Aku jatuh cinta pada Lagos, kota pantai kecil di mulut Sungai Bensafrim—membentang sepanjang Lautan Atlantik di Algarve, Portugal Selatan.
Dari terminal bis, aku sudah bisa melihat jembatan yang membentang menuju pantai, serta jalan menanjak ke perbukitan, tempat rumah-rumah musim panas dengan dinding-dinding putih dipenuhi wisatawan selama musim liburan. Aku jatuh cinta pada warna-warni terang di jalan-jalan yang kulewati: spanduk, lapak-lapak penjual baju, atap-atap rumah, jemuran, juga langit yang berawan.
Lagos adalah kota yang lucu. Kamu bisa mengitarinya berkali-kali dan selalu menemukan sesuatu yang baru: restoran, toko es krim, penjual sepatu, juga seorang ibu yang membuatkanku tato ‘Om’ di pergelangan kaki dengan henna.
“Are you a Buddhist?” tanyanya.
Aku menggeleng, “I just like it,” jawabku sambil tersenyum.
“Where are you from?”
“Indonesia,” jawabku.
Ia nampak terkejut, kemudian ia mengisahkan perjalanannya semasa muda dulu: betapa ia dan suaminya sudah mengelilingi pantai-pantai di Indonesia dan menyelam di sana. Bali, Lombok, Bunaken, Flores. “Itu dulu sekali,” katanya. “Indonesia sangat indah. Saya ingin kembali, tetapi sekarang mungkin harga tiket sudah mahal. Saya juga sempat mendengar kerusuhan di sana, semoga Indonesia sudah damai, ya.”
Ini adalah kota yang ingin kutinggali selama beberapa bulan. Aku akan pergi ke pusat kota, berbelanja buah dan sayur, mengunjungi toko buku. Ini adalah kota di mana aku bisa membeli es krim di toko kecil, lalu duduk di taman, di bawah pohon, di depan air mancur, pemandangan laut di sisi kananku; sambil membaca The Wind-Up Bird Chronicle-nya Murakami.
Ini adalah kota di mana penjaga toko yang sempat melihatmu kemarin akan tersenyum, dan pengemudi taksi yang sempat mengantarmu tadi pagi melambai dan berseru padamu dari depan alun-alun. Ini adalah kota di mana orang-orang tidak berbicara bahasa Inggris, tetapi mereka bercakap dengan mata, tangan, juga bibir yang bergerak naik membentuk lengkungan menyenangkan. Ini adalah kota di mana aku bisa pergi ke benteng-benteng tua setelah selesai membaca, duduk di taman yang teduh, memandangi burung-burung laut yang sesekali turun dan menulis di sana sampai jenuh.
Untuk menghilangkan penat setelah mengitari kota seharian, aku bisa berlari ke pantai dengan kaki telanjang, lalu menceburkan diri di air yang dingin.
Menjelang pukul delapan malam, aku akan kembali ke rumah musim panas di atas bukit, memandangi senja yang turun, lalu bercakap denganmu lewat tombol-tombol telepon genggamku.
Quisiera que estuvieras aqui,
H
9 Responses
indah banget kotanya ya 🙂 kebetulan stumble upon blog ini pas lagi jalan2 di google… have definitely kept u in my bookmark! love ur writing too. truthful and beautiful.
thanks so much! ^o^ you should come to Lagos someday! you’ll gonna love it 😉
Reblogged this on Wishstory.
thanks for reblogging it! 🙂
“Ia nampak terkejut, kemudian ia mengisahkan perjalanannya semasa muda dulu: betapa ia dan suaminya sudah mengelilingi pantai-pantai di Indonesia dan menyelam di sana. Bali, Lombok, Bunaken, Flores. “Itu dulu sekali,” katanya. “Indonesia sangat indah. ”
saya suka percakapan ini mbak han
Saya juga suka, dan kaget. Di tengah kota kecil gitu bisa ketemu ibu-ibu yang pernah keliling Indonesia, penyelam pula! ^o^
didalam hatiku bergejolak… aku orang Indonesia dan belum pernah kemana-mana… hanya Jogja, Balikpapan dan Samarinda…:-(
Ke Ambon, deh. Cantik bangettt! Sampe terharu ngeliatnya :’)
iya mbak han… 🙂 saya dulu ke Halmahera, utaranya Ambon.. dan itu seksi sekali pantainya… 🙂