Mungkin ia memang melewatkanmu ketika kalian pertama kali bertemu. Yang dilihatnya dari dirimu saat itu adalah kamera yang menggantung di lehermu. Ia bertanya: apa yang biasa kau potret, mengapa kau memilih untuk memotret semua itu, apa yang menarik hatimu ketika kau menjepretkan kameramu, apa yang kau lihat dari foto-foto yang kau hasilkan itu?

Kau tidak siap. Seharusnya kalian bicara tentang hal-hal lain. Bukankah pertemuan pertama kali selayaknya dimulai dengan basa-basi? Tetapi, lambat-laun, kau menemukan dirimu sendiri menikmati interogasi yang tiba-tiba itu. Kau mulai memikirkan jawaban atas sekian hal yang tak pernah kau pertanyakan. Dan selagi kau berpikir, ia terus menghujanimu dengan pertanyaan-pertanyaan lain.

Untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau menemukan dirimu tak bisa berhenti berbicara. Ia tak memperbolehkanmu diam barang sejenak.

***

Di malam tahun baru, kau berbaring tertelungkup di tempat tidurmu. Ada secangkir kopi dan hardcover 900 halaman 1Q84-nya Murakami. Kau letakkan kameramu di atas meja di samping tempat tidurmu—agar berada dalam jarak pandangmu setiap kali kau hendak meraih bantal.

Dan kau… ya, mungkin kau juga melewatkannya ketika kalian pertama kali bertemu. Mungkin kau tidak pernah sungguh-sungguh melihatnya. Yang kau lihat dari dirinya saat itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kepada kamera yang tergantung di lehermu.

“Don’t let appearances fool you. There’s always only one reality,” kata supir taksi di Tokyo Expressway pada Aomame. Sinfonietta gubahan Janacek bermain di latar belakang.

Hentakan yang cukup kuat pada bab pertama. Kau tutup novel yang tengah kau baca itu. Suara petasan membuatmu gusar dan ingin berteriak. Sering kau bertanya pada dirimu sendiri: apakah segalanya akan nampak berbeda ketika dilihat langsung dengan lensa mata, dan bukan dari balik lensa kamera?

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Hate.

Ya, mungkin saja benci itu serupa ubur-ubur. Dia transparan dan seringkali terlihat menggoda. Kamu tahu dia bisa menyengat, tapi seperti anak kecil yang nakal dan penasaran, kamu menyentuhnya juga. Dan tiba-tiba saja racunnya menjalari dirimu, kata-katamu, pikiranmu, juga tindakanmu. Kamu lelah mencoba membuat orang yang kamu benci nampak buruk. Mencoba membuatnya jatuh tersungkur. Lalu kamu sadar waktumu tercurah… terus, dan terus, dan terus, untuk semua itu: untuk hal-hal yang tak membuat dirimu menjadi atau merasa lebih baik.

Love.

Aku pikir, cinta itu bentuknya mirip burung hantu. Bisa imut, bisa lucu, tapi kali lain menyeramkan, seperti tengah bersiap menerkam. Terkadang, yang namanya cinta cuma mengawasi dalam diam. Dan entah mengapa aku selalu percaya cinta itu makhluk nokturnal. Mungkin karena aku sering kangen kamu malam-malam. Apalagi kalau turun hujan. Dan kamu itu penuh kejutan—seperti dekuk burung hantu: mengagetkan!

Life.

Asalkan kamu tidak mengusiknya, hidup juga akan berjalan apa adanya. Baik-baik saja. Mungkin tidak sempurna, tapi tak mengapa. Kita selalu punya seribu satu cara untuk menikmatinya, seperti panda yang tak pernah bosan berteman pohon-pohon bambu. Ya, life is what you make of it. Jadi, nikmati saja tiap tawanya, juga air mata.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

I have found that the hour of separation does not prevail against the joining of our unearthly selves, as I have known with the first meeting that my spirit was your companion for countless ages | Kahlil Gibran

Lisboa seperti kamu: yang mengejutkan pagiku dengan hal-hal lucu. Kota ini, seperti kamu, juga menyimpan ketertarikan pada seni dan sejarah. Kubayangkan kamu (tepatnya: kita) berkeliling kota dengan kamera di tangan, menyusuri jalan-jalan dan monumen bersejarah mulai dari Avenida de Liberdade  sampai Avenida Almirante Reis: mengabadikan arsitektur-arsitektur Romanesque, Gothic, Manueline, Baroque, juga konstruksi-konstruksi Modern dan Post-Modern yang nampak terlalu terang di bawah terik matahari.

Di bawah Jembatan 25 de Abril yang menghubungkan Lisboa dan Almada, aku akan berkata bahwa jembatan ini mengingatkanku pada gambar-gambar kartu pos dari San Fransisco, dan kamu akan memberitahuku bahwa jembatan ini dibangun oleh American Bridge Company, perusahaan yang sama yang mengkonstruksi Jembatan San Fransisco-Oakland Bay. “Hingga tahun 1974, jembatan ini masih dinamakan Jembatan Salazar atau Ponte Salazar,” kamu akan menambahkan, menunjukkan bahwa kamu sudah melakukan risetmu.

Pada akhirnya, mungkin kamu masih akan terus memilih untuk memotret dan mencatat di notes kecilmu seharian. Sementara aku akan memilih untuk berteduh di sebuah restoran kecil, memotret botol-botol minyak zaitun seraya membaca buku atau menulis surat-surat untukmu (ya, benar, surat-surat itu; surat-surat yang tak pernah kukirimkan).

Kita tak perlu bersama sepanjang waktu. Di akhir hari, pada saatnya, kita toh akan saling mencari dan menemukan: mungkin dalam sepiring salmon yang dibakar, atau di antara helai-helai parutan wortel berwarna oranye segar.

Selepas makan siang, aku berlari-lari menghindari panas matahari dan mendaki menuju Feira da Ladra atau “Thieve’s Market”, pasar loak di Sao Vicente de Fora, dekat Alfama, tak jauh dari the National Pantheon, Gereja Santa Engracia.

Pasar ini buka setiap Selasa dan Sabtu, dari subuh hingga matahari terbenam. Orang-orang menggelar dagangan mereka di atas koper-koper tua, meja-meja kecil, di atas tikar, juga di dalam mobil: asesoris kuno, CD-CD lama, buku-buku antik, baju, sepatu, lukisan, keramik… ah, kamu akan suka pemandangan ini!


Di sinilah aku bertemu anak lelaki kecil itu; yang tengah menemani ibunya berjualan lukisan-lukisan di atas keramik. Ia sendiri tengah melukis. Tangannya mengoleskan kuas di atas lembaran sebuah buku sketsa. Ia tersenyum lebar ketika melihatku berjongkok memilih-milih keramik. Dengan tangannya, ia menunjuk kamera yang tergantung di leherku, menunjuk dirinya sendiri, kemudian menirukan gaya orang memotret.

“Me? Taking pictures of you?” saya bertanya sambil membalas senyum lebarnya.

Ia mengangguk, lalu melihat ke arah kamera dengan percaya diri: matanya besar dan berbinar-binar.

Ia mengingatkanku padamu: seseorang yang meruntuhkan dinding di sekelilingnya, kemudian mengejutkanku dengan segala sesuatu yang tiba-tiba. Seperti pertanyaan-pertanyaanmu yang tak bisa diduga arahnya, seakan kita sudah pernah saling mengenal jauh sebelumnya, seperti teman lama: seakan-akan kita memang bukan dua orang yang baru pertama kali ini bertemu muka. Tetapi begitulah, ada kejutan dan keramahan itu, juga sedikit kepolosan dan ketidakpedulian pada diri anak lelaki itu—yang membuatku teringat padamu.

Tiba-tiba aku rindu saat-saat terakhir kita bersama itu…

Aku mengingatnya seperti aroma gula, mentega, dan kayu manis yang menguar dari Pasteis de Belem (ah, dan kamu juga selalu suka pastries semacam ini)—manis, hangat, lekat.

Angin sore meniup rambutku ketika aku berjalan melewati lift Santa Justa di Chiado, sebelah tenggara Praca Dom Pedro IV Square, yang dibangun arsitek Perancis kelahiran Portugal, Raoul de Mesnier du Ponsard—murid Gustave Eiffel (tak heran kalau struktur bangunan ini mirip dengan Menara Eiffel). Kalau saja kamu ada di sini, kita akan naik ke atas sana, ke restoran Italia di puncaknya, Bella Lisa Elevador—menyesap secangkir kopi pelan-pelan sambil mengabadikan pemandangan indah itu: Rossio Square, kastil, sungai…

dan kamu.

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Aku jatuh cinta pada Lagos, kota pantai kecil di mulut Sungai Bensafrim—membentang sepanjang Lautan Atlantik di Algarve, Portugal Selatan.

Dari terminal bis, aku sudah bisa melihat jembatan yang membentang menuju pantai, serta jalan menanjak ke perbukitan, tempat rumah-rumah musim panas dengan dinding-dinding putih dipenuhi wisatawan selama musim liburan. Aku jatuh cinta pada warna-warni terang di jalan-jalan yang kulewati: spanduk, lapak-lapak penjual baju, atap-atap rumah, jemuran, juga langit yang berawan.

Lagos adalah kota yang lucu. Kamu bisa mengitarinya berkali-kali dan selalu menemukan sesuatu yang baru: restoran, toko es krim, penjual sepatu, juga seorang ibu yang membuatkanku tato ‘Om’ di pergelangan kaki dengan henna.

Are you a Buddhist?” tanyanya.
Aku menggeleng, “I just like it,” jawabku sambil tersenyum.
Where are you from?”
“Indonesia,” jawabku.

Ia nampak terkejut, kemudian ia mengisahkan perjalanannya semasa muda dulu: betapa ia dan suaminya sudah mengelilingi pantai-pantai di Indonesia dan menyelam di sana. Bali, Lombok, Bunaken, Flores. “Itu dulu sekali,” katanya. “Indonesia sangat indah. Saya ingin kembali, tetapi sekarang mungkin harga tiket sudah mahal. Saya juga sempat mendengar kerusuhan di sana, semoga Indonesia sudah damai, ya.”

Ini adalah kota yang ingin kutinggali selama beberapa bulan. Aku akan pergi ke pusat kota, berbelanja buah dan sayur, mengunjungi toko buku. Ini adalah kota di mana aku bisa membeli es krim di toko kecil, lalu duduk di taman, di bawah pohon, di depan air mancur, pemandangan laut di sisi kananku; sambil membaca The Wind-Up Bird Chronicle-nya Murakami.

Ini adalah kota di mana penjaga toko yang sempat melihatmu kemarin akan tersenyum, dan pengemudi taksi yang sempat mengantarmu tadi pagi melambai dan berseru padamu dari depan alun-alun. Ini adalah kota di mana orang-orang tidak berbicara bahasa Inggris, tetapi mereka bercakap dengan mata, tangan, juga bibir yang bergerak naik membentuk lengkungan menyenangkan. Ini adalah kota di mana aku bisa pergi ke benteng-benteng tua setelah selesai membaca, duduk di taman yang teduh, memandangi burung-burung laut yang sesekali turun dan menulis di sana sampai jenuh.

Untuk menghilangkan penat setelah mengitari kota seharian, aku bisa berlari ke pantai dengan kaki telanjang, lalu menceburkan diri di air yang dingin.

Menjelang pukul delapan malam, aku akan kembali ke rumah musim panas di atas bukit, memandangi senja yang turun, lalu bercakap denganmu lewat tombol-tombol telepon genggamku.

Quisiera que estuvieras aqui,

H

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Melangkah keluar dari terminal bis di Jerez, aku merasa seperti berada di dalam komik Lucky Luke. Kota ini seperti mati. Begitu sepi, begitu kering. Tak ada orang di sekitar. Debu-debu beterbangan dibawa angin, terkadang segerumbul semak kering menggelinding di jalanan. Aku menyusuri kota kecil di Cadiz ini untuk mencari kebun-kebun anggur: bodega. Sejak dulu, Jerez telah menjadi pusat industri anggur, dengan ekspor sherry ke seluruh dunia.

Jalan-jalan yang sepi membuatku melompat masuk ke dalam taksi. “Toko-toko yang buka… tempat banyak orang-orang…” dan pengemudi taksi itu mengatakan, “Central!”. Maka meluncurlah kami ke bagian pusat kota. Sepanjang jalan, toko-toko tutup dan berdebu. Di ‘pusat kota’ terdapat sekitar tiga buah restoran yang buka. Maka aku mampir di sana untuk menyantap paella, sambil memperlihatkan peta kepada pelayan di sana. Di mana saja bodega yang buka pada jam-jam ini?

Pelayan itu melingkari bodega-bodega di petaku dengan pena. Maka sehabis makan siang, aku berjalan meninggalkan pusat kota, melewati komidi putar yang cantik dan tak berkelip, juga patung pejuang di alun-alun yang sendirian. Semuanya begitu sepi, begitu hening. Bodega pertama yang terdekat dan dilingkari pena adalah sebuah rumah tua seperti kastil, dengan halaman yang dipenuhi ilalang dan rumput-rumput tinggi. Pintu gerbang besarnya (yang mengingatkanku pada adegan-adegan telenovela), terkunci dan dirantai. Mungkin bodega ini sudah lama bangkrut.

Menyusuri jalan-jalan yang tetap sepi, sandal jepitku putus sebelah. Dan Jerez adalah kota di mana tak peduli berapa banyak uang yang kau punya—meski kau mampu membeli sandal jepit Burberry, kau tidak bisa menemukan toko yang buka dan menjual sandal jepit pada pukul tiga sore. Aku mencoba melangkah dengan telanjang kaki di jalan yang bersih, tetapi panasnya matahari membuatku berlompatan di atas aspal. Akhirnya sandal jepit itu diikat ke kakiku. Begitulah. Jika ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa dibeli dengan uang, salah satunya adalah: sandal jepit di Jerez.

Untungnya tak jauh dari sana, ada sebuah bodega dengan gerbang terbuka: Bodega Tio Pepe. Dengan kereta merah lucu, aku dan rombongan wisatawan, juga sepasang kekasih (yang pria punya wajah mirip Yesus), mengitari bodega itu—yang dipenuhi pucuk-pucuk anggur.

Aku ingin menunjukkan pola-pola cahaya ini padamu: permainan dari atap rambatan anggur dan sinar matahari yang meninggalkan lingkaran-lingkaran indah di dinding. Kamu bilang, “Berikan aku foto-foto!”

Jadi aku ingin menunjukkan padamu botol-botol dengan desain yang lucu ini,

satu tong anggur yang khusus dibuat untuk Jose Saramago, salah satu pengarang favoritku,

lapisan jamur yang mengubah jus anggur menjadi minuman beralkohol,

juga tangga dan gelas kecil ini. Bodega Tio Pepe juga terkenal dengan keluarga tikus yang tinggal di salah satu sudut ruang penyimpanan anggur mereka. Tikus-tikus ini dulu menjilati tetesan anggur yang tumpah dari tong. Dan sampai kini, keluarga Happy Mice masih berdiam di Tio Pepe. Sesekali mereka muncul untuk naik tangga dan minum anggur, juga menyantap keju atau biskuit yang ditinggalkan di tengah ruangan.

Cheers!

Quisiera que estuvieras aquí,

H

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Assalamualaikum wr. wb.

Pertama, saya ingin sampaikan dulu apresiasi. Saya merasa mendapat kehormatan ketika Mas NdoroKakung kontak, memberi tahu Mas ini akan ada Pesta Blogger tahunan, dan saya diminta untuk berbagi sedikit pandangan Indonesia dengan lain. Saya merasa, wah, ini sebuah kehormatan, jadi  terima kasih, Mas, atas kesempatannya.

Tema yang dimunculkan di sini menarik. Ideas meet opportunities. Hari-hari ini, kita sering sekali bertemu dengan situasi where opportunity is there but people only see the difficulties in opportunity. Itu adalah biasanya disebut orang pesimis. Melihat opportunities tapi yang dilihat justru aspek sulitnya. Orang-orang optimis, terbalik. In difficulties, they see opportunities. So an optimist sees opportunities in difficulties, but a pessimist sees difficulties in opportunities.

Hari ini, saya merasa kita memiliki energi baru di sini. Ini adalah anak-anak muda baru Indonesia yang melihat tantangan di republik ini dengan persepsi yang positif, dengan pandangan yang optimis. Dan ini yang sebenarnya diperlukan untuk kita ke depan.

Teman-teman sekalian, kalau kita perhatikan, akhir-akhir ini dalam beberapa tahun terakhir ini, kita mengalami hempasan pesimisme yang luar biasa. Segala yang kita lihat di republik ini kita lihat dengan pandangan: so many problems. Begitu banyak masalah. Memang harus diakui, Indonesia ini banyak masalah, tetapi mari coba kita refleksikan sebentar ke belakang.

Saya sempat merefleksikan ini tahun lalu, pada saat melepas teman-teman pengajar muda berangkat meninggalkan Jakarta menuju tempat-tempat mereka bertugas. Mereka bertugas di desa-desa, kita semua tahu—terpencil, berbagai wilayah. Mereka berangkat dari Jakarta. Berangkatnya bukan dari stasiun Gambir, tapi dari airport Cengkareng, yang namanya Soekarno-Hatta.

Setelah mereka berangkat, saya berjalan pulang naik mobil, dan di situ saya masih ada bayangan anak-anak yang barusan dilepas, barusan berangkat, meninggalkan ke pelosok. Mereka memiliki peluang untuk hidup nyaman di kota-kota, berkarir di tempat-tempat enak, dan mereka memilih untuk berada di pelosok. Tapi airport tempat melepas itu, namanya Soekarno dan Hatta.

Soekarno dan Hatta memiliki seluruh persyaratan untuk hidup nyaman, sejahtera, bagi dirinya dan keluarganya, tapi yang mereka pilih justru jalan yang sulit. Mereka tidak pilih untuk hidup nyaman sejahtera. Mereka memilih untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dan hari ini, di tiap langkah yang kita lakukan, ada jejak pahalanya.

Mereka orang-orang yang melihat kesulitan dalam perspektif yang positif. Mereka memiliki seluruh persyaratan untuk pesimis. Punya persyaratan untuk pesimis. Bagaimana tidak? Coba kalau kita bayangkan Indonesia tahun 45. Barangkali teman-teman di sini kalau saya boleh tanya: ada tidak yang tahu, berapa jumlah SMA tahun 45? How many higschool was in this country in 1945? How many? Ada yang mau tebak? Sembilan puluh dua. We had only 92 highschools across the archipelago. How many middle schools? Three hundred and thirty two. Tiga ratus tiga puluh dua SMP in a population of 70 million individuals. Tujuh puluh juta, sembilan puluh dua SMA, tiga ratus tiga puluh dua SMP, dan buta hurufnya: 95%.

Kalau Anda menjadi pemimpin di masa itu, Anda menjadi pejuang di masa itu, Anda memiliki seluruh persyaratan untuk pesimis. Ada di situ persyaratan pesimisnya: rakyat tak bisa baca-tulis, tak terdidik. Saya sering malu membayangkan begini: kalau diberikan secarik kertas, “Tolong tulis nama Anda”—nggak sanggup. Tapi kalau dikasih pistol, saya siap bertarung. Kumpulkan massa, siap kumpulkan. Kasih bambu, siap diruncingkan. Ikut perang berhasil, tapi beri secarik kertas, tulis nama sendiri tidak sanggup. Persyaratan pesimis itu ada, tapi mereka memilih untuk optimis.

Mereka memilih untuk melihat kesulitan dengan perspektif yang positif. Efeknya apa? Optimisme mereka menular.

Optimism is very contagious. Optimisme mereka itu menular kemana-mana. Dan anak-anak muda republik ini mengalami keterjangkitan optimisme yang luar biasa. Mereka mewarnai sebuah gelombang baru. Ada gelombang baru, yang di sana menuju Indonesia yang lebih baik.

Hari ini, kita menyaksikan gelombang baru ini mulai muncul. Gelombang baru ini mulai tampak. Dan peluang ini, bisa dimanfaatkan. Ketika saya menyebut pesimisme, siapa yang paling banyak menggandakan pesimisme?

Like it or not: our media.

Media kita, suka tidak suka, yang paling banyak menggandakan. Apalagi kalau kita lihat media televisi. Anda lihat media televisi, laporan televisi sore hari, maka saat itu kita menyaksikan Indonesia ini suram. Indonesia ini suram. Di sini, menurut kami, sebuah tantangan bagi kita semua.

Teman-teman yang berada di blogger community, hari ini, you have opportunities to challenge the wave of pessimism dengan the new wave of optimism. Dengan pandangan yang berbeda.

Saya menceritakan sedikit anak-anak pengajar muda. Para pengajar muda, yang ditempatkan di sana, sehari-hari mereka menghadapi masalah. Bagaimana tidak? Di lingkungan yang secara pendidikan tertinggal, secara ekonomi rendah, lokasi terpencil, dan sehari-hari mereka harus menghadapi masalah sendirian.

Tetapi, Anda perhatikan, saya perhatikan, apa yang mereka tulis dalam blog-blognya adalah the bright side of this republic. Sisi terang di republik ini. Mereka bisa menuliskan di blognya itu keluh-kesah, problem, hal-hal yang membuat kita pembacanya merasa this country has no future. Tapi yang mereka lakukan apa?

Mereka menuliskan cerita anak-anak cemerlang yang bisa menjadi harapan kita untuk masa depan. Mereka menggunakan blog-blog ini, untuk menggandakan optimisme. Mereka tidak menggunakan blog untuk mematikan optimisme, apalagi untuk menyebarkan pesimisme. Itu berbeda sekali.

This is our media.

This is in our control, and let’s spread the word.

Mari kita gandakan pesan yang positif itu. Ini yang sekarang menjadi tantangan bagi kita. Nah, yang menjadi masalah, hadirin sekalian, mengapa kita harus optimis tentang Indonesia? Why? Why should we be optimist?

Apa… apa kita punya persyaratan untuk optimis?

Kalau kita berbicara persyaratan, teman-teman sekalian, hari ini kita berkumpul di tempat yang seperti ini, di Epicentrum ini, Anda bayangkan 40 tahun yang lalu, 50 tahun yang lalu, tempat ini ada tidak?

These are sign of accomplishment! Suka tidak suka, kita biasanya bertanya: pertanyaan pertama, who owned it? Oke? Siapa yang punya? Kita biasanya tidak tanya, siapa yang membangunnya? Dikerjakan siapa? Para insinyur kita. Yang mendesain, yang mengerjakan, dan begitu banyak sign of accomplishment yang kita lewatkan.

Kita, lebih suka mendiskusikan hal-hal yang membuat kita merasa pesimis. Karena itu, kenapa kita harus optimis? Kita melihat ada begitu banyak sign of accomplishment, tanda-tanda keberhasilan, tanda-tanda peraihan, tapi kita sering memilih untuk tidak memperhatikan itu.

Dunia, hari ini, melihat Indonesia dengan perspektif yang positif; tidak pernah terjadi dalam sejarah republik ini, di mana ada pandangan yang hampir sama tentang prospek masa depan Indonesia dibanding beberapa tahun terakhir ini. Tidak pernah. Sebelumnya, dunia memandang kita dengan penuh pertanyaan.

Saya ingat, tahun 99 atau 2000, Indonesia pernah disebut sebagai negara yang “messy”. Negara yang messy-state, negara yang agak berantakan. Ditulis oleh seorang penulis yang sangat terkenal. Dan pada saat itu, ada kekhawatiran yang legitimate. Mungkinkah Indonesia tetap menjadi satu kesatuan?

Sebelumnya, kita tidak pernah memiliki ancaman. Ancaman separatisme itu tidak ada. Yang ada konflik lokal. Tapi tahun 2000-an kita punya ancaman itu. Kita sudah lewati 11 tahun. Semua orang yang memandang Indonesia dengan pesimis tahun 2000, hari ini, mereka harus merevisi pandangannya. Hari ini mereka harus mengubah pandangannya. Dari dunia internasional, ada pandangan yang luar biasa positif.

Tapi di sisi lain, saya bisa sebutkan daftarnya. Tapi saya tidak usah sebutkan satu-satu. Mereka memandang kita dengan perspektif positif atau optimis. Tetapi yang tidak kalah menarik, teman-teman, di sini sekarang, yang Anda berada di sini, menurut saya Anda-lah yang menjadi sumber mengapa kita harus optimis.

Anda-lah yang menjadi sumber kenapa kita harus optimis. Anak-anak muda yang dalam pandangan kami “siuman”. Anak-anak muda yang siuman, yang tidak terbius oleh nafsu-nafsu murahan jangka pendek. Anak-anak yang siuman inilah yang bisa kita harapkan untuk Indonesia masa depan. Orang-orang yang sadar tentang perspektif Indonesia masa depan. Dan teman-teman sekalian, saya ingin kita sama-sama melihat. Berhentilah kita melihat Indonesia dalam perspektif kolonial.

Berhenti melihat Indonesia dalam perspektif kolonial. Kalau perspektifnya kolonial, yang diperhatikan pasti sumber daya alam. Pasti. Kenapa kita hanya punya 5% orang melek huruf? Ya, karena kolonial tidak berminat mendidik bangsa. Mereka berminat mengambil sumber daya alam. Hari ini, lebih banyak dari kita yang tahu jumlah barrel minyak yang diproduksi per hari daripada jumlah guru yang ada di seluruh Indonesia.

Kita sering lebih tahu jumlah mineral yang dikeruk daripada jumlah sekolah yang ada di Indonesia. Kita lebih tahu tentang kandungan protein mineral daripada kualitas guru Indonesia. Poinnya adalah harapan kita pada Anda dan harapan kita pada manusia Indonesia yang tercerdaskan dan tercerahkan.

Banyak orang pendidik tapi belum tentu terdidik lalu tercerahkan. Orang yang tercerahkan dan terdidik contohnya adalah para pendiri republik ini. Mereka sudah mampu melihat dirinya melampaui kepentingan sempit pribadi dan kelompok. Mereka terdidik dan tercerahkan.

Karena itu, teman-teman sekalian, kalau Anda datang ke airport Cengkareng dan Soekarno-Hatta, jangan Anda lupakan nama itu. Karena mereka, mirip dengan kita sekarang. Mereka termasuk orang-orang yang terdidik tercerdaskan di masa begitu banyak orang belum mendapatkan pendidikan.

Hari ini, teman-teman, yang disebut pendidikan tentu masih harus kita kembangkan, tapi yang tidak kalah penting adalah ada dunia baru yang disebut dunia online, dunia virtual ini. Saat ini, Indonesia termasuk—dan tadi sudah disebutkan terus, salah satu yang populasinya, penggunanya, paling tinggi.

Terima kasih kepada para pelopor-pelopor Internet di Indonesia, blogger-blogger di Indonesia, yang membuat ini menjadi bergulir luar biasa. Tapi yang menarik, hadirin sekalian, jangan kita ulangi kekeliruan di masa lalu: masuk ke era baru tanpa mempersiapkan sebuah spirit dan ideologi baru. Spirit dan ideologi baru yang harus dibangun di sini adalah spirit untuk mengkonstruksi Indonesia dengan perspektif positif.

Kita punya arahnya, kesadaran itu harus dibangun dari sekarang. Kemarin, kita menyaksikan pendidikan menghasilkan begitu banyak sarjana, tapi kita lupa menitipkan ideologi di situ. Ideologinya adalah ideologi orang yang tercerahkan, ideologi orang yang akan melakukan langkah melampaui kepentingan dirinya.

Efeknya? Kita punya banyak sarjana, tapi kita juga punya banyak koruptor. Kita punya banyak sarjana, tapi kita punya banyak orang yang hanya mementingkan kelompok kepentingan yang sempit. Dan di sini teman-teman, saya melihat kehadiran para blogger ini merupakan energi baru bagi Indonesia. Dan saya perlu sampaikan, ketika berbicara ideas meet opportunities, teman-teman, stamina itu dibutuhkan.

Teman-teman yang berada di sini, teman-teman yang berada di wilayah virtual ini, mari jaga stamina baik-baik. Jaga stamina moral, jaga stamina fisik, dan jaga stamina intelektual. Tiga stamina ini harus dijaga terus-menerus. Yang sering kita perhatikan, adalah stamina fisik, stamina moral. Itu kadang-kadang tidak diperhatikan jadi satu. Stamina ini menjadi krusial sekali untuk membangun Indonesia di masa depan, yang lebih baik.

Kami di Indonesia Mengajar, kalau boleh saya sharing sedikit, sampai dengan 4 hari yang lalu, batch ke-4 sedang dalam proses rekrutmen, kita menerima lebih dari—di batch ke-4 ini, 4.000 orang pendaftar. Padahal untuk slot yang hanya 72, dan ini belum ditutup. Jadi mungkin bisa lebih dari 6.000 atau 7.000, setelah ini nanti ditutup pendaftarannya. Dan itu artinya, dalam 4 periode ini, sudah lebih sejauh ini, sudah lebih dari 15.000 orang menyatakan siap untuk menjadi guru di pelosok Indonesia selama 1 tahun.

Yang berangkat memang tidak banyak, tapi bukan yang berangkat yang menjadi perhatian sekarang. Yang menjadi perhatian adalah mereka yang menyatakan siap untuk ikut. We, so far, we have no less than 15,000 people, applying to serve as a teacher in a remote area where there is no electricities, minimum cellphone signals, or running water.

Ini merupakan—this is the energy that we’re seeing. We’re seeing the new breed of Indonesians. Orang-orang muda yang mau memberikan dirinya lebih dari sekedar mencari kepentingan karir jangka pendek. Nah, ini teman-teman, yang ingin saya share di sini.

Mereka ini representasi dari kita semua. Dan inilah yang barangkali kita perlu bayangkan. Ketika teman-teman berada di wilayah blog, Anda menulis sesuatu, tulisan Anda will stay there forever. Akan tinggal di situ forever. Your son, your daughter, your grandchildren will be reading what you write today. So, one thing that I can share di sini, make them proud of what your write today. Make them proud of what you write today.

Jangan bikin mereka malu atas apa yang Anda tulis hari ini. Dan itu artinya, tulislah pesan-pesan, tulislah tentang ekspresi-ekspresi yang kita bisa membuat masa depan kita menjadi lebih cerah.

Hari ini kita sering lupa, kalau nge-twit juga ada rombongan galau. Kegalauan itu menjadi hashtag tersendiri. It’s okay to have that side. It’s okay. Tapi jangan lupa, of the other side, of optimism. Apa yang Anda ekspresikan hari ini, akan dibaca oleh anak-anak kita. Dan di sini teman-teman, seperti juga dikatakan para pengajar muda, kita ingin sekali satu saat kita bisa mengatakan: I have done something for my country.

I have done something for my country. Ini yang sekarang seringkali kita lupa. Bahwa apa yang kita kerjakan sebenarnya memiliki efek untuk Indonesia kita. Dan ini, teman-teman sekalian, tren perubahan yang luar biasa, cepat seperti sekarang, menularnya… efeknya luar biasa.

Harapan kita pada perubahan, mau tidak mau, akan dititipkan pada anak-anak muda. Pada anak-anak muda kita akan titipkan harapan perubahan. Tapi jangan pernah berpikir bahwa anak muda itu adalah dari sisi usia. Pada anak-anak muda, pada orang-orang muda, yang diperlukan dari anak muda bukan usianya. Kalau cuma usianya, sebagian dari kita bisa nggak masuk kategori muda.

Menurut UN, karena muda menurut UN itu kalau tidak salah di bawah 25 tahun. Kita banyak yang tidak masuk kriteria muda. Tetapi, yang saya maksud dengan muda, apa sih yang menarik dari anak muda? Yang menarik dari anak muda, adalah kebaruannya. Kebaruannya yang menarik dari anak muda.

Anak muda, bila tidak membawa kebaruan, dia orang tua. Dia orang tua. Anak muda yang tidak bawa kebaruan, dia orang tua. Anybody who is young, that is not bringing ‘newness’ is an old people. Is an old people. Sementara, orang yang berusianya tua, tapi dia membawa kebaruan, maka dia sesungguhnya orang muda. Kebaruannya itu yang menjadi kunci anak muda.

Anda di sini menjadi blogger community baru, you have the opportunity. Anda memiliki peluang untuk memunculkan kebaruan itu. Dan di sinilah kemudian ide dan gagasan harus dimunculkan. Saya sering suka mengatakan pada teman-teman: let’s think like an alien, but let’s act like a native. Mari kita berpikir seperti orang luar angkasa sana, berpikir berbeda, berpikir outside the box, tetapi bertindak seperti kita ini orang-orang yang sangat membumi.

Dan ini yang bisa mendorong perubahan. Jadi besar sekali harapan kita pada teman-teman yang berada di blogger community. Dan saya melihat di sini ada sebagian yang datang dari ASEAN. Ada yang dari Brunei, ada yang dari Malaysia, ada yang dari Singapur, saya juga tadi barusan mengatakan, ASEAN adalah tempat masa depan Asia. The future of Asia is in ASEAN. In South East Asia. That’s the future of ASEAN.

Orang sering melihat Utara. China, yes, China will be big. Ustoppable. Tapi, as a community, that is a big question mark. Jepang dengan Cina, mau dijadikan sahabat, perlu waktu beberapa dekade, kalau nggak abad. Korea dengan Jepang mau dijadikan satu, very difficult. ASEAN, di sini, kita menyaksikan hubungan antar bangsa-bangsa di ASEAN, sudah terbangun dengan baik, dan sekarang G2G sudah baik, dan sekarang di blogger community, kita mulai menyaksikan the net of that community, the fabric of new South East Asia, itu sedang dibangun.

Tenun South East Asia dibangun di crowd ini. Dan di sini, saya melihat, inilah kita melihat masa depan. Mari kita ulangi sejarah para pendiri kita, Indonesia. Saya selalu mengatakan teman-teman yang berkumpul di Sumpah Pemuda tahun 28 itu orang-orang pemberani.

Kenapa mereka pemberani? Karena mereka berani untuk menyepakati satu bahasa yang bukan bahasa ibunya. Anda bayangkan kalau saya dari Jogja, kalau saya dari Jogja ikut dalam kongres itu, mewakili Jong Java, misalnya, lalu pulang ke Jogja, dan orang-orang di Jogja akan tanya sama saya: itu bahasa Jawa kamu kemanakan? Kenapa diterima bahasa orang Melayu sana?

It is not easy menerima sebuah bahasa. Eropa, sampai hari ini, menggunakan lebih dari 20 bahasa resmi sebagai satu union. Seluruh dokumen dalam pertemuan EU, seluruh pembicara dalam pertemuan EU, harus diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa di Uni Eropa. Ongkosnya luar biasa mahal, belum the lost in translations—yang hilang.

Indonesia hari ini, mempunyai satu bahasa yang sama, Bahasa Indonesia, dan sekarang ASEAN punya kesepakatan bahasa yang sama, kita akan memasuk kepada era di mana di sini orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengetahui ambang batas di mana kepentingan mereka tidak diteruskan. Ini adalah sebuah community yang luar biasa.

Jadi, teman-teman sekalian, saya ingin menggarisbawahi dan mengakhiri, bahwa peluang untuk membuat Indonesia optimis ada di depan kita semua. Sekarang, it is all up to us. Kita akan ambil peluang untuk membuat Indonesia lebih optimis dan menyebarkannya, karena virus optimisme itu menular. Dan bila Anda menemukan orang-orang yang pesimis, katakan: kenapa Anda berpikir pesimis?

Tanyakan itu.

Saya sering sekali kalau ada wawancara, “Pak, apakah ini tanda-tanda Indonesia gagal?”

Saya balik tanya, “Kenapa kok tidak tanyanya begini: apa tanda-tanda Indonesia berhasil?”. Why do we ask sign of failures, instead of asking sign of achievement?

Ini mindset. Ini cara pandang.

Nah, mudah-mudahan kita semua yang di sini bisa mengambil kesempatan untuk berpikir optimis, bertindak optimis, dan ada banyak jutaan anak muda di sana yang menunggu inspirasi-inspirasi yang positif dari blog-blog yang akan Anda tulis, dari foto-foto yang akan Anda pasang, dan itu akan mudah-mudahan di kemudian hari dicatat. Your son, your daughter, your grandchildren will write that in their memory bahwa orang tua saya, keluarga saya, termasuk generasi awal yang membuat Indonesia kita berubah menjadi lebih optimis dan lebih positif di masa depan.

Barangkali ini yang bisa saya sampaikan sebagai sharing pada teman-teman sekalian. Bagi teman-teman yang kembali ke berbagai wilayah di Indonesia, kabarkan kepada dunia, betapa kita punya syarat untuk optimis. Dan bagi teman-teman yang kembali ke daerah, tunjukkan kepada wilayah-wilayah di manapun teman-teman beraktivitas, bahwa ada begitu banyak orang-orang sehati, orang-orang yang memiliki pandangan sama, yang akan melihat Indonesia dengan perspektif yang lebih baik.

Terima kasih, ada kurangnya mohon maaf.

Wassalamualaikum wr. wb.

——–

*) audio dalam versi .mp3 dapat didengarkan di sini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

We build a bridge of hope from memories. It stretches from here to there—connecting you and me, the structure’s as still as our faith.

Ada beberapa jembatan di Sevilla, yang dibangun menjelang La Seville de la Exposición Universal de 1992. Yang paling terkenal di antaranya adalah Quinto Centenario (mereka bilang banyak kecelakaan yang terjadi di sini), juga jembatan Barqueta dan Alamillo—yang dirancang oleh arsitek kenamaan, Santiago Calatrava. Jembatan-jembatan itu mengingatkanku pada jarak di antara kita. Jarak yang terentang di antara dua hati. Mereka memberikan harapan—jembatan-jembatan itu, seperti mengatakan bahwa jarak selalu bisa diseberangi.

Sevilla, good! Good! Dance! Flamenco! Very good! Barcelona, flamenco, not good!” kata Salvador bersemangat. Dengan bahasa Inggris yang patah-patah, Salva—demikian ia biasa dipanggil, memperagakan tarian flamenco di atas trotoar yang ramai sebelum menutup pintu taksinya.

Tetapi aku tidak menonton flamenco selama berada di Sevilla, juga tidak mengunjungi Plaza de Toros yang terkenal itu (kamu tahu, kan, aku tak terlalu suka membayangkan ratusan banteng yang sudah mati di arena di dalam sana itu, dalam sebuah pertarungan yang menurutku tak seimbang). Aku menghabiskan dua hari di Sevilla untuk pergi ke kebun raya,

mencelupkan churros ke dalam cokelat,

lalu berjalan-jalan berkeliling kota ketika semua orang tengah siesta. Rasanya seperti berjalan-jalan di kota mati, tanpa penghuni.



Matahari di bagian selatan Spanyol menyorot panas—merambat pelan dari dataran sepanjang sungai Guadalquivir yang melintasi kota dari Utara ke Selatan.  Kulitku mulai terasa perih. Sunglasses-ku berembun. Tapi tak mengapa. Aku merasa puas karena bisa memotret dengan bebas: rumah-rumah, gang, gereja, jalanan, juga atap-atap tanah liat, tanpa harus menghindari kepala orang-orang yang tiba-tiba saja lewat.

Kemudian, begitu saja, aku menemukan Basilica de la Macarena, yang menyimpan patung The Virgin of Hope (Nuestra Señora de la Esperanza). Orang-orang lokal menyebutnya La Macarena, imaji pelindung para matador dan kesayangan kaum gipsi.

Matador kelahiran Sevilla, Joselito, menghabiskan sebagian besar harta kekayaannya untuk membelikan empat butir batu permata bagi sosok Sang Perawan yang dipahat Pedro Roldán pada abad ke-17 itu. Ketika Joselito tewas di atas ring pada tahun 1920, La Macarena—dengan lima butir air mata yang bergulir di pipinya, didandani sebagai “janda” selama sebulan.

Aku melangkahkan kaki ke dalam gereja yang gelap itu, duduk di sana, dan berdoa. Ya, aku memang bukan Katolik, tetapi bukankah—seperti Hafiz, kita percaya bahwa kita selalu bisa berdoa di mana saja? Karena bukankah Tuhan, seperti cinta, ada di mana-mana, selama kita percaya?

Dan begitulah.

Apa yang mengada di antara kita akan tetap ada, selama kita percaya. Selama hati kita berkelip dalam jeda-jeda terang-gelap, seperti kode Morse yang disampaikan lewat cahaya senter di malam hari:

..   .– .. … ….   -.– — ..-   .– . .-.. .-..

.- -. -..   ..   .– .. … ….   -.– — ..-   .– . .-. .   …. . .-. .

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

You hold me tight, but I’m a dancing kite.
The wind catches me at night, tosses me lightly out of sight.
The stretch of the string’s a distance we need to work on.
But just grab me, hurry, before I fell to the ground.

Patagonia Bar di La Rambla 116 mungkin tak terbiasa kedatangan tamu pada pukul 10 pagi. Para pelayan masih sibuk menyapu lantai, juga menata meja dan kursi. Sementara Olivier—si pemilik bar juga masih mengelap gelas-gelas basah dengan wajah mengantuk. Bau alkohol menguar di udara ketika ia berbicara (“Want some cocktails?”). Mungkin ia belum tidur sehabis berpesta-pora semalaman. Di Barcelona, klub-klub baru mulai ramai menjelang pukul dua pagi, dan pesta sesungguhnya baru dimulai pada pukul tiga dini hari.

“Aku suka memandangi orang-orang yang sama sekali asing,” pernah kukatakan padamu hal ini suatu hari. “Dan aku akan bertanya-tanya serta menyusun cerita dalam benakku: siapa mereka, apa yang mereka pikirkan, akan ke mana mereka setelah ini, hal apa yang pernah mereka alami di masa lalu yang membuat mereka menjadi seperti sekarang ini?”

Misalnya lelaki dengan anjingnya itu.

Mungkin hidupnya tak selalu seperti itu. Mungkin dulu ia punya kawan-kawan. Mungkin anjing itu datang kemudian, dan mereka berdua bertahan: ia tak ingin lagi sendirian, anjing itu mencari sedikit makanan dan perlindungan. Kemudian keduanya sadar, bahwa mereka saling membutuhkan. Yang satu membuat yang lain merasa lebih baik. Dalam hidup, terkadang itu cukup. At least, you have a reason to live.

Kamu bilang, kamu mengerti. Kamu pun terkadang mempertanyakan hal yang sama, meski mungkin tak sekerap aku. Satu hal yang tak kukatakan kepadamu: aku juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu, dan mereka-reka cerita tentang kamu dalam benakku. Aku sadar ada begitu banyak hal tentangmu yang tidak kuketahui hingga saat ini.

Seperti bapak tua yang tengah merapikan perhiasan-perhiasan di sebuah kios dekat dermaga, aku pun kemudian merapikan pertanyaan-pertanyaan untukmu dalam kotak-kotak kategori: hidup, cinta, keluarga, sahabat, masa-masa sulit, karir… dan begitu seterusnya, seperti dalam kolom-kolom astrologi.

Sore harinya, dari sebuah kedai kopi di kelokan Double Beates—aku menangkap sosok seorang lelaki yang tengah merokok bersandar di beranda bangunan apartemen yang terletak persis di seberang tempat dudukku.

Lalu aku bertanya-tanya mengapa ia berdiri di sana membelakangi jalanan di bawahnya. Ia justru memilih untuk menghadap ruangan tempat ia sebelumnya berada. Apa yang dilihatnya di dalam sana? Seorang perempuan yang tengah tertidur, barangkali? Televisi yang menyala dan menayangkan siaran berita? Ataukah mungkin ia memang tidak tengah memandangi apa-apa?

Dan kamu, apa yang sedang kamu lakukan saat ini? Apa yang kamu pikirkan ketika kamu bersandar di ambang jendela apartemenmu pada pagi hari, menikmati sinar matahari? Apakah kamu akan memandang ke luar, ke jalanan ramai di bawahmu—atau ke dalam ruangan? Apakah kamu akan bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan saat itu, di mana aku, dan apakah aku tengah memikirkanmu seperti kamu yang tengah memikirkanku?

Kamu selalu bilang bahwa hidup ini lucu. Penuh dengan hal-hal sederhana yang tak pernah kamu duga keajaibannya. Aku juga berpikir begitu. Termasuk tentangmu. Tentang hal-hal yang tak pernah melintas di benakku: tentang hari ketika aku sedang tidak mencari apa-apa dan kemudian menemukanmu itu, juga tentang tanda titik dua dan kurung tutup ketika kamu tahu aku akan bertandang ke Camp Nou. Jadi hal-hal sederhana semacam pemandangan rumput  yang menghijau, tiang-tiang gawang bercat putih, serta bangku-bangku stadion berwarna biru-kuning itu juga menjelma lucu di mataku. Karena semuanya membuatku teringat kamu.

Malam harinya, aku menjengukkan kepala ke dalam galeri Hector Fernandez—yang terletak tepat di seberang apartemenku. Seorang perempuan sedang berlatih melukis di sana. Ia tersenyum ketika melihatku, kemudian kembali menunduk menekuni pekerjaannya di atas kanvas, dikelilingi cat minyak dan akrilik (tidakkah kamu suka bau cat semacam ini?).

Aku, aku sudah melukismu berkali-kali dalam benakku (hanya kamu, bukan kita—karena kita rasanya terlalu dini). Dalam benakku ada kamu: sendiri, duduk di sebuah kedai kopi, menunggu. Sesekali kamu akan membersihkan lensa kameramu lalu melihat foto-foto yang sudah kamu ambil hari itu. Kemudian kamu akan merasa sedikit bosan, lalu memandang ke sekelilingmu (juga ke arah pintu).

Kamu akan melihat orang-orang, lalu-lalang, atau duduk berpasangan. Dan kamu akan mulai mempertanyakan siapa mereka, apa yang mereka pikirkan, akan ke mana mereka setelah ini, hal apa yang pernah mereka alami di masa lalu yang membuat mereka menjadi seperti sekarang ini…

Awalnya kamu tak memperhatikan ketika pintu depan berdenting terbuka.

Tetapi beberapa detik kemudian kamu menangkap bayangan itu dari sudut matamu: seseorang berjalan mendekat, bergegas menghampiri mejamu. Kamu mengangkat wajah dan tersenyum ketika melihatku berdiri di hadapanmu. Aku akan membalas senyummu, mencuri satu sesap dari cangkir kopimu, lalu berseru: “Baiklah, sekarang tanyakan padaku semua pertanyaan-pertanyaan itu!”

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dan aku menengadah pada suatu pagi. Kota asing di negeri asing. Tetapi langit selalu membuatku merasa tak terlalu jauh dari rumah. Darimu.

Mereka menyebutnya Iberia, diambil dari kata dalam bahasa Yunani Kuno Ιβηρία (Ibēría). Temuan di dalam gua prasejarah di Altamira dan peninggalan arkeologis di Atapuerca ribuan tahun sebelum Masehi menunjukkan bahwa manusia modern telah menetap di dataran Iberia, di sepanjang sungai Ebro, atau Ibērus. Kini dataran itu membentang dari Punta de Tarifa di Selatan ke Estaca de Bares Point di Utara, mewadahi Spanyol, Portugal, Andorra, juga Gibraltar, dengan Cabo da Roca di Barat dan Cap de Creus di Timur.

Ini adalah sebuah pagi di Barcelona. Dari sebuah apartemen di lantai atas Double Beates, tak jauh dari riuh-rendah La Rambla—jalanan paling terkenal di kota. Kamu tahu, Picasso, Miró, dan Hemingway dulu biasa berjalan-jalan di atasnya, lalu minum-minum di Bar Marsella di Carrer de Sant Pau, 65 atau London Bar di Carrer Nou de la Rambla 34.

Pagi itu, ada pintu yang membuka ke beranda. Menghadap ke gang sempit yang disesaki toko kelontong, galeri seni Hector Fernandez, juga kantor-kantor (aku mengintip seorang perempuan yang sedang duduk di meja kerjanya, dikelilingi buku-buku dan alat tulis).

Ada orang-orang berbicara, berteriak, suara rantai sepeda, juga salak anjing di kejauhan. Aku berdiri di sana, memandangi. Secangkir kopi hangat di tangan, memikirkanmu.

Quisiera que estuvieras aquí,

H.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP