Tentang An Unsent Letter …
Dia bilang saya terlalu puitis–menuliskan kata-kata itu untuk seseorang yang sama sekali jauh dari kesan romantis. Seseorang yang lain mengira bahwa saya masih menyimpan perasaan yang sama. Kemudian saya yakinkan dan tegaskan pada mereka: Itu masa lalu.
Dulu saya pikir suatu hari saya akan memiliki keberanian untuk mengirimkan surat itu pada seseorang yang tak pernah minggat dari benak saya barang sedetik pun (walaupun benak saya tengah dipenuhi huruf dan angka-angka).
Kini ketika saya sudah memiliki cukup keberanian untuk mengirimkan surat itu, saya tak lagi menyimpan perasaan yang sama untuknya. Tiba-tiba saja isi surat itu menjadi tidak relevan dipandang dari sudut manapun. Dan ide mengenai saya yang pernah mencintai dia di masa lalu menjadi menggelikan.
Mungkin ini adalah kisah cinta yang terlambat atau bahkan terlalu cepat datang. Momennya tidak pernah pas. Tak ada yang berpihak pada saya dan dia. Segala situasi dan kondisi secara konsisten memisahkan kami dan tidak membiarkan kami bersatu. Tetapi saya masih ngotot dengan segala analisis dan pembenaran yang tidak perlu.
Seisi dunia telah memberikan tanda-tanda bahwa kisah cinta ini tidak akan berakhir bahagia. Dan meneriakkannya keras-keras. Tapi saya menutup telinga; dan berpikir bahwa ini semua adalah konspirasi dari mereka yang tak sudi kami saling jatuh cinta.
Jawabannya ada di depan mata saya; tetapi saya menolak menerimanya dan mengubah pertanyaannya. Berharap jika saya terus mengubah pertanyaannya, saya akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Jawaban yang saya inginkan.
Never. The answer remains the same.
Sekarang saya melihat dunia sebagai buku besar yang penuh dengan jawaban atas semua pertanyaan saya. Tapi saat ini, saya tidak perlu jawaban-jawaban itu.
Karena saya tidak punya pertanyaan apa-apa.