Tentu saja, ada hal-hal yang tidak kukatakan padamu pagi itu, karena. Rasanya terlalu lekas. Sementara aku sedang tidak ingin bergegas-gegas. Ada sesuatu yang lucu dan menggemaskan (juga mencemaskan) dalam menunggu. Tetapi aku suka; menikmati kamu sedikit demi sedikit supaya rasa ini bertahan jauh lebih lama. Aku tahu aku banyak tertawa dan bilang ‘hanya bercanda‘, tetapi. Sebenarnya tidak juga. Tidak sepenuhnya. Katakanlah lima puluh lima puluh. Mungkin saat ini aku mulai bersungguh-sungguh (dan sebenarnya tidak ada tanda titik koma dan kurung tutup atau titik dua dan huruf P di belakang semua perkataanku).
Jadi. Sulit melepasmu (atau kau melepasku, atau sesungguhnya kita saling melepaskan) pagi itu. Sesungguhnya aku sedikit sedih. Dan sedikit kehilangan. Dan sedikit terkejut karena bisa merasakan semua itu. Dan kita berkali-kali mengucapkan ‘selamat tinggal’ tetapi tidak ada di antara kita yang beranjak pergi dan aku menemukan diriku di sisimu lagi, dan kamu di sisiku lagi, dan kita menendang-nendang kaki satu sama lain di bawah meja secara sembunyi-sembunyi, lalu menyelinap ke taman untuk mengucapkan ‘selamat tinggal’, lagi, tetapi. Kita bahkan masih tidak ingin berjarak meski hanya satu senti.
Lalu aku pergi. Kamu pergi. Aku pikir aku akan kehilangan kamu selamanya pagi itu. Aku sudah terbiasa melihat punggung-punggung yang menjauh, tetapi sesering apapun tetap saja masih terasa sedih. Jadi aku tidur saja seharian itu. Karena aku tidak ingin menangis. Rasanya terlalu dramatis. It’s not me. Maka, keesokan harinya, aku sudah siap mengucapkan selamat tinggal (betapa aku benci perpisahan yang dilakukan seorang diri), tetapi.
Kamu kembali.
3 Responses
persis ini yang kurasakan sama seseorang mbak. namanya apa yah? :’)
kenapa mbak hanny kasi title “nirvana”?
karena itu nama tempatnya 🙂