Saya tahu bahwa ia tengah mengandung.
Setelah beberapa bulan lamanya tak pernah mendengar kabar darinya, tiba-tiba ia hadir melalui jendela pesan instan di komputer saya dan berkata:”Saya sedang tidak bisa kemana-mana dan tidak bisa ketemu siapa-siapa saat ini.”
Tiba-tiba saja, saya nyeletuk:”Are you pregnant?”
Ternyata celetukan saya benar. Saya kaget.
“And guess what,” ujarnya lagi.
“Apa?” saya menyahut. “Bapaknya nggak mau bertanggung jawab, ya? Karena he’s a married man?”
“Iya! Kok lo tau?!” ia terkejut.
Saya lebih terkejut lagi. Semuanya tidak sengaja. Saya hanya mengatakan apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya. Ternyata benar. Ini sedikit mengerikan.
Beberapa bulan lamanya kami tidak bersua; dan saya tidak lagi mendengar kabar darinya. Hingga sore ini; ia kembali hadir dengan perantaraan jendela biru di layar komputer saya itu.
“Jangan pernah tertipu kayak gue, ya,” ujarnya. “Gue merasa benar-benar jatuh cinta, dan benar-benar dicintai, ternyata gue cuma ditipu dan dijadikan mainan. Lo harus tahu, bahwa tampang bisa menipu. Tampang baik-baik dan simpatik, tapi… eh, lo tau, kan, siapa bapak anak gue?”
“Nggak tahu. Siapa memangnya? Gue kenal?”
Dan ia pun menyebutkan satu nama. Nama yang identik dengan seorang lelaki yang ramah, simpatik, pintar, dan sangat charming. Lelaki bertampang baik-baik yang selalu dianggap sebagai kakak lelaki semua orang–karena dia begitu…. nice. Lelaki yang juga saya kagumi karena kualitas-kualitas tersebut; yang ada dalam dirinya.
Dan teman saya itu ternyata bukan satu-satunya. ‘Korban’ lain pun bermunculan di sekitar…
Ketika derita yang sama terbagi, terkuaklah bahwa dahulu, mereka–perempuan-perempuan yang saling benci karena berebut cinta, ternyata sama-sama dikhianati.
Saya shock. Benar-benar tidak menyangka. Kok bisa? Dan saya mendidih. Merasa ikut tertipu. Sosok simpatik yang penuh sopan-santun itu. Dengan tampang baik-baiknya itu. Tiba-tiba saya menjadi lebih marah lagi–justru karena semua kesan ‘baik-baik’ yang menguar dari diri lelaki itu. Saya ikut merasa dikhianati.
Lebih tidak menyangka lagi ketika lelaki itu meminta teman saya melakukan aborsi. “We didn’t plan to have a child,” katanya.
Ketika teman saya menolak untuk menggugurkan kandungannya, lelaki itu meninggalkannya. Begitu saja. Update: Tetapi kemudian ia kembali dan menikahi sang teman secara siri. Beberapa bulan berlalu, dan kini si lelaki kabarnya ingin menceraikan sang teman.
Saya masih tidak bisa berpikir jernih. Beberapa menit saja telah mengubah seluruh pandangan saya tentang lelaki itu.
On a second thought, ternyata dia bukan ‘lelaki’.
Setidaknya, bukan di mata saya.
PS: Karena banyaknya komentar ‘anonymous’ seputar posting ini (berarti ada yang merasa walau saya tak pernah menyebut nama), saya hanya bisa mengatakan bahwa saya memang bercerita dari sudut pandang sang teman perempuan. Kalau ada yang mau menulis posting-an dari sudut pandang sang lelaki di blog lain, dipersilakan 🙂
14 Responses
bukankah memang selalu ada kejutan di balik setiap tikungan kehidupan?
Ah, masak yang tidak bertanggungjawab itu bukan ‘lelaki’ ? Agak bias gender nih…
😀
ndoro–iya, kaget, nih
reza–bukan ‘lelaki’. makanya pakai tanda petik 🙂 dia bukan lelaki, bukan perempuan, cuma makhluk menyedihkan yang nggak punya perasaan. sekali lagi, setidaknya di mata saya, lho 🙂
mbak..mbak.. mbak ini sopir bajaj ya? jago bener ngeles nyaa??? ….
hehehehhe…
*kabuuurrrrrrrrrr*
reza–mas, mas, iya dong, hari geneee kalo ga pinter nge-lesss keserempet mulu, mas 😀 hehehehehehe ;p *ngejaaarrr sambil nyambitttt*
beneran? diangkat dari kisah nyata? btw kenapa tidak pakai istilah “bunga” atau “mawar” atau yang lainnya.
huff… setiap orang punya topengnya sendiri untuk dipentaskan diatas panggung…
merasa tertipu? kalau gitu, kita bakal merasa tertipu dengan semua orang. karena semua orang pasti punya topengnya sendiri…
hanny, perempuan temanmu itu melakukan semua dengan penuh kesadaran. dia kan bukan korban perkosaan. dan lelaki itu sudah menikahi dia, sudah bertanggung jawab! kamu sendiri bilang, dia laki-laki baik dan simpatik. temanmu itu mengakui juga kan? nah kenyataannya memang begitu. dia baik, dan dia bertanggung jawab, tapi temanmu itu meneror dia, menuntut terus menerus, mengirimkan anggota keluarganya untuk meneror dan menghina. Jangan hanya memandang dari satu sisi. temanmu itu, hmm coba tolong sadarkan dia untuk berhenti mengumbar aibnya sendiri. dia memang bergaul bebas dengan banyak lelaki toh? sampaikan pada dia supaya istigfar.
‘Gue merasa benar-benar jatuh cinta, dan benar-benar dicintai, ternyata gue cuma ditipu dan dijadikan mainan’
ini kata temanmu itu? hmm bagaimana mungkin dia merasa ditipu dan dijadikan mainan? dia sudah dinikahi secara sah! ada bukti suratnya kok kalau mereka menikah.
‘Ketika teman saya menolak untuk menggugurkan kandungannya, lelaki itu meninggalkannya. Begitu saja. ‘
ini kebohongan besar yang lain, hanny. kenapa ya temanmu itu tega membohongimu seperti itu? mereka menikah sah secara agama! sampai kemudian lelaki itu tak tahan lagi dengan perbuatan temanmu yang selalu menganiaya dia secara mental.
begini Hanny, terserah kamu mau pikir apa. Tapi saya juga perempuan dan saya kenal lelakinya. dia memang seperti yang kamu bilang
‘seorang lelaki yang ramah, simpatik, pintar, dan sangat charming. Lelaki bertampang baik-baik’
dia memang baik kok! makanya temanmu itu juga jatuh cinta kan? tapi karena kelakuan temanmu itu, yang selalu meneror dan keras, lelaki itu akhirnya nggak tahan lagi! dan dia tetap mau bertanggung jawab setidaknya secara finansial, tapi temanmu itu menolak dan memaki dia.
paham hanny?
PS: Karena banyaknya komentar ‘anonymous’ seputar posting ini (berarti ada yang merasa walau saya tak pernah menyebut nama), saya hanya bisa mengatakan bahwa saya memang bercerita dari sudut pandang sang teman perempuan. Kalau ada yang mau menulis posting-an dari sudut pandang sang lelaki di blog lain, baik untuk mengkonfirmasi maupun hanya sekadar berbagi, dipersilakan 🙂
dear hanny, terimakasih responnya 🙂 saya memang hanya perempuan yang kebetulan mengetahui peristiwa itu. Dan karena saya perempuan yang mengenal baik sang laki-lakinya, saya bisa memandang dari dua belah sisi, sisi perempuan dan sisi lelaki. Saya hanya tidak suka kalau ada ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Cara teman perempuan itu bercerita kepada kamu, maupun di blognya membuat saya heran, kenapa dia menyebarkan kebohongan seperti itu. Saya percaya, Hanny bisa berpikir jernih. Bila waktunya tepat nanti, kita akan bicara. Terimakasih banyak 🙂
Masalahnya nasi sudah menjadi bubur, jadi sebaiknya ya ditambah kecap ama ayam suwir biar lebih enak. Moral dari cerita ini adalah masa depan masih panjang membentang didepan kita, mari kita hadapi dengan kepala tegak bahwa semua pasti ada hikmahnya.
Iya, Mas Totok,nasi memang sudah menjadi bubur. Tapi masalahnya, teman perempuan itu terus menerus menebarkan kabar bohong yang mencemarkan nama baik si laki-laki. Bahwa si laki-laki menghamilinya, memintanya untuk menggugurkan kandungan, kemudian kabur karena si perempuan tak mau. Nah itu BOHONG. tapi si perempuan ini terus menerus memfitnah. gimana dong Mas pendapatmu??thx ya
wah keren !
seperti di sinetron ya …
sekedar berbagi pendapat,
bila sesuatu itu dimulai dengan cara yang kurang baik, kemungkinan terbesar adalah akan berakhir dengan cerita yg kurang baik pula.
dari “kasus” tersebut, boleh dikatakan bila mereka telah sama-sama melakukan sebuah kesalahan dan kebohongan. sang lelaki, jelas telah membohongi isterinya. dan itu salah. sedang si perempuan, bersalah karena dia telah memasuki kehidupan lelaki yang sudah beristeri terlalu dalam. dan itu menyebabkan si perempuan selalu melakukan kebohongan terhadap isteri sang lelaki mengenai hubungan mereka