) with more or less the same thing: bombings, killings, corruption, Moslem extremists, natural disasters, poverty and terrorist attacks.

I might have little faith in our government or in the way they rule the country, but I have faith in my fellow Indonesians, especially the younger generation. They’re the ones eager to become a part of a solution instead of being a part of the problem. Maybe, we’ve been so tired of being pessimistic and cynical about a lot of things, and decided to do something about it instead. While our younger generation came up with amazing initiatives like #IndonesiaUnite, Indonesian Youth Conference, Indonesian Future Leaders, and many more, Pakistani youths have also shown their contribution to their beloved country.

One of them is Mehreen Kasana, 20 years old. When I was in Pakistan, the killing of Pakistani youth Sarfaraz Shah by Rangers personnel outside a park in Karachi made headlines everywhere. I met Mehreen during the Social Media Summit at Avari Hotel. She was standing near the coffee table, holding a sign: Stop Killing Your Own People, after coming back from protesting the brutal act. Mehreen is a media student who is loud and opinionated, and she doodles a lot. Her recent blog posting discussed about stereotyping:

I was arguing with a professor once about stereotypes and how they affect us in both direct and indirect ways on discerning levels. After being viewed as a brown Muslim female from Pakistan, I have had my fair share of instances where apparently wise people ended up asking me questions that deserved exasperated sighs and, sometimes, a good punch or two. e.g. “Do you guys in Pakistan kill every girl who wants to study?” and recently “Does everyone wear those black face net things? I heard you can get shot if you don’t.” >> Read more…

And then, there’s Syed Ali Abbas Zaidi, 25 years old—who came all the way from Islamabad, City of Angels.

We shared a session on using social media for disaster response and management. Ali and his friends started a youth movement in Pakistan, called Pakistan Youth Alliance (PYA). As quoted by The Viewspaper, Ali said:

PYA is silent revolution; it is by no means a rebellious initiative. We don’t like to point, we aim to change! We don’t mean to burn, we aim to spark! PYA is a youth motivated, youth run, and youth centered non-political/ indigenous movement which aims to wake the youth of Pakistan from the sleep of apathy. We have had it with the flaws, we have had it with injustice and we have had it being quiet. The anger in us all boils our inside so much that we wish to scream, but if we come out on streets in an unorganized manner, no one would listen. >> Read more…

Pakistan Youth Alliance played a significant role in 2010 Pakistan floods, when they did online fundraising and distributed donations to different areas blocked by the severe flooding.

And please meet Gibran Ashraf, 25 years old, a journalist at the Express Tribune who interviewed me about Coin a Chance!. When he saw my Canon 550D, we started talking about photography instead.

And this is Khaver Siddiqi, 31 years old. He’s a social media manager in a company called Creative Chaos (don’t you just love the name?). Similar to Indonesia, brands and companies in Pakistan have also started making their way into Facebook and Twitter, especially to reach the younger generation.

This is my new Pakistani sister, Sundus Rasheed, the manager of programming at an English-language radio, CityFM89 in Karachi. She loves Ariel Peterpan and really upset that Ariel is now behind bars. She was one of South Asia’s young leaders who got invited to join International Visitors Leadership Program for Civic and Political Engagement hold by US State Department.

You can’t lose hope seeing these young free spirits in Pakistan!

Sundus (and her sister) took me out at around 1 AM to roam the old town of Karachi. The town was lively in small hours, with lots of twinkling lights and street stalls. People were walking, talking, eating, and I got to taste Pakistani’s dessert made of milk cream, and savored one of the best Pistachio ice cream I’ve ever had in my life! Karachi streets after midnight were still bustling with life. Sundus told me that people are usually sleeping very late. In one stretch of the street, I could see lines of men with pillows and mattresses. And no, they are not the homeless. They are actually masseurs! 🙂

And who can resist the food?

Can you imagine? I didn’t really take pictures of the food one by one because I was too busy salivating and attacking mutton curry and chicken masala! And yes, we’re talking about me—who took pictures of almost any kind of food, but was too absorbed in a parade of delicious meals to take a shot of Pakistani food! And it was mango season! I couldn’t describe how sweet and fresh the mangoes were!

And what about these gorgeous sites:

Mazar-e-Quaid (Urdu: مزار قائد) or the National Mausoleum refers to the tomb of the founder of Pakistan, Muhammad Ali Jinnah. It is an iconic symbol of Karachi throughout the world. The mausoleum (Urdu/Persian/Arabic: mazār), completed in the 1960s, is situated at the heart of the city. [Wikipedia]

And this is the breath-taking view of the Jehangir Kothari Parade:

Seth Jehangir Hormusji Kothari, was a member of the Parsi community and one of prominent philanthropists in Karachi, in the days before the 1947 Partition of India. He is remembered today for the gift of his house and adjacent land for the building of a promenade, known as the Jehangir Kothari Parade,[1] on what was then Karachi’s Clifton beach. [Wikipedia]

And this is The Three Swords monument (Teen Talwar):

This impressive monument can be found in the area of Clifton. Karachi has many landmarks, but the Teen Talwar really stands-out. The three white marble swords symbolize (and are inscribed with the dogma of Pakistan’s founder, Mohammad Ali Jinnah) Unity, Faith and Discipline. (“ittehad, yaqeen-e-muhkam, tanzeem.”) This lovely tribute was commissioned by the former President & Prime Minister Zulfikar Ali Bhutto (Quaid-e-Awam). The abundance of white, good-quality marble in the city’s vicinity has apparently encouraged its wide use for the creation of many monuments, lending a symbolic nature of grandeur & purity. [TripAdvisor]

And here are some shots from Karachi streets:

Hey, remember those days when Indonesia became the “Travel Warning” country? And then Iwan Esjepe and his wife Indah Esjepe came up with the famous sticker we’re so proud of:

Well, let me tell you this: Pakistan is dangerously enchanting!

It was weird how I missed Pakistan instantly the moment I was in Dubai, waiting for my flight to Jakarta. And I just knew that I’d be back. Not only to Karachi, but also to Lahore, to Islamabad and other parts of Pakistan I’ve never seen before. This morning, at work, after feeding the goldfish and making a cup of coffee for myself, I realized how I wished I was still in Karachi: hitting the streets with some new friends, enjoying the food served at street stalls and attacking another cup of pistachio ice cream, watching concerts…

But, the best part of the visit is: that I’ve taken a bit of Pakistan’s spirit within me. And have kept it close to my heart ever since.

—–

*) thank you for everyone I met during Pakistan’s Social Media Summit, organizers, panelists, and participants, for your warm welcome and hospitality, for making me feel like I’m at home. bahut bahut shukriya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP