Semuanya nampak seperti serangkaian “kebetulan”.
Seorang sahabat dari luar kota mengajak saya ‘sowan’ ke sebuah kedai teh mungil di kota tempat saya tinggal. Kedai teh yang belum pernah saya dengar namanya, dan belum pernah saya kunjungi sebelumnya.
Di kedai teh ini, kami berbincang tentang banyak hal, seperti biasa. Dan selagi kami berbincang tentang kamu, pemilik kedai teh itu—seorang lelaki bertubuh kecil dan berwajah ramah, datang menyapa. Ia kemudian menyodorkan sebungkus teh hasil racikannya sendiri, yang disimpannya di dalam sebuah kaleng.
Saya menghirup wangi teh dalam bungkusan itu. Segar; seperti wangi laut dan musim panas.
Lantas, jika kamu percaya bahwa tidak ada hal yang bernama ‘kebetulan’ di dunia ini, maka bukan kebetulan pula jika teh racikan di dalam kaleng itu bernama Fragrance of Love. Campuran dari berbagai jenis teh asli Indonesia dengan chammomile, peppermint, kulit jeruk, dan serai (lemongrass).
***
Nama kedai teh itu Lare Solo.
Kedainya kecil saja, seperti warung-warung teh yang biasa kamu temui di perjalanan menuju Puncak. Letaknya di kawasan Agripark, Taman Kencana, Bogor. Nama pemiliknya Pak Bambang.
“Awalnya saya membuka kedai teh ini karena blog juga. Saya bercerita tentang teh di sana, dan banyak orang yang suka. Jadilah kemudian saya berkenalan dengan kawan-kawan pecinta teh lainnya, dan mendirikan kedai teh ini, kecil-kecil saja,” ujar Pak Bambang sambil menyeduhkan teh untuk kami.
Oh ya, apakah kamu tahu mengenai ‘Jayeng’? Jayeng adalah jabatan non-formal yang diberikan kepada pembuat teh untuk warga. Di setiap hajatan, Jayeng akan menyiapkan puluhan gelas teh untuk para tamu. Mulai dari merebus air, menyeduh teh, menuangkannya ke dalam gelas, memberi gula, dan mengaduknya satu per satu. Jayeng menjadi semacam profesi yang memadukan tradisi, pengabdian, kesungguhan, dan kecintaan akan teh. Ada banyak lagi kisah-kisah menarik seputar teh yang bisa kamu temukan lewat halaman-halaman blog Pak Bambang, atau lewat percakapan santai dengan beliau di Lare Solo.
Dari dapur kecil ini, berbagai macam teh diseduh dan dihidangkan. Ada empat macam teh yang kami coba hari itu: teh tarik, mango sencha, fragrance of love, dan racikan teh peppermint dari Pak Bambang. “Cukup banyak varian teh, bunga-bungaan, dan bahkan peppermint ini masih impor,” Pak Bambang menjelaskan. “Tanah dan cuaca sangat mempengaruhi rasa, jadi walaupun satu varian teh atau bunga-bungaan bisa ditanam di Indonesia, rasa dan aromanya entah mengapa tidak bisa ‘pas’. Misalnya untuk peppermint ini, saya sudah coba daun mint dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi rasa dan aromanya kok beda.”
Menghirup aroma dari bungkusan demi bungkusan teh yang disodorkan Pak Bambang ternyata begitu mengasyikkan. Wangi ‘rumput laut’ yang tercium pada berbagai bungkusan teh hijau pun membuat saya ingin membawanya pulang dan meletakkannya di samping tempat tidur.
Untuk 1 teh tarik dan 3 poci teh yang kami pesan, ditambah dua porsi risoles keju dan daging asap, percaya atau tidak—kami hanya membayar 40ribu rupiah. Surga yang luar biasa bagi para pecinta teh, terutama bagi mereka yang terbiasa membayar 40ribu rupiah hanya untuk sepoci teh di Jakarta. Belum lagi percakapan dengan Pak Bambang, yang nilainya melebihi nominal tersebut. Mulai dari mengenal berbagai jenis teh, upacara minum teh di Jepang, racikan-racikan teh yang pernah dibuat, sampai perjalanan beliau mendirikan kedai teh mungil ini, semuanya menjadi teman minum teh yang sangat menyenangkan.
Suatu hari, saya akan mengajakmu ke sini dan memperkenalkanmu dengan sesuatu yang bukan kebetulan itu. Sepoci Fragrance of Love. Diminum hangat-hangat. Kalau kamu bertanya seperti apa rasanya? Aku akan menjawab bahwa rasanya…
seperti kita.
Care for a cup of tea and me? 😉
_____________________________________________________________________________
This post has been published in AirAsia Indonesia’s 3Sixty magazine, Feb 2015.
42 Responses
mau juga dunk saya diajak nge-teh bareng mbak hanny di kedai teh itu.. wah, keluarga saya pecinta teh lho ^^
mau dunk diajak nge-teh bareng mbak hanny di kedai ‘cakep’ itu.. wah, keluarga saya pecinta teh nih. seneng bgt dapet rekomendasi :))
yuk, kita janjian nge-teh di sana 🙂
Terima kasih atas kunjungannya. Tulisannya menarik, dan photonya bagus-bagus. Boleh minta yang Original size? 🙂
tentu saja warna-warna foto-foto ini menggunakan color pallete romantis ala Hanny 🙂
keren
hahahaha, lucu color palette romantis XD emang terlihatnya romantis ya, itu padahal langsung dari kamera kok gak diedit lagi :))
hahaha, masa mau dibilang pakai tecni color.
eh beneran itu tanpa editing, kameranya pake filter apa? masih tetep ngotot nanya nya :))
pakai fix lens 50mm f/1.8 – trus diset yg shady.
pakai 50mm saja DOFnya cakep gitu. Ini karena XDnya atau Hanny behind the XD 🙂
hahahahah. mungkin objeknya juga bagus 😀
boleh. nanti saya kirim ke email, ya! 🙂
aaah sepertinya menyenangkan sekali kakak 🙂 i am a tea lover too 🙂 aaaaah i should be there soon! 😀 hihi
yuk, kita nge-teh di sini! menyenangkan sekali! 🙂
cuma satu kata. Mau! hihi 😀
wah, mau dong diajak maen maen ke sana. Di desa dimana saya tinggal, seorang pembuat teh/peracik teh juga disebut jayeng, mungkin ini setara dengan barista atau bartender 🙂
iya, profesi yang keren! ayo, sini kita ngeteh!
Saya juga baru menemukan padanan untuk ahli meramu teh. Tea Sommelier. Kalau tea blender biasanya digunakan oleh industri teh, untuk meracik teh kering. Tea sommelier menyeluruh pada cara-cara menyeduh dan menyajikan teh.
ah, sama kayak wine jadinya ya pakai istilah sommelier 😀
Teh emang mirip wine. Mulai dari Ketinggian tanaman diatas permukaan laut, atmosfere, soil tanah, hara, dsb sangat mempengaruhi rasa dan aroma teh. Bahkan teh ada juga yang di aging mirip wine, makin tua makin mantap. Cara tastingnya pun hampir mirip.
“Jayeng menjadi semacam profesi yang memadukan tradisi, pengabdian, kesungguhan, dan kecintaan akan teh.”
Jadi inget kebudayaan minum teh Jepang, bocin. Dan di sana dijaga banget — bahkan sampe jadi salah satu seni tingkat tinggi. Kalo bisa dijaga seperti itu untuk Indonesia, pasti keren banget 🙂 Teh kita kan ga cuma sekedar teh kemasan dan teh tubruk. Apalagi Indonesia termasuk produsen teh dan kita juga termasuk bangsa yang suka minum teh.
Artikelnya bagus, dan jadi pengen mampir untuk nyobain 😀 Di Bogor kah, bocin? Tepatnya dimana kah? Jadi penasaran, hehe.
Iya, di daerah Taman Kencana, Kapkap. Tau kan, yang ada Macaroni Panggang? Nah ini di sisi seberang Macaroni Panggang, di seberang taman. Ada kompleks namanya Agripark. Itu kumpulan kedai-kedai kecil gitu, seperti food court outdoor. Kedai Lare Solo ada di situ 😀
Waaah, tau tuh tempatnya 😀 Trims infonya, Bociiiin :* *peluk angkat lempar* XD
Kalau tertarik belajar chanoyu, di JF ada kelas baru mulai April. Daftar langsung ke JF, cari ibu Puput
wah, deket banget ini dari rumah, tapi belum pernah kesana.. *toyor pala sendiri :))*
makin pengen kesana setelah baca review ini 🙂
thanks..
ke sana, dong! siapa tau ketemuan di sana ^^
hihi, iyaaa, bener juga, siapa tau ketemu disana 😀
eh btw, mba Han tau jam operasional buka Kedai Teh ini ngga? aku belum pernah ke Agripark soalnya hahaha, padahal tiap hari pasti lewat Taman Kencana.. *dudul*
kalau nggak salah Lare Solo-nya baru buka sejak makan siang jam 12-an sampai sekitar jam 7-8 an 🙂
ONE WORD….KEREEEEENN…..
argh ini di bogor? ketemuan disini kita gitu sore2?:P klo gwe ke bogor lagi heheheh
waaa..tiap hari ngelewatin..tapi koq ga ngeh ya..deket2 pa Ewok kah?
amazing, ternyata teh mempunyai makna akan nikmatnya rasa, bukan hanya sekedar minuman tetapi filosofinya sangat luar biasa
Pinjem fotonya yaaaa 😉
Silakaaaaan :)) :)) :))
Saya pernah bertemu beberapa kali dengan Pak Bambang dan kebetulan saya banyak menggunakan teh beliau untuk usaha saya. Selain dari teh beliau yang memang tak tertandingi, saya sangat amat kagum dengan Pak Bambang sendiri. Beliau orangnya sangat rendah hati, antusias untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan beliau tentang dunia teh dan amat sabar membantu saya sendiri yang masih junior di industri teh. Satu jenis teh yang pernah beliau perkenalkan ke saya dan tidak akan terlupakan adalah Teh Tie Kuan Yien (CMIIW), teh yang diseduh dengan aftertaste leci dan manis walau tanpa gula. Favorit saya: Silver Needle
Duh, aku belum pernah coba Teh Tie Kuan Yien maupun Sliver Needle! Lain kali ketika bertemu Pak Bambang lagi saya mau minta coba dua teh ini! 😀 Terima kasih sudah singgah di sini! 🙂
Makasih mas Seno. Saya sangat tersanjung dengan pujian anda. Mbak Hanni, yang di Agripark dah tutup, rencana mau dipindah ke Pandu Raya akhir Januari. Nanti kalau dah buka saya kabari, dan saya seduhin Tikuanyin 🙂
Ah, begitu? 😀 Baiklah, aku tunggu kabarnya, ya, Pak! Semoga sukses dengan kedai barunya yang di Pandu Raya 😀 Akan senang sekali kalau bisa diseduhkan teh lagi! ^o^
mau dong di info pandu raya itu di mana .. send by email kalo bole… [email protected] terima kasih sebelumnya
pandu raya itu keluar toll bogor, langsung ambil kiri, arah novotel atau danau bogor raya. Sebelum jembatan belok kanan terus naik ke jembatan. Setelah jembatan itu sudah masuk pandu raya. Lurus terus ketemu bunder putar balik. Lokasi antara Alfamart dan Indomart. Tapi belum buka ya, karena masih banyak urusan. Sementara di Bogor yang buka di Mall Jogja Bogor Junction, di Rafflesia food life lantai 2
saya jadi ikut penasaran.. harus meluangkan waktu sepertinya .. saatnya menculik teman buat ngeteh bareng ke bogor.. >,<
saya sekarang bekerja part time di cafe yang memang mengusung nama TEA HOUSE di bandung di dekat rumah makan sambara. awalnya memang cuma tau ada 4 jenis teh saja, namun kemuadian dari sana saya jd tertarik sekali dengan teh terutama teh dari INDONESIA, kebetulan owner dr cafe tempat saya bekerja juga lebih mempromosikan teh produksi Indonesia yang dr perkebunan di ciwidey. cerita dr mbak HAnny tentang pak bambang semakin menambah hasrat saya untuk belajar tentang teh. boleh juga tuh jd usulan ke boss buat maen kesana. hihihihi