HAN, DAH TIDUR? G DAH PLG, NIH, demikian isi SMS yang kamu kirimkan pada suatu waktu lewat tengah malam. MSH JET LAG ABIS. GAK BS TDR.

Dan saya pun enggan untuk tidur lagi; sehingga kita menghabiskan sisa dini hari dengan penyegaran jasmani khusus ibu jari: 20-set, tidak henti-henti. Hari-hari seperti ini adalah hari-hari di mana saya rela begadang sampai pagi, meskipun hari-hari seperti ini hanya terjadi sekali-sekali.

Akhirnya saya dan kamu jatuh tertidur setelah bertengkar mengenai siapa yang harus berhenti mengirimkan SMS duluan. Seperti dua orang yang tengah kasmaran. Tetapi tidak sekalipun dalam 20-set itu kita menyinggung mengenai kita.

Kamu tidur sampai jam setengah enam, dan baru bangun ketika perut kamu terasa keroncongan. Telepon genggam saya berkedip dan sebaris kata mengkonversikan kehadiran kamu dalam guyuran senja. MAKAN DI LUAR YUK. SEJAM LG G JEMPUT YA.

Dan kita pun menghabiskan malam itu di sebuah kafe pinggir jalan. Ketika makanan kita datang, kamu sibuk bergerilya mencuri tumpukan keju dari piring saya, sementara saya pun gigih berburu udang-udang yang terkubur di dalam nasi goreng yang kamu pesan. Menggunakan sendok dan garpu layaknya pedang. Sepertinya kita sedang bertengkar, tetapi kita tahu yang terjadi adalah sebaliknya. Semua nampak berjalan sempurna, selama kita bertahan untuk tidak bicara tentang kita.

Pukul delapan lewat, masih terlalu dini buat kamu untuk pulang. Dan saya pun belum menginginkan hari ini berakhir di sini. Maka beberapa menit kemudian, kita terdampar di sebuah kedai kopi berdinding kaca dengan sofa-sofa merah tua. Sandaran sofa itu tepat setinggi bahu saya. Sehingga ketika kamu mengistirahatkan tanganmu di sana, tercipta ilusi optik yang luar biasa: kamu seolah tengah memeluk saya.

Kita berdiri di depan kasir, memesan tiga jenis kopi untuk dinikmati berdua—dan sebotol Vodka Cruiser untuk kamu saja. Ditingkahi lampu yang temaram, kita pun bicara tentang hal-hal yang pernah kita lewati bersama. Kawan-kawan. Impian. Masa depan. Tetapi tidak sekalipun kita mengangkat topik mengenai kita dalam pembicaraan.

Kita meledak dalam tawa ketika mengenang masa lalu, bertukar pandang kemudian cekikikan sampai nyaris gila. Ada hal-hal yang cuma dimengerti oleh kita berdua. Dan kita tidak meminta lebih. Sudah cukup meskipun kita hanya nampak seperti sepasang kekasih.

Ketika semua nyaris sempurna, seperti biasa, gadis itu menampakkan dirinya di bingkai jendela. Tepat di hadapan kita. Dengan rambut terjuntai dan wajah kusut masai, dia melayang di sana. Memandangi kita. Dia tidak bicara, tetapi kita tahu dia berduka. Dia tidak meneteskan air mata, tetapi kita tahu bahwa dia menangis.

Dan kita pun terdiam. Tawa kita menghilang menjadi sekeping sunyi yang terlalu sendirian.

Kemudian kita menyadari bahwa gadis itulah yang membuat kita tak pernah sungguh-sungguh berbicara tentang kita.
Karena gadis itu adalah suara hati kita.

IMG. http://www.phirebrush.com/issues/issue26/submissions/digital_art/Fififi%20-%20ghost_girl_by_Fififi.jpg

hanny

One Response

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP