Thrity Umrigar, 2006 | 320 halaman
Perkenalan saya dengan sastra India dimulai dengan Jhumpa Lahiri dan antologi Interpreter of Maladies-nya. Saya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama: pada sari, miju-miju, nasi dengan kismis, hotmix, jus mangga, juga musim hujan yang basah dan becek di Calcutta. Kemudian saya mencoba peruntungan saya selanjutnya dengan membaca Mistress of Spices-nya Chitra Banerjee Divakaruni.
Sejak saat itu, karya-karya Lahiri dan Divakaruni membuat saya berkeinginan memenuhi pojokan ‘India’ dalam rak buku saya. Penulis-penulis perempuan India ini punya latar belakang pendidikan Barat yang modern, tapi tidak pernah meninggalkan akar kebudayaan India dalam tulisan-tulisannya. Tragis bukan berarti cengeng. Dramatis tidak harus diseret-seret dengan cucuran air mata.
The Space Between Us karya Thrity Umrigar adalah salah satu di antara kisah-kisah yang mengubah pandangan saya tentang dunia–dan tentang hubungan antar manusia. Jarak–terbentang antara Bhima, perempuan tua yang menjadi pelayan dan Sera, perempuan paruh baya yang menjadi majikannya. Meskipun keduanya sama-sama perempuan, sama-sama pernah tersakiti dan berbagi rahasia kelam dalam kehidupan mereka, jarak itu tetap ada.
Terkadang bentangannya begitu lebar, hingga Sera bersikeras Bhima minum dari gelas terpisah; tidak duduk di sofa atau kursi-kursi keluarga Sera, dan ketika anak perempuan Sera memeluk Bhima dengan sayang, Sera rasanya ingin menyuruh anaknya itu mencuci tangan bersih-bersih. Meski demikian, dalam caranya sendiri, Sera menyayangi Bhima–dan jarak di antara mereka menyempit ketika Bhima menghibur Sera yang tengah dilanda depresi; ketika Sera membantu cucu perempuan Bhima untuk mendapatkan pendidikan yang layak, ketika Sera memperlakukan Bhima dengan jauh lebih baik ketimbang majikan-majikan lainnya, sehingga kawan-kawan Sera sering mengingatkannya tentang kisah-kisah majikan yang ditikam pembantunya sendiri.
The Space Between Us bukan saja berkisah mengenai kesenjangan sosial di antara dua kelas di India, tetapi juga mengenai keterkaitan nasib di antara semua orang–tak peduli seberapa kaya maupun seberapa miskinnya dia. Bahwa mereka yang kekurangan dan berkelebihan bisa sama-sama bahagia, dan bisa sama-sama menderita. Bagaimana dalam kelas sosial mereka sendiri, Bhima dan Sera sebenarnya merupakan dua pribadi yang sama-sama terpinggirkan. Yang terbuang.
Meskipun banyak berkisah mengenai kemiskinan, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, bahkan AIDS, The Space Between Us dituturkan dengan wajar dan tidak berlebihan. Anda mungkin akan terkejut membaca pertemuan Bhima dengan lelaki yang nantinya menjadi suaminya, bagaimana romantisme mereka bermula di tengah kemiskinan kota dan jalan-jalan kota yang macet, sumpek, bau, dan penuh sesak.
Lewat kisah Bhima dan Sera, Umrigar mengingatkan kita bahwa dalam kondisi paling mengenaskan sekalipun, bahagia bisa menjelma dalam hal-hal paling sederhana. Dan dalam bahagia, air mata selalu mengintip di setiap sudut, menunggu waktu menyelisip ke bawah kelopak mata dan mengalir menuruni relung hati. Bahwa nasib adalah benang yang jalin-menjalin sedemikian ruwetnya, sehingga kita tidak akan pernah bisa mengira apa yang disembunyikan rahasia-rahasia masa lalu untuk masa depan, hingga tiba saatnya.
19 Responses
*write down*
Done!! Pulang kantor, mampir ke Gramedia. Kalau sampai di-review Hanny, kyknya worth it jadi bacaan insomnia nih 😀
Oh ya, recommend dari gw sih yg lebih ringan, Han. “Komik Cihuy Anak Band” 😉 – bener-bener pengusir bete, apalagi klo lg macet di jalan. Daripada melototin argo yg jalan terus ….
LOL makasiiiih :)) ntar dicari Komik Cihuy Anak Band-nya :)) *e biasanya kalo macet di jalan saya tidur* =)) *kebluk*
pake bahasa apa mbak? India nehi-nehi ato inggris? soale dua-duanya saya ndak paham *lha!*
tapi boleh saya curiga ya mbak, jangan-jangan review sampeyan yang (selalu) ditulis dengan bahasa indah ini lebih bagus dari buku aslinya 😆
hahahaha, ini ada edisi bahasa Indonesianya di gramedia kok 🙂 dan menurutku bagus banget, review-ku ga bisa menggambarkan efek setelah membaca buku ini hihihih 😀
makasih resensi ceritanya. pengen baca jadinya
bacalah 😀 food for soul 😉
membaca paragraf terakhir, jadi ingat seseorang pernah berkata, “Bukankah tawa bisa terbit dari fajar air mata?”
begitulah kira-kira 😀
aaargh, jleb, aaaa 😀 *dramatis* 😀
sama kaya cerita-cerita bollywood ga mba?
errr nggak, sih, jarang liat film bollywood yang spt ini kisahnya 😀 tapi jadi ngingetin sama film lama India City of Joy, yang main Patrick Swayze dan cast orang2 India 😀 film itu bagus juga! udah pernah nonton belum?
Keliatannya menarik, mudah-mudahan di bukunya ga ada adegan nari2 sambil maen petak umpet pake tiang di tengah hujan gede =))
ga adaaaaa xixixixixi 😀 *goyang pinggul*
bagus banget siy ngereviewnya … ajarin donkz ….
aku bener2 cinta interpreter of maladies-nya jhumpa lahiri … pengen beli the unaccustomed earth tapi masih mahal …. nah mungkin bisa baca buku ini dulu 🙂
bagusan bukunya daripada reviewnya, nad 😉 unaccustomed earth bagus, tapi menurutku jauh lebih bagus interpreter of maladies 🙂
Cerita-cerita India punya nyanyian dan rasa yang kental (seperti gulag jamun) dalam setiap adegannya.
iya, aku suka cara mereka masukin unsur-unsur budaya India mulai dari upacara, kebiasaan dan adat, makanan, pakaian, dalam cerita-cerita mereka. akan keren kalau penulis-penulis Indonesia juga lebih banyak menginjeksi unsur-unsur budaya Indonesia sehari-hari dalam tulisannya, dan menjelma jadi sesuatu seperti Bilangan Fu–modern, tapi juga kental unsur Indonesianya 🙂
argh, pengen. kirimi daku ta pinjam kah?:P hahahhahaha
lahiri dan divakaruni memang mantaps 😀 kapan kamu ke rumahku yah, liat koleksi indian literature?:P
Menggoda untuk membaca.. Thx review-nya (siap2 untuk hunting buku, lagi). Buku ttg India yang pernah saya baca dan sangat berkesan sampai sekarang adalah City of Joy (Negeri Bahagia), meski penulisnya bukan orang India.
haaa..malah gak tau kalo ada filmnya.. jadi pengen nonton. 🙂