~ liturgi ~

suatu senja, ada upacara kecil pecah di atas mejaku. upacara-upacara sepatutnya sunyi. seperti doa-doa yang ditasbihkan dalam hati. kata-kata merinai di jendela. aku teringat akan candi-candi. perayaan tanpa suara. mantra-mantra yang mengalun diam di antara nyala ribuan lilin. mengingatkanku pada masa-masa yang jauh. sesuatu yang nyaris purba. orang-orang yang menengadah ke langit. merunduk ke bumi. lalu berdoa. karena mereka ingin. karena mereka ingat. upacara di mejaku adalah serupa pengingat tentang dirimu. juga untuk aku yang menginginkan kamu. namamu berjatuhan di atas kepalaku. ribuan keheningan. seperti doa-doa yang sampai ke tujuan. demi kemudian-kemudian dan kemungkinan-kemungkinan di masa yang akan datang, mataku terpejam. bibirku terkatup. hatiku terbuka.

~ liturgy ~

one evening, a small ceremony takes place on my desk. ceremonies are supposed to be still. like prayers, recited at heart. words are pouring down the window. my mind goes to the temples. soundless celebrations. silent chants, flowing among thousands of candlelights. reminding me of faraway moments. something that is almost ancient. people who look up to the sky. bow down to the earth. then pray. because they want to. because they remember. the ceremony on my desk is a kind of commemoration for you. and for myself, who longs for you. your name is falling on my head. thousands of quietudes. like prayers arriving at their destinations. in the name of upcomings and possibilities in the future, my eyes are closed. my lips are sealed. my heart is unlocked.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Setiap kali ingatan tentangnya berlompatan dalam benakmu, kamu ingin meraih buku sketsa yang diberikan kawan baikmu itu. Isi kepalamu tumpah ke atas kertas dalam berbagai bentuk, tekstur, dan warna. Kata-kata yang berpusar di sekelilingnya: rahasia. Kamu berharap suatu hari nanti kamu bisa menggambar seperti Anna Laitinen, atau Oliver Jeffers. Tetapi sementara ini kamu sudah cukup berpuas diri dengan sebatang pensil arang, tiga macam kuas, dan cat air delapan warna dari sebuah supermarket Jepang.

“The place I like best in the world is beside you.”

Kamu selalu jatuh cinta pada goresan pensil di atas kertas. Kamu berharap ia juga. Temanmu bertanya apa yang kamu lihat dalam dirinya. Kamu bilang kamu suka karena ia selalu bersentuhan dengan dunia. Ia melihat; bukannya menutup mata. Kata temanmu, apa pentingnya bersentuhan dengan dunia. Kamu bilang kamu ingin bersama seseorang yang impiannya menyentuh bintang-bintang, namun kakinya tetap menjejak tanah.

Apa pentingnya menjejak tanah, temanmu kembali bertanya.

Agar kamu mengerti, jawabmu. Ada perbedaan yang besar antara tidak tahu dan tidak mau tahu. Menjejak tanah akan membuatmu merasa lebih rendah hati. Dari para petugas berseragam yang naik-turun seharian dalam lift transparan di sebuah pusat perbelanjaan, selamanya bertanya: “Lantai berapa?” sampai petugas kebersihan di toilet klub malam yang harus menunggui perempuan-perempuan cantik yang terlalu mabuk untuk menyiram bekas-bekas muntahan dari dudukan kloset. Atau petugas pengantar makanan cepat saji yang menembus kemacetan Jakarta dengan motornya di tengah badai, untuk meletakkan sepiring makanan hangat di kubikelmu yang kering dan nyaman.

Kamu menyukainya karena ia juga melihat hal-hal yang dilewatkan banyak orang. Kamu bisa berbincang dengannya tentang nelayan-nelayan di Gaza yang diserang tentara Israel ketika mencoba pergi melaut, juga tentang pencari suaka asal Afghanistan yang disiksa hingga tewas di Pontianak oleh petugas imigrasi. Kamu juga tahu kalian akan selalu bisa berbincang tentang secangkir kopi, buku-buku puisi, lukisan abstrak, film-film festival, juga perjalanan untuk menandai peta ke tempat-tempat yang belum pernah kalian datangi sebelumnya.

Demikianlah. Maka kamu telah menahbiskan rasa sukamu atas dirinya.

____________________________________

:: Jakarta, dari balik jendela. Suatu sore setelah hujan reda.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

I thought I had forgotten. But it all came back again.
Tonight with the first spring thunder. In a rush of rain.
— Sara Teasdale, Spring Rain

#1.

Kau sudah nyaris melupakan sesuatu yang tercecer dalam sebuah perjalanan. Kau nyaris percaya bahwa kau sudah sungguh-sungguh kehilangan. Tentu saja, kau merasa sedih—tetapi kau melepaskannya pada semesta, membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya. Karena bukankah segala sesuatu akan jatuh tepat pada tempatnya, ketika waktunya tiba?

Lalu kemarin semesta mengantarkannya ke hadapanmu: sesuatu yang sempat tercecer dalam sebuah perjalanan, tetapi tidak pernah hilang. Sesungguhnya ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali padamu.

#2.

Ya, tepat dua ratus tiga puluh hari, atau tiga puluh dua minggu, atau lima ribu lima ratus dua puluh jam, atau tiga ratus tiga puluh satu ribu dua ratus menit, atau sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh dua ribu detik kemudian, semesta mengantarkannya ke hadapanmu, begitu saja. Dia, yang kau kira telah hilang tercecer dalam sebuah perjalanan. Yang kau pikir takkan pernah bisa kau lihat lagi seumur hidupmu.

Kau terkejut ketika membuka pintu malam itu, dan menemukannya berdiri di hadapanmu. Kau pun bertanya mengapa tiba-tiba saja dia berada di situ.

“Aku sudah selalu berada di sini sejak semula,” katanya. “Tetapi baru malam ini, pintumu terbuka.”

#3.

Ia bilang, kau sudah menyimpan hatinya sejak dulu. Sejak pertama kali ia melihatmu. Kau tak tahu apakah ia bersungguh-sungguh; tetapi kau senang mendengarnya. Kau bertanya, mengapa kali pertama kalian bertemu itu, ia tidak mengajakmu keluar untuk minum kopi. Ia bilang, ia pikir kau tidak tertarik. Karenanya, ada jeda waktu sedemikian lama hingga ia kemudian memberanikan diri dengan mencoba menghubungimu lagi.

Ia tak tahu bahwa selama ini, ia juga sering melintas dalam benakmu.

Lalu, kau menyadari satu hal. Di dunia ini, pastilah ada begitu banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk jatuh cinta (atau sekadar ngobrol-ngobrol sambil menyesap secangkir kopi) hanya karena terlalu lekas hanyut dalam pemikiran-pemikiran dan prasangka-prasangka mereka sendiri.

#4.

Kau meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka. Orang-orang bilang kau ceroboh, tetapi kau tahu sebaliknya: kau justru sangat berhati-hati. Kau sudah sering terluka. Kau sedang tak ingin terikat pada apapun, pada siapapun. Dia bisa tetap tinggal jika dia ingin, tetapi kau tidak akan menjanjikan apa-apa. Dia bisa pergi jika dia ragu, dan kau tak akan kehilangan apa-apa.

#5.

Kau adalah cermin baginya, dia adalah cermin bagimu. Di dalam dirinya, kau melihat dirimu. Kau bertanya, jika kau adalah cermin baginya, dan ia berdiri di hadapanmu, refleksi macam apa yang akan dilihatnya dalam dirimu?

Ia tidak menjawab.

Tetapi kau pun tak memerlukan jawaban atas pertanyaanmu itu.

#6.

Kau meletakkan namanya di atas lidahmu, menggulungnya dalam sesesap kopi hangat. Lalu kau memainkannya berulang-ulang, mengucapkannya tanpa rasa bosan hingga nama-nama itu melebur dengan detak jantungmu. Kau merasa seperti seseorang yang tengah bertasbih atau berdoa rosario. Sepanjang hari, namanya masih selalu meninggalkan aroma mint dalam rongga mulutmu dan hangat cengkeh di tepian bibirmu.

#7.

Kau melingkari namanya dengan pucuk-pucuk teh. Carnation. Menyeduhnya dengan air mendidih. Kau membiarkannya mendingin di dekat jendela. Jendela tempat kau sering memandangi hujan itu. Ketika wangi teh meruap di udara dan membuat jendela berembun, kau menyesapnya dengan khidmat. Carnation. Aromanya yang kuat akan menghilangkan after-taste mint dan cengkeh yang ditinggalkannya padamu. Kau ingin membasuh dirimu hingga luruh.

#8.

Kau melihatnya sebagai kawan dalam sebuah perjalanan. Kalian memang tak berjalan beriringan, tetapi kau selalu membayangkan sebuah dunia paralel dalam benakmu. Ada kau di sisi sini, ia di sisi sana, dan seperti adegan dalam sebuah film, kalian sesungguhnya tengah berjalan dalam sebuah lingkaran. Tak berawal. Tak berakhir.

Ketika kalian menengadah ke langit malam dan melihat bintang, kalian tengah melihat ke dalam jiwa satu sama lain.

#9.

Pagi ini, kau ingin mengantarkan kata-kata ke depan pintu rumahnya. Kau ingin menjejali kotak posnya dengan huruf-huruf yang akan beterbangan keluar ketika tutupnya dibuka. Kau ingin memenuhi kamarnya dengan aksara-aksara dalam berbagai bentuk dan warna. Lalu diam-diam kau melumatkan beberapa kalimat ke atas bibirnya: sebuah doa. Agar kalian bahagia, berdua; ataupun sendiri-sendiri.

You can be sad for those left or be thankful for those who stay.

——————————————

*) The Art of Looking Sideways is the title of designer Alan Fletcher’s book that was posted by my friend, Astrid Schwarz.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Pada hujan dan lagu-lagu yang berputar dari iPod-ku, juga kilasan tentangmu di balik pelupuk mata yang terpejam: kamu adalah jawaban dari doa-doa yang bahkan belum menyelinap keluar dari perantaraan bibirku.

The journey is my destination. Pada sekian perjalanan yang sudah, akan, dan tidak pernah usai, sesungguhnya setiap perjalanan menujumu adalah perjalanan untuk mengenal diriku.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Pertemuan denganmu itu adalah salah satu dari serangkaian kebetulan yang berjatuhan di atas diri saya beberapa waktu belakangan ini. Dan saya tidak bisa mengeluh. Semuanya adalah rangkaian kebetulan yang menyenangkan. Yang bertahan sebentar-sebentar tetapi meninggalkan kesan yang bisa membuat saya tersenyum-senyum sendiri selama berbulan-bulan kemudian. Yang membuat saya masih saja terheran-heran karena semua yang ada dalam imajinasi saya tiba-tiba menjelma jadi kenyataan.

Dan kita bukannya terlambat. Saya rasa, selama ini, kita selalu bertemu pada saat yang tepat. Ada saat-saat ketika kamu belum siap, ada saat-saat ketika saya belum siap, tetapi pada waktunya kita selalu berpapasan di tengah jalan. Menyusurinya bersama-sama tanpa perlu berjalan beriringan. Bukankah kamu yang pernah bilang bahwa segala sesuatu akan jatuh tepat pada tempatnya jika waktunya tiba?

Bertemu denganmu lagi menjadi sesuatu yang istimewa, karena saya merasa bahwa sekarang saya bisa bercerita padamu tentang apa saja. Pada akhirnya saya menemukan kamu yang bisa membuat saya merasa nyaman menjadi diri saya sendiri dan mengoceh dengan bodohnya mengenai berbagai hal yang bahkan membuat kamu terkaget-kaget setelahnya. Sesuatu yang tak pernah bisa saya lakukan sebelumnya, ketika saya masih berpegangan padamu erat-erat.

Bukankah ini seperti satu lingkaran sempurna? Hidup mengulang dirinya lagi, dan lagi, dan lagi, dan kemudian kamu tertawa begitu kamu sudah mengerti dengan jelas pola macam apa yang ditinggalkannya. Pada akhirnya, kamu paham.

Dan begitulah. Saya menemukan bahwa ada banyak hal yang ditawarkan hidup ke hadapan saya begitu saja, secara tiba-tiba, ketika saya bahkan tidak meminta atau mengharapkannya. Kemudian saya mengerti. Semua doa-doa saya, bahkan doa-doa yang sudah begitu lama tertumpuk berdebu dalam buku-buku harian saya, ternyata selalu didengarkan Tuhan. Hanya saja, jawaban dari semua doa-doa itu baru diantarkan ke hadapan saya beberapa waktu belakangan ini. Dan semuanya dikabulkan sekaligus. Beriringan. Berselang setiap beberapa hari sekali. Membuat saya ingin menangis dan tertawa sekaligus.

Mungkin selama ini, Tuhan hanya menunggu waktu yang tepat. Waktu ketika saya sudah benar-benar siap. Tidak ada yang terlambat. Doa-doa saya dikabulkan tepat ketika saya sudah belajar melepaskan.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dia adalah nada-nada dalam hidupku. Kadang kuat, kadang samar. Tapi pada setiap langkah yang tersesat, aku selalu bisa mendengar nada-nada itu, bahkan dengan mata terpejam. Seperti pasir yang basah, seperti ombak, air dingin yang merendam mata kakiku dan dermaga yang hangat; nada-nada itu menyelimutiku seperti matahari, lautan, dan lengkingan burung-burung pantai di musim panas.

@beradadisini for Lelakiku

Belakangan aku tahu, namamu berarti nada-nada, irama, musik. Begitulah aku akan mengingatmu.

Kamu seperti nada-nada yang diterbangkan angin dari tempat yang sangat jauh. Aku menangkap nada-nada itu ketika sunyi jatuh. Seperti sihir. Aku memejamkan mataku dan mereguk suara-suara yang mengelilingi kepalaku, melingkupi hatiku, merambati jari-jemariku. Seperti Freddie dalam adegan-adegan awal August Rush, aku mendengar musik pada setiap degup jantung, denting sendok dan piring, hela napas, angin, rintik hujan, dekuk burung hantu.

Ada sesuatu dalam nada-nada itu yang membuatku ringan. Aku tidak berjalan, aku melayang.

Kuikuti nada-nada itu (tidak mudah, karena terkadang nada-nada itu memelan dan menghilang ketika suara-suara lain menelan), lalu…

aku menemukanmu.

Tetapi kamu tidak sedang menyanyi. Kamu sedang berdoa. Sesungguhnya, kamu sedang memanggilku.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Tahun 1958.

Novelis John Steinbeck membalas sebuah surat yang dikirimkan anak lelakinya, Thom. Saat itu, Thom tengah jatuh cinta pada seorang gadis bernama Susan—yang ditemuinya di sebuah sekolah berasrama. Steinbeck menulis, “Don’t worry about losing. If it is right, it happens. The main thing is not to hurry. Nothing good gets away.

Tadi Malam.

Pada akhirnya kita bertemu juga, di sebuah rumah pantai dengan pintu-pintu besar. Aku bisa melihat laut dan pasir dari ranjang besar tempatku berbaring tertelungkup, membaca sebuah buku. Kamu berdiri di dekat jendela. Sosokmu bermandikan matahari. Semua putih. Kemeja dan celanamu, gaun pantaiku, sofa, pintu, dinding, seprai, dan bantal-bantal. Segalanya seperti terang dan berkilauan, seperti warna-warna yang biasa kau lihat dengan mata terpejam di bawah sinar terang.

Man.

If the man is known to you, then seeing a man in your dream may reflect your feelings and concerns you have about him.

Pada yang sekejap itu, aku melihatmu dan tidak ingin berpaling lagi. Aku bertanya padamu, di mana kita. Sebuah pulau di Filipina, katamu. Di sini, arus dari tiga tempat bertemu. Belakangan aku mencarinya, hampir yakin bahwa tempat itu sungguh-sungguh ada. Kemudian aku menemukan El Nido, pulau dengan pasir putih dan gua-gua, laguna dan batu karang, 238 kilometer di barat laut Puerto Princessa, ibukota Palawan, Filipina—dibatasi Semenanjung Linapacan di Utara, Laut Sulu di Timur dan Laut Cina Selatan di Barat. Inikah yang kamu maksudkan dengan arus dari tiga tempat?

Beach.

To see the beach in your dream symbolizes the meeting between your two states of mind. The sand is symbolic of the rational and mental processes while the water signifies the irrational, unsteady, and emotional aspects of yourself. It is a place of transition between the physical/material and the spiritual.

Aku mendengarkanmu mengutip puisi-puisi dari masa yang jauh. Kamu mengingatkanku pada Gibran. Rumi. Neruda. Yeats. Dan The Falling of The Leaves pecah di atas bibirmu:

Autumn is over the long leaves that love us,
And over the mice in the barley sheaves;
Yellow the leaves of the rowan above us,
And yellow the wet wild-strawberry leaves.

The hour of the waning of love has beset us,
And weary and worn are our sad souls now;
Let us part, ere the season of passion forget us,
With a kiss and a tear on thy drooping brow.

Bed.

If you are waking up in a different and/or unknown bed in your dreams, then it represents the consequences of the decisions you have made. The dream may also be a pun on the completion of a project and “putting it to bed.” If the bed is made, then it symbolizes security.

Kita bicara hingga langit gelap. Kelak, kamu akan bertanya mengapa kita hanya bicara hari itu. Aku akan menjawab, that’s the sheer beauty of it. Bagaimana kita bisa berbincang tanpa henti selama 12 jam, sambil memandangi pasir dan lautan. Kamu tidak akan menemukan kesenangan semacam ini dalam diri sembarang orang. Temanku bilang, you’ve got to be on the same wavelength. Mungkin demikian. Seperti laut yang berdebur di sana itu. Kita menemukan tanpa pernah saling mencari. Bukankah tak ada yang bisa lebih romantis lagi daripada itu?

Sand.

To see sand in your dream signifies a shift in perspective or a change in your attitude. Consider the familiar phrase, “the sands of time”—in which it may be suggesting that you are wasting your time or letting time pass you by.

Aku memberikanmu kutipan Steinbeck itu, ketika kamu mempertanyakan perihal waktu. Bahwa kita tak perlu terburu-buru. Nothing good gets away. Kamu bilang kita berbicara bahkan ketika kita sedang tidak mengatakan apa-apa. Kita bercakap pada setiap langkah yang tergesa di pagi hari, pada secangkir air putih ketika kita terbangun menjelang dini hari, pada hujan, panas matahari, kerikil dan bunga-bunga ungu yang bergantung rendah dari cabang-cabang pohon di depan rumah seseorang, pada kubah-kubah di angkasa yang menebar kala senja: pada baris-baris kata yang kugoreskan di atas lidahku seusai berdoa.

Sea.

To see the sea in your dream represents your unconscious and the transition between your unconscious and conscious. As with all water symbols, it also represents your emotions. It brings about hope, a new perspective and a positive outlook on life no matter how difficult your current problems may be.

Aku seperti melihat upakara-upakara di sepanjang jalan menujumu. Pada saat-saat seperti ini, sebagaimana pemeluk ritual yang taat, aku hanya bisa percaya. Kita tidak pernah bisa yakin. Tidak ada yang pasti, bahkan untuk sesuatu seperti perasaanmu sendiri. Hingga pagi itu, ketika rangkaian huruf-huruf memecah di udara, turun ke atas dirimu, ke atas diriku, menyesap ke dalam benak kita yang bermain-main di antara jarak ribuan kilometer, menyelimuti kita. Hangat.

Sun.

To see the sun in your dream symbolizes peace of mind, enlightenment, tranquility, fortune, goodwill, and insight. It also represents radiant energy and divine power. Generally, the sun is a good omen, especially if the sun is shining in your dream.

Kita bermandikan cahaya matahari di El Nido waktu itu. Pulau dengan pasir putih dan gua-gua, laguna dan batu karang, 238 kilometer di barat laut Puerto Princessa, ibukota Palawan, Filipina—dibatasi Semenanjung Linapacan di Utara, Laut Sulu di Timur dan Laut Cina Selatan di Barat. Tempat tiga arus bertemu, demikian katamu. Seperti sesuatu yang telah dirajahkan di hatiku pada kehidupan-kehidupan sebelumnya, seperti pengetahuan purba yang sudah tersimpan dalam 4 pasangan basa A, C, G, T dalam DNA-ku jauh sebelum diriku: aku tahu, di sinilah, pada saatnya nanti, kita akan bertemu.

Sampai waktunya tiba,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

>> click here for a reply to #DearBangkok (1): a postcard to remember

Dear Dimas,

Minggu malam di Waterfront Esplanade. Lampu-lampu kota menyala seperti ribuan kunang-kunang. Kita dulu pernah berjalan-jalan di sekitaran sini, berlarian, tertawa, dan menjepretkan kamera.

Jadi, ketika aku menengadah memandangi langit Singapura yang berawan malam itu, aku teringat kamu. Tentang cerita-cerita dan keriaan yang pernah kita bagi di sini. Malam itu angin bertiup kencang, lebih kencang dari biasa. Aku bisa melihat gumpalan awan berarak menjauh, lekas, tinggi di atas kepalaku. Rasanya seperti berada dalam sebuah adegan time-lapse.

I can stare at the sky for hours,” aku bergumam.

I know, right? I just love the sky! Have always loved it since I was a child,” kawanku menyahut. “I’ve always wanted to become an astronaut, but I let go of the dream. In such a young age.”

What happened?” tanyaku.

Kami duduk-duduk di sana sambil mengunyah keripik kentang dan menyesap Chivas dalam gelas-gelas plastik, dikelilingi turis-turis yang asyik memotret di pinggir jembatan. Beberapa dari mereka berpose dengan batok-batok kelapa muda, berciuman dengan latar belakang Singapore River, mendorong kereta bayi dengan satu tangan. Aku jadi teringat ketika kita berpose di Merlion suatu siang, Dim. Mungkin orang-orang juga memandangi kita, tetapi kita terlalu senang saat itu untuk bisa merisaukan apa yang dipikirkan orang-orang.

***

My dad knew that I love the sky so much. So one day, when I was 9, he came home with a bunch of books about the sky and the outer space and galaxies,” kawanku melanjutkan. “Sejak saat itu, aku selalu menengadah ke langit, dan aku melihat pesawat-pesawat luar angkasa, roket, all the space-gadgets I saw in the book. Pada suatu kesempatan, di sekolah, guruku bertanya kepada murid-murid tentang cita-cita mereka ketika mereka besar nanti. Aku jawab, aku ingin jadi astronot. Dan guruku hanya menyeringai dan menjawab: that won’t be possible, you can’t be an astronaut here, not in Malaysia.”

What kind of teacher was that?!!” aku nyaris tidak percaya. “It’s too sad!”

Exactly! I mean, saying such thing to a 9-year-old! Well, that was when I let go of my dream. And you know what? Bulan Oktober 2007, astronot pertama Malaysia, Dr. Sheikh Muszaphar Shukor, bertolak ke luar angkasa dengan roket Russian Soyuz. I couldn’t stop thinking: it could have been me! If only I hold on to my dream! Dan penyesalan terbesarku bukanlah fakta bahwa aku tidak menjadi astronot, tetapi lebih karena aku telah melepaskan mimpiku itu. Who knows, meskipun aku tidak bisa pergi ke luar angkasa, mungkin aku bisa bekerja di NASA, atau semacamnya, doing things that I love, exploring the sky. And most importantly, at least I know I’ve tried.”

Di situlah aku teringat kamu, Dim. Teringat kita.

We need to hold on to our dreams, no matter what.

Kita akan saling melindungi mimpi kita masing-masing dari terpaan sinisme orang-orang yang seringkali mengerdilkan apa-apa yang mereka anggap tidak realistis. Tetapi realita adalah apa yang ingin kita percayai, Dim. Bukan begitu? Kita masih akan menikmati hujan dan bintang dan langit dan awan dan pasir yang basah oleh jilatan ombak, lalu membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Kita masih akan bahagia mengejar mimpi-mimpi kita tak peduli seberapa lama waktu yang kita butuhkan untuk mencapainya.

We have a lifetime to hold on to our dreams, and most importantly, when things get rough, we have each other to hold on to.

Lain kali, ketika kita duduk-duduk di luar dan memandangi langit yang berawan, kita masih akan tertawa-tawa dan memekik riang melihat bentuk-bentuk lucu itu: bola basket, sapi, kue mangkuk, nenek sihir, kepala kucing—bahkan ketika orang-orang lain yang kebetulan lewat hanya melihat segumpal awan.

Love,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Don’t cry because it’s over, smile because it happened.” | Dr. Seuss

Suatu hari kawanmu bertanya: “What’s the worst thing that ever happened to you?”

Tanpa pikir panjang, kamu menjawab: “Being 17.”

Usia tujuh belas (juga dua atau tiga tahun sebelum dan sesudahnya), merupakan masa-masa paling sulit dalam hidupmu. Saat itulah kamu sungguh-sungguh berpikir untuk lari. Meninggalkan semua yang kamu miliki (atau semua yang tidak kamu miliki) di belakang. Memulai kehidupan baru di suatu tempat, di mana tak ada seorang pun yang mengenalmu.

Kamu mulai berpikir dan membuat daftar tentang barang-barang yang akan kau bawa di dalam ranselmu ketika kamu pergi: dompet, uang tabungan, akte kelahiran dan ijazah, buku-buku harian, novel-novel favoritmu, walkman dan kaset-kaset Eminem, juga kertas dan pensil. Ya, banyak kertas dan pensil. Kamu mulai memikirkan apa yang akan kamu makan nanti, di mana kamu akan tinggal, apa yang akan kamu kerjakan (warung makan, loteng atau gudang di rumah seseorang, menjadi pelayan di toko atau restoran).

Kamu juga sungguh-sungguh memikirkan tentang bunuh diri. Tentang siapa yang akan kehilanganmu, apa yang akan kau tuliskan di surat perpisahanmu, cara bunuh diri apa yang bersih, cepat dan tidak menyakitkan. Tentu ini berarti kamu tidak ingin menyayat nadi, menenggelamkan diri, atau terjun dari lantai atas sebuah gedung bertingkat. Mungkin kamu akan memilih arsenik jika kamu tahu di mana dan bagaimana kamu bisa mendapatkannya (lalu kamu tersadar bahwa kamu terlalu banyak membaca novel-novel detektif Hitchcock dan Agatha Christie).

Tetapi kamu tidak.

Tidak lari dan tidak bunuh diri.

Kamu memagari kamarmu dengan tumpukan buku-buku, tulisan-tulisanmu, kertas-kertas dari kehidupan yang lalu, cerita-cerita yang mengisi setiap ruang kosong dalam laci-lacimu, bunyi ketak-ketik di atas keyboard komputermu. Eminem marah dan menangis di dalam kepalamu. Kamu menemukan cara untuk merasa tidak sendirian. Akhirnya kamu bisa merasa bahwa kamu bukan satu-satunya. Kamu mencari lirik-lirik gelap dan sedih itu di Internet, menerjemahkannya menggunakan kamus Inggris-Indonesia, kemudian membacanya lagi berkali-kali hingga kertasnya lusuh dan nyaris sobek karena terlalu sering tertetesi air mata.

Kamu membawa walkman dan Eminem ke mana-mana; juga sebatang pensil untuk memutar kaset di dalamnya kalau kamu sedang ingin menghemat baterai.

***

Tadi pagi, kamu terbangun menjelang subuh. Ada suara burung kunti di kejauhan (kamu tak tahu nama burung itu, tetapi kamu menyebutnya burung kunti karena ia bersuara mengerikan), ditingkahi suara adzan dari masjid di dekat rumah.

Kamu bergelung kedinginan di tempat tidur, merapatkan selimut, dan mendengarkan. Kamu selalu suka suara-suara pagi. Suara-suara lewat tengah malam hingga sebelum matahari terbit. Suara-suara kesunyian. Tokek berbunyi dari suatu sudut di teras rumahmu. Dulu, kamu biasa menghitung dalam hati: he loves me, he loves me not, he loves me, he loves me not…

Tetapi kini kamu menikmatinya saja. Tak tahu harus mempertanyakan apa.

Perjalanan, sedianya membawa seseorang berpindah dari satu titik ke titik lain. Hanya saja, titik-titik ini tak selalu ditandai dengan tiket pesawat atau kereta api, bis malam menuju kota-kota yang tak bercahaya, atau sebuah rumah dengan teras lucu dan dapur kecil di dalamnya. Perjalanan tak menuntutmu bertemu orang-orang baru atau membawa kamera, atau membuat paspor dan membawa peta.

Terkadang yang kamu butuhkan hanya kesunyian. Mengheningkan tubuh, pikiran, dan hatimu. Kamu duduk di tempat yang sama, melihat jauh ke belakang, menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum: menyadari bahwa satu perjalanan besar telah kamu lewati tanpa beranjak pergi.

Hatimu lapang.

Ya, kamu sudah pulang.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP