Lelaki itu pernah ragu. Mempertanyakan jalan yang kini ditapakinya. Apakah ini jalan yang benar untuk mencapai tujuannya?
Tetapi bagaimana mungkin seseorang mengetahui apakah jalan yang ia tempuh akan membawanya lebih dekat atau lebih jauh pada tujuannya; jika ia sendiri masih belum tahu tempat macam apa yang hendak ditujunya?
Jadi, apa yang harus dilakukan ketika seseorang berada dalam keadaan seperti itu?
Menapaki jalan yang ada sekarang, tanpa peduli apakah jalan itu akan membawanya lebih dekat atau lebih jauh dari tujuan (yang belum terpikirkan)? Atau berhenti sejenak, berpikir mengenai tempat mana yang hendak dituju, kemudian melihat peta dan mengambil jalan tercepat menuju ke sana?
Jika kita memutuskan untuk berhenti, sampai kapan kita akan berhenti? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun? Jika kita memutuskan untuk berjalan terus, bagaimana jika jalan ini hanya lurus–dan mengantar kita pada tujuan yang tidak kita inginkan? Tetapi, bagaimana jika ada sebuah tikungan di ujung jalan sana, yang bisa mengantar kita menuju tempat tujuan semula?
Mungkin dunia ini adalah sebuah labirin. Sebuah maze. Semakin sering kita berjalan terus, tersesat, terantuk, semakin baik kita mengenal jalan-jalan mana yang harus dilalui, mana yang buntu, mana yang rusak, mana yang berlubang; dan kita pun akan semakin mahir dalam menerka jalan mana yang akan menuntun kita menuju ke mana…
Sehingga ketika suatu waktu nanti kita telah menetapkan tujuan, kita akan tahu kemana harus melangkah. Seperti lelaki itu. Yang terus berjalan, dan pada akhirnya memilih cinta.
2 Responses
…make a choice, don’t look back
(roi)
Yap!
Pada akhirnya adalah sebuah pilihan. Dan, kita hanya harus memilih. Memilih. Tidak bisa tidak.