Felicia Nugroho, 2010 | 306 halaman
Berhasil dengan menjatuhkan orang lain itu gampang. Berhasil seraya mengangkat dan membagi kesuksesan dengan orang lain itu sulit, tapi terhormat.
Itulah pesan yang saya dapatkan setelah membaca buku DI SINI SENANG DI SANA SENANG yang mengisahkan perjalanan Sukyatno Nugroho–juragan Es Teler 77 yang cabangnya kini sudah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan sampai Singapura dan Australia. “Hidup itu untuk dilakoni bukan untuk dikhayalkan,” begitu kata Sukyatno.
Dulu, sewaktu Es Teler 77 sudah membuka cabang di mana-mana, mereka masih beroperasi di restoran kecil di pinggir-pinggir jalan. Tentu saja, mereka juga bersaing dengan penjaja makanan gerobak seperti nasi goreng, sate, dan semacamnya. Sukyatno, yang pernah merasakan menjadi ‘wong cilik’ dan tahu sakitnya digusur dan ditekan pihak yang lebih kuat, enggan berkompetisi dan mematikan usaha pihak kecil. Maka, agar tak berlomba dengan pedagang kecil, mereka pindah masuk ke mall dan plaza. Justru niat baik inilah yang membuat Es Teler 77 menjadi besar dan berkembang pesat.
Felicia Nugroho, penulis buku ini, adalah seorang kawan baik. Dan Kapkap, yang sudah lebih dulu membaca buku ini meracuni saya untuk ikut membaca juga, karena menurutnya penulisan buku ini ‘keren-banget’. Dan dia benar. Felicia penulis yang luwes, gaya bahasanya santai, kalimat yang digunakan pendek-pendek, sederhana, dan mudah dimengerti oleh orang awam sekalipun. Mungkin karena buku ini disusun bukan hanya dari kata-kata, tapi juga dari cinta seorang anak kepada ayahnya. Ya, Felicia meneruskan penulisan buku ini dari naskah-naskah lama ayahnya—yang keburu berpulang sebelum menuntaskan penulisan DI SINI SENANG DI SANA SENANG.
Pada dasarnya, buku ini berkisah mengenai perjalanan Sukyatno Nugroho merintis usaha Es Teler 77. Saya terutama, tergerak membaca bagaimana lelaki yang tidak lulus sekolah menengah ini (tapi kemudian mendapat gelar Doktor Honoris Causa) menggeluti usahanya, bangkrut, mencoba lagi, bangkrut, mencoba lagi… seakan tidak ada kata menyerah dalam kamusnya. Bukan hanya itu, peranan istri dan keluarganya juga ternyata sangat penting dalam kesuksesannya. Ini membuat saya percaya bahwa sukses itu baru sempurna jika dibagi dan dinikmati bersama. Inilah yang menjadi semangat Sukyatno dalam menjalankan bisnisnya, dan hidupnya.
Kalau ia senang, orang lain juga harus ikut senang.
11 Responses
hmmm *masuk list wajib beli* 🙂
hey hey, gue sama sita bsk main di launching bukunya, loh.. 😀
Thank you, Hanny!
Saya senang kamu dapat inspirasi dari buku ini:)
Hm, nanti coba baca ahh. 😀
wah kalo di surabaya ada g ya cabangnya mbk, pengen icip-icip , ah bukunya dulu kali ya pasti udah buka cabang di toko buku terdekat hehe
ah aku juga suka bgt quote-nya mbk “hidup ini untuk dilakoni bukan untuk dikhayalkan”
yang pegang buku cantik !
(salah fokus )
gw terganggu dengan tempo buku ini di beberapa titik…ada kesulitan menjaga jarak…yg mestinya bisa lebih dramatis malah datar-datar aja…
Tapi beliau mengakui sangat kesulitan menjaga jarak…gue juga mengaku ke dia, kalo gue sangat kesulitan saat menulis sosok pak sukyatno yg punya personality kuat…pas wawancara lebih banyak terpananya
giliran profil dan bukunya terbit…eh hanya sepekan kemudian pak sukyatno meninggal…tambah shock gw…
nad itu mata kamu?