Dear Dimas,
Aku baik-baik saja di sini, masih selalu merindukan hujan, seperti biasa. Hanya saja, sekarang aku tidak lagi hanya menunggu sampai rintiknya datang diantarkan mendung. Kini aku menghadirkannya sendiri, tepat di meja kerjaku. Seorang teman baru-baru ini mengirimiku suara hujan. Kemudian, jendelaku itu—yang menghadap ke taman, kusiram dengan air hingga meninggalkan tetes-tetes serupa jejak gerimis. Sebegitu mudahnya! Dan aku larut dalam suasana hujan, bahagia seperti kanak-kanak seharian, meskipun di luar sana cuaca tengah kering-kerontang.
Barangkali aku sudah belajar, Dim. Untuk tidak terlalu banyak (atau terlalu lama) menunggu. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan untuk menghadirkan apa yang kita cintai, kalau saja kita tidak mengkhawatirkan terlalu banyak hal. Tentu saja, adalah perbuatan bodoh memutar suara hujan dan menciprati jendela kerjaku dengan air, kemudian memekik riang: hujan! Tetapi, lalu kenapa?
Baru tadi pagi, di dalam bis, aku melanjutkan membaca The Museum of Innocence-nya Orhan Pamuk. Lalu mataku terpikat pada baris-baris kalimat ini:
“Any intelligent person knows that life is a beautiful thing and that the purpose of life is to be happy. But it seems only idiots are ever happy. How can we explain this?”
Mungkin aku akan lebih memilih menjadi orang bodoh. Yang bisa bahagia untuk hal-hal sederhana. Yang bisa tertawa senang dan memekik riang hanya dengan berlarian telanjang kaki di padang, di bawah bintang-bintang. Aku tahu, kamu juga menyimpan kebahagiaan-kebahagiaan kecil itu setiap hari: ketika mendengarkan orang-orang yang bercakap dalam bahasa Thai, berputar-putar tanpa tujuan di Chatuchak, menggigiti sayap ayam di Som Tam Nua, atau memandangi lampu-lampu yang berpendar dari balik jendela condomu—ada cerita di balik tiap cahayanya.
Aku tahu kita akan baik-baik saja, Dim. Di manapun kita berada, apapun jalan yang kita pilih. Kita akan baik-baik saja, karena kita memiliki satu sama lain.
Aku tak perlu bilang ketika aku sedih. Kamu tahu, dan akan mengirimiku sekotak kue dan boneka lucu untuk menggantikan kamu menemaniku. Kamu tak perlu bilang ketika kamu lelah. Aku tahu, dan aku akan mengirimi hal-hal bodoh lewat email untuk membuatmu tersenyum. Kalaupun kita tak sedang duduk bersisian; minum kopi di sebuah toko buku kecil—atau berputar-putar mengelilingi Jakarta di akhir pekan, itu bukan masalah. Karena bukankah jarak itu tak lebih dari kendala fisik belaka?
Jadi, jaga diri (dan hati) baik-baik, Dim. Aku akan tetap menemanimu lewat kedai kopi, toko buku kecil, penjaja bunga potong, pucuk-pucuk pagoda, kain warna-warni, juga es kelapa muda di jalan-jalan Bangkok. Dan kamu masih akan selalu menjadi pukul tiga pagi-ku.
———
PS: Waktu melewati toko buku kecil di Lagos ini, tiba-tiba aku teringat kamu.
18 Responses
Han, kamu selalu juara banget ngerangkai kata. Mikir: pukul tiga pagi-ku? 😀
itu ada link-nya kok kalau mau tau soal pukul tiga pagi 😛
Sweet, hangat bacanya 🙂
🙂
iya aku percaya, setiap orang selalu punya pukul 3 paginya yah ? :DD
karena aku juga punya :’)
iya, aku juga percaya. pukul tiga pagimu beruntung sekali 🙂
jadi kangen hanny hihihi~
aku juga kangen didut, haduh kapan ini ya aku ke semaraaang T___T
Tiap baca tulisan mba Hanny pasti berasa hangat dan simple, mengena di hati, mba.
Tetap sehat ya, biar bisa nulis terus
aduh, makasih didoain sehat *amiiin* 🙂 terima kasih, anggi! 🙂
Ahh..so sweet.. Saya hanyut lagi di bawa kata kata 🙂
Salam hangat…
salam juga, fahri. terima kasih sudah mampir ke sini 🙂
mba hanny,aku juga punya pukul tiga pagi. yang selalu membuatku semangat menjalani semester pertama ku di kampus 🙂
uwaaah, senangnyaaaa ^^
beradadisini seperti memasuki alam imagi yah…
salam kenal aja dan ijin untuk membaca postingannya
oh ya,… salan juga untuk dimas
kak? kok bisa sih nulis pake bahas seperti ini? ajarin aku dong? ngena banget tulisannya *usap air mata* :”)
nulisnya buat orang yang disayang, deh. pasti bisa 😛