Lelaki itu berjalan dengan masa lalu di pundaknya. Beban itu terbagi dua; sama rata. Satu di bahu kiri—perempuan dari masa lalu yang tidak juga menjadi miliknya walau mereka telah lama menebarkan bara. Satu di bahu kanan—perempuan dari masa kini yang tidak bisa ia miliki karena ia masih percaya bahwa dua hati yang saling jatuh cinta pun masih harus tunduk pada norma-norma.
Tetapi mungkin memang bukan itu maksud dari semua ini; dari semua yang sudah terjadi. Mungkin kenangan itulah yang penting. Momen-momen asing yang terkadang membuatnya tersenyum; atau tertunduk. Momen-momen yang menghangatkan hati dan bisa ia mainkan sesuka hati di malam hari; ketika dirinya merasa sepi. Jadi ia tidak pernah menyesal; meski kadang berharap kehidupan menyapunya ke dalam arus yang lain; karena baginya semua tidak penting selama kenangan itu ada.
Karena bukankah satu-satunya hal yang abadi di dunia ini adalah kenangan itu sendiri?
Perempuan itu berjalan dengan masa lalu di pundaknya. Beban itu memberatinya seperti rasa bersalah yang meninggalkan lubang besar dalam hidupnya. Lubang yang bisa dilihat oleh semua orang di dekatnya—kecuali oleh dirinya sendiri. Karena ia tidak merasa berlubang; ia tidak merasa kurang. Mungkin ia hidup dalam penyangkalan atau terlalu menggantungkan diri pada harapan. Mungkin ia masih ingin jatuh cinta meskipun sering merasa bahwa lelaki itu tak berhak atas kehidupannya.
Tetapi mungkin perempuan itu memang hanya merasa bahwa hidupnya terlalu datar dan membosankan. Ia butuh sesuatu yang membuat segalanya menjadi lebih romantis, meskipun tragis. Karena bukankah semua yang romantis itu tragis? Jadi ia tidak pernah menyesal; meski kadang berharap kehidupan menyapunya ke dalam arus yang lain; karena baginya semua tidak penting selama ia bisa merasakan cinta itu berdenyut dalam nadinya.
Tetapi lelaki itu, dan perempuan itu, masih terhanyut dalam pusaran masa lalunya sendiri-sendiri. Masih mencoba untuk mengerti; masih mencoba untuk melangkah; masih mencoba untuk keluar dari pusaran waktu; dan berusaha untuk tidak hidup dalam sebuah kemarin.
Karena apalah yang membedakan kemarin dari sedetik yang lalu, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu—atau bahkan sepuluh tahun yang lalu?
Tidak ada.
Kemarin hanyalah sejenis masa lalu yang lain, yang tidak akan pernah bisa berganti menjadi hari yang berbeda, sekeras apapun kita mencoba.
Lelaki itu berkata: “Nietzsche: anything that doesn’t kill you only makes you stronger… “
Dan perempuan itu menyahut: “… stronger, but not happier…”
Dan satu lagi episode aneh itu pun usai pada penghujung malam yang melelahkan.
Mereka tidak bertempur dalam perang yang sama, sehingga yang dapat mereka lakukan hanyalah menepuk bahu dan menyemangati satu sama lain, kemudian melambaikan tangan dan berjalan pergi, sendiri-sendiri, sampai suatu hari nanti mereka bertemu lagi, dan berbicara tentang hal yang sama lagi, dan lagi, dan lagi; berharap suatu hari nanti mereka dapat merasa bosan akan semua ini.
12 Responses
Hawe kah pria itu?
sky: lho, kok jadi si hawe? kenapa bisa mengira begitu?
oalah lha kok beda banget pictnya sama di pesta blogger kemarin….?
🙂
kw: yang di pesta blogger alter ego-ku hahahaha ;p
iya yah, walopun rasanya sudah tidak memiliki apapun, hanya memiliki beban dipunggung,dengan memiliki setitik harapan di ujung sana, rasanya beban seberat apapun bisa kita emban..
salam kenal hanny.. 🙂
siapapun perempuan itu, mudah-mudahan ia segera mengenal romantisme yang tak perlu tragis.. indah bahkan..
Han, just one comment: beautiful!
Saya pikir kenangan bisa dipilih, dipilih untuk dikenang dan dipilih untuk dilepas.
Teman, entah kenapa setelah membaca tulisan-tulisan kamu, saya terjebak untuk memakai “saya”, ya saya terjebak dalam “saya”-isme kamu teman, rumit ya? Ok saya tunggu postingan selanjutnya.
di apdet mbak yu….iki wes suwe bgt bosen ndelok’e…woke?
maappp belum sempat 😀 hehehe *tertawa getir*
waaahhh….seperti membaca aku dan hubunganku dan laki-laki-ku