Ini momen ajaib saya berikutnya setelah berhasil berfoto sama Matt Mullenweg—founder WordPress, tempat saya nge-blog dan dapet segala macem dari nge-blog! Iyalah, nggak nyangka akhirnya sampai juga di kantor Google yang di Singapura (berikutnya pengen ke markas besarnya Google yang di US, ah, hihihi).

Perjalanan ini hadiah karena sempat jadi salah satu pemenang Young Caring Professional Award 2010 yang diselenggarain sama Caring Colours dari Martha Tillar bareng majalah MIX. Dan waktu itu ikutan karena memang tau hadiahnya termasuk jalan-jalan ke kantor Google yang di Singapura 😀

Pokoknya kalau pernah lihat keren dan asyiknya kantor Google di foto, video, atau email berantai, memang bener banget begitu adanya, sih. Yang di Singapura itu seperti miniatur dan versi kecilnya gitu. Tulisan lengkap soal main-main dan ketemuan sama Googleys (sebutan buat karyawan Google) bisa dibaca di blog sebelah.

Judulnya sih seru, seru, seru, dan pengen main-main lagi di sana, soalnya belum puas. Hihihi. Makasih ya, buat Caring Colours dan tim yang udah ngajakin ke sini ^o^

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

and look how far I’ve traveled! 🙂

Tentu saja, saya masih suka mellow dan menye-menye di kala hujan, menaburkan kata-kata manis dan meromantisasi suasana hati, atau sekadar bercerita tentang hari-hari yang dilewati.  Saya menangis, tertawa, patah hati, jatuh cinta… di sini. Kebodohan-kebodohan saya di masa lalu itu juga biarlah terekam semua hingga detik ini. Sebagai penanda bahwa saya pernah bodoh, saya pernah salah, saya pernah melakukan banyak hal yang saya sesali di kemudian hari, dan kemudian menemukan bahwa saya masih berada di sini. Baik-baik saja.

hold my hand. we’ll walk down the slippery world and come out alright. as long as you’re by my side.

Dan untuk semua yang pernah menyentuh kehidupan saya selama 5 tahun belakangan ini dan sempat menghabiskan waktu-waktu senggang mereka di sini, TERIMA KASIH 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Kali ini diawali pesta kejutan tengah malam buat si pacar yang berulang tahun. Lantas karena saya dan kawan-kawan pemberi kejutan tiba-tiba saja lapar :D, maka pesta dilanjutkan dengan traktiran dimsum di Hotel Quality, Yogyakarta. Nggak jauh dari Bandara Adisucipto. Di sini ternyata restoran dimsum-nya buka 24 jam *amazed*.

Pesanan kami datengnya lama-ajah-to-the-max. Entah karena memang kami yang kalap mesen dimsum sampai nyaris 30 kukusan 😀 atau karena chef-nya yang lagi tidur pulas harus dibangunin dulu. Yang jelas, kami makan dimsum di situ selama 4 jam. Heh? Iya, 4 jam. Dari jam 1 sampai jam 5 pagi. Berasa sahur -____-

Terus sambil ngantuk-ngantuk saya balik lagi ke penginapan d’Omah di Jl. Parangtritis di Desa Tembi (dasar geek, pas pertama kali ngeliat website-nya yang paling bikin excited malah: wow, webnya W3C compliant!!! LOL). Penginapan ini letaknya beneran di tengah-tengah desa, lho, jadi kalo jalan sedikit ke belakang… blar! Sawah semuanya 😀 Penginapan berkonsep resort ini juga menyatu banget sama rumah-rumah penduduk sekitar karena modelnya memang model rumah-rumah Jawa. Joglo. Jadi nggak merusak pemandangan desa sekitar yang asri, tapi malah seperti jadi bagian di dalamnya.

Orang-orang desa sekitar nggak tau kalo tempat saya nginep itu namanya d’Omah. Mereka taunya, “Rumah Pak Worwik…” dan yang dimaksud adalah Warwick Purser–eksportir dan desainer kerajinan Indonesia yang punya butik furnitur di Kemang situ. ‘Rumah Pak Worwik’ sendiri ada di tengah-tengah komplek d’Omah, dan Warwick Purser–yang tadinya warga negara Australia tapi sudah pindah jadi WNI, sehari-harinya tinggal di situ.

Kamar di d’Omah gede banget, buat ukuran kamar seharga 500ribu. Kamar mandinya beratap terbuka *ehem*. Terus dari kamar mandi ada pintu kecil yang kalau dibuka… ta-da… langsung kolam renang 😀 Begitu keluar dari teras ada kolam teratai dan tempat fitness, terus jalan ke belakang dikit ada spa dengan sauna dan jacuzzi, menghadap ke rerumputan dan pepohonan. Mau sauna plus jacuzzi selama satu jam? Ih, cukup bayar 50ribu saja 😀

Ada tiga ‘rumah’ di komplek penginapan d’Omah. Satu rumah rata-rata cuma terdiri dari 4 kamar tamu, jadi cukup private. Nginep di sini berasa kayak nginep di rumah nenek, soalnya suasananya kayak di rumah sendiri, dengan mas-mas dan mbak-mbak yang ramah-ramah, nanya-nanya butuh apa; banyak nyamuk nggak, tidurnya enak nggak, butuh mobil buat jalan-jalan nggak 😀

Dari d’Omah ke kota Yogyakarta makan waktu sekitar 30 menit. Ya, ngapain lagi ke kota kalau bukan… cari makanan 😀

Di hari ulang tahun pacar, setelah makan siang di kantin UGM, terus nonton Despicable Me, akhirnya kami ber-Meditteranean dinner di restoran Italia yang namanya Nanamia Pizzeria, deket Jogja Plaza Hotel. Restorannya kecil mungil, paling muat 20-25 orang, dan meja satu dan meja lain deket-deket, jadi kalo pelayan atau tamu lewat suka agak senggol-senggolan. Kelihatannya restoran ini penuh terus, dan orang-orang rela ngantri sambil duduk-duduk di luaran. Interiornya Mediterania banget, sih, dengan kayu-kayu kasar dan warna oranye, merah dan kuning di dinding.

Denger-denger sih yang punya restoran ini dulunya pacaran sama chef Italia yang jago bikin pasta dan pizza, terus diajarin, deh, dan akhirnya buka restoran sendiri. Rasanya? Ih, enak banget! Pizza-nya pizza Italia yang tipis gitu. Terus saladnya juga segar dan gurih!

Dulu itu taunya restoran ‘bagus’ yang sering didatengin cuma Bale Raos dan Gadjah Wong, ternyata di deket keraton ada yang namanya Royal Garden. Awalnya ke sini karena katanya kepiting soka telur asinnya enak. Nggak taunya, pas udah mesen macem-macem, ternyata semua makanannya enak!!! 😀 Sampai kailannya aja gurih dan berbumbu walau dimakan tanpa nasi!

Habis makan di sini langsung pindah lagi dong ke Coklat Cafe di Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta, janjian ketemu sama temen-temen, juga sama fashion blogger favorit saya Clara Devi 😀 Baru pertama kali ketemuan! Coklat Cafe menyenangkan. Saya suka suasananya yang terang dan tenang, dengan sofa-sofa empuk, free wi-fi, dan AC-nya dingin (daripada nongkrong di Ohlala Saphir Square mending mendamparkan diri di sini)! Banyak mahasiswa-mahasiswa asing yang nongkrong di sini sambil mengetik di laptopnya. Minumannya juga enak, yang saya coba coffee caramel. Rasa kopinya cukup kental di lidah, dan rasa manis dari karamelnya juga pas. Jadi masih terasa pahit, tapi ada sentuhan manisnya sedikit. Nice!

Eh tapi sempat ada insiden kecil di sini antara si pacar dan pelayan:

Pacar: Mas saya pesan iced lemon tea.

Pelayan: Iced lemon tea-nya dingin atau hangat…

Pacar, saya dan semua orang: … (zziiiing)

Habis itu malamnya masih makan lagi di ayam bakar SukaSuka–yang ayam bakarnya enak banget karena bumbunya meresap sampai ke daging. Tapi nggak sempat motret karena gelap dan lapar sekali, jadi langsung santap 😀

Pagi-paginya, setelah ngopi-ngopi dan brunch di pinggir kolam renang d’Omah (bareng teman saya dari TK yang sekarang tinggal di Yogya), jadwal berikutnya adalah menyambangi toko roti Hani’s Bakery (yang namanya sama dengan nama saya, hihihi). Di sini jual roti buatan sendiri, buatan rumah gitu, dan rasanya enak banget. Yang punya toko roti ini mengambil ‘resep’ bikin rotinya dari Belgia, jadi ala Eropa gitu. Yang sempat saya beli roti gandum biji bunga matahari sama rempah. Enaknya! Dan rotinya tahan tiga hari. Teman saya dari TK itu bilang, teman-teman ekspatnya langganan beli roti di sini (foto roti di bawah pinjam dari Flickr! pacar).

Udah gitu makan siang di Mix’n’Match di Karang Gayam (sebelah salon Kimi), yang biasa jadi tempat makan si pacar dan kawan-kawannya. Makanannya enak dan banyak dan murah! Astaga -___- pengen nangis rasanya karena nggak bisa pesan semua! Hihihi. Akhirnya yang dipesan adalah nasi goreng hijau cumi asin (pakai irisan cabe rawit!) dan nasi goreng rendang 😀

Dari situ berlanjut nongkrong di wine lounge-nya Sheraton yang menghadap ke Merapi 😀 Soalnya dari Sheraton ini sudah dekat ke bandara, jadi enak nunggu penerbangan sambil ngadem di sini. Pesanan termasuk capucinno dan screwdriver (campuran jus jeruk dan vodka). Screwdriver di sini rasa vodka-nya tipis banget, nyaris nggak terlacak di lidah, jadi kalo nggak inget bahwa ada vodka-nya, rasanya pingin nenggak habis minumannya langsung karena berasa kayak lagi minum jus jeruk 😀

Yak, dan begitulah! Lalu pulang dengan pesawat tapi nggak bisa tidur nyenyak karena turbulence gila-gilaan dan kilat menyambar-nyambar di luar 😀 Habis ini foto-foto makanan dari jalan-jalan ke mana lagi yaaa 😉

—–

*)makasih buat kawan-kawan CahAndong yang sudah mengasuhku selama di Yogya 😀 *pelukpeluk*

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Thrity Umrigar, 2006 | 320 halaman

Perkenalan saya dengan sastra India dimulai dengan Jhumpa Lahiri dan antologi Interpreter of Maladies-nya. Saya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama: pada sari, miju-miju, nasi dengan kismis, hotmix, jus mangga, juga musim hujan yang basah dan becek di Calcutta. Kemudian saya mencoba peruntungan saya selanjutnya dengan membaca Mistress of Spices-nya Chitra Banerjee Divakaruni.

Sejak saat itu, karya-karya Lahiri dan Divakaruni membuat saya berkeinginan memenuhi pojokan ‘India’ dalam rak buku saya. Penulis-penulis perempuan India ini punya latar belakang pendidikan Barat yang modern, tapi tidak pernah meninggalkan akar kebudayaan India dalam tulisan-tulisannya. Tragis bukan berarti cengeng. Dramatis tidak harus diseret-seret dengan cucuran air mata.

The Space Between Us karya Thrity Umrigar adalah salah satu di antara kisah-kisah yang mengubah pandangan saya tentang dunia–dan tentang hubungan antar manusia. Jarak–terbentang antara Bhima, perempuan tua yang menjadi pelayan dan Sera, perempuan paruh baya yang menjadi majikannya. Meskipun keduanya sama-sama perempuan, sama-sama pernah tersakiti dan berbagi rahasia kelam dalam kehidupan mereka, jarak itu tetap ada.

Terkadang bentangannya begitu lebar, hingga Sera bersikeras Bhima minum dari gelas terpisah; tidak duduk di sofa atau kursi-kursi keluarga Sera, dan ketika anak perempuan Sera memeluk Bhima dengan sayang, Sera rasanya ingin menyuruh anaknya itu mencuci tangan bersih-bersih. Meski demikian, dalam caranya sendiri, Sera menyayangi Bhima–dan jarak di antara mereka menyempit ketika Bhima menghibur Sera yang tengah dilanda depresi; ketika Sera membantu cucu perempuan Bhima untuk mendapatkan pendidikan yang layak, ketika Sera memperlakukan Bhima dengan jauh lebih baik ketimbang majikan-majikan lainnya, sehingga kawan-kawan Sera sering mengingatkannya tentang kisah-kisah majikan yang ditikam pembantunya sendiri.

The Space Between Us bukan saja berkisah mengenai kesenjangan sosial di antara dua kelas di India, tetapi juga mengenai keterkaitan nasib di antara semua orang–tak peduli seberapa kaya maupun seberapa miskinnya dia. Bahwa mereka yang kekurangan dan berkelebihan bisa sama-sama bahagia, dan bisa sama-sama menderita. Bagaimana dalam kelas sosial mereka sendiri, Bhima dan Sera sebenarnya merupakan dua pribadi yang sama-sama terpinggirkan. Yang terbuang.

Meskipun banyak berkisah mengenai kemiskinan, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, bahkan AIDS, The Space Between Us dituturkan dengan wajar dan tidak berlebihan. Anda mungkin akan terkejut membaca pertemuan Bhima dengan lelaki yang nantinya menjadi suaminya, bagaimana romantisme mereka bermula di tengah kemiskinan kota dan jalan-jalan kota yang macet, sumpek, bau, dan penuh sesak.

Lewat kisah Bhima dan Sera, Umrigar mengingatkan kita bahwa dalam kondisi paling mengenaskan sekalipun, bahagia bisa menjelma dalam hal-hal paling sederhana. Dan dalam bahagia, air mata selalu mengintip di setiap sudut, menunggu waktu menyelisip ke bawah kelopak mata dan mengalir menuruni relung hati. Bahwa nasib adalah benang yang jalin-menjalin sedemikian ruwetnya, sehingga kita tidak akan pernah bisa mengira apa yang disembunyikan rahasia-rahasia masa lalu untuk masa depan, hingga tiba saatnya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Malam itu tergesa. Aku gugup. Kombinasi antara pemikiran bahwa malam ini aku akan terjaga hingga dini hari, kecemasan akan esok hari yang melelahkan karena panjangnya akan lebih dari 24 jam, dan kegelisahan karena akan bertemu kamu.

Enam—atau tujuh hari yang lalu, aku meninggalkanmu dengan sedikit rasa kehilangan. Aku tahu bahwa kita akan bertemu lagi segera, tetapi hari-hari tanpa kamu itu jadi terasa sepi, padahal biasanya aku baik-baik saja dengan sepi. Sedikit menikmatinya, malah. Tetapi mungkin kamu memang bukan sesuatu yang biasanya. Bahkan dalam ketiadaanmu, kamu masih merupa seratus empat puluh karakter yang membuatku tersenyum seharian penuh.

Dan malam ini aku akan bertemu kamu, lagi.

Masih dalam kegugupanku, aku berbicara di telepon sambil mencoba mengarahkan pengemudi taksi ke alamat yang kutuju. Lalu turun di depan gerbang besar dan melalui jalan setapak yang dipenuhi labu-labu ukir oranye dengan cahaya lilin menari-nari di dalamnya. Detak jantungku tidak beraturan ketika mendekati pintu besar.

Aku menarik napas dalam-dalam ketika telepon kumatikan, dan mendorong pintu depan hingga terbuka.

Di tengah kerumunan orang itu, lampu-lampu yang bergantung dari langit-langit, denting gelas wine yang beradu, mataku menangkap sosokmu yang nampak lebih terang dibandingkan pemandangan di sekelilingku. Dan selanjutnya, aku cuma melihat kamu. Kamu. Kamu. Kamu.

Sepertinya hanya kamu yang berada dalam jarak pandangku. Aku tidak bisa berpaling. Kamu tersenyum ketika melihatku. Aku tertawa. Matamu juga.

Satu hal yang terlintas dalam benakku dan tidak kukatakan padamu malam itu adalah:

You look so wonderful tonight. I think I have fallen for you.

Malam itu, kamu mengenakan kemeja batik. Dan kamu, ternyata kamu memang paling ganteng kalau pakai batik 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Nggak tau. Aku nggak tau apakah lima puluh tahun lagi aku masih akan tetap mencintai kamu (seperti lagu yang belakangan ini sering diputar di radio pagi-pagi dan terpaksa kudengarkan ketika sedang berada di dalam taksi). Dan aku juga nggak mau berjanji. Karena aku nggak suka kalau nggak bisa menepati janji.

Selamanya serta selalu adalah dua hal yang nggak akan pernah bisa kujamin kebenarannya—apalagi kita bicara masalah perasaan; yang bisa berubah dalam waktu semalam karena hal yang nggak akan pernah bisa dijelaskan secara memuaskan. Ditambah lagi, kita bicara soal masa depan, yang bahkan peramal paling handal pun nggak bisa memastikan.

Jadi, aku nggak tau, apakah aku masih akan mencintaimu ketika kamu berusia 64 tahun. Dan aku nggak bisa berjanji. Dan aku juga nggak tau apakah hal semacam itu perlu untuk kamu tanyakan; karena setiap kali bersama kamu, aku cuma ingin menikmati setiap momen, setiap detiknya, setiap ‘sekarang’ yang akan jadi kenang-kenangan buatku di masa depan—yang masih nggak ketahuan apakah akan kulewati dengan atau tanpa kamu.

Buatku, adalah sebuah kesia-siaan bermimpi soal masa depan selagi kamu ada di hadapanku sekarang. Saat-saat bersamamu ingin kunikmati tanpa andai-andai yang malah membuatku lupa dan teralihkan dari apa yang sedang kamu ceritakan, jins baru yang kamu pakai, taro bun yan hendak kamu pesan, seperti apa rasa jemarimu yang menghangatkan jemariku…

Cuma satu hal yang perlu kamu tau, dan bisa kujawab dengan pasti.

Bahwa kalau ditanya apakah ‘saat ini’ aku mencintai kamu, jawabannya adalah: iya.

——————-

*) pertanyaan dari status Twitter yang saya lihat di timeline dan menginspirasi saya menulis postingan ini 😀

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP