It wasn’t an excuse. Really.
Rasanya susah sekali untuk saya menemukan waktu luang buat diri saya sendiri. Mungkin saya tidak melakukan apa-apa secara fisik, tetapi pikiran saya terus berputar. Mata saya terpejam, tetapi percaya deh, saya tidak tidur nyenyak.
Saya menikmati sebuah hari Minggu beberapa waktu berselang, dalam sebuah safari menyusuri sungai dari hulu ke hilir. Begitu menyenangkan kembali berada di bawah guyuran hujan, terpeleset-peleset di tanah basah, dan mencoba menghindari geliat cacing-cacing pada tiap pijakan. Menyeberangi sungai. Akhirnya, saya berhasil juga melarikan diri dari hingar bingar Jakarta.
Ironisnya, it was a part of my job! Bukan saya yang mengatur segalanya. Bukan saya yang menjadwalkan diri untuk sebuah liburan. It was just a beautiful coincidence.
It wasn’t an excuse. Really.
Benar, saya mengambil day-off in lieu pada hari Kamis dan Jumat. Tetapi itu karena saya tahu, saya nyaris ambruk. Kalau bisa tentu saya akan paksakan diri untuk masuk, karena pekerjaan masih menumpuk. Tetapi saya tahu batas kemampuan saya. Setelah berminggu-minggu nyaris absen dari yang namanya libur, tenggorokan saya mulai meradang. It was simply something I should do, supaya penyakit saya tidak bertambah parah.
Dan saya tidak bohong, jika saya bilang hari Sabtu saya diisi dengan serangkaian kegiatan. Satu konsekuensi karena saya ingin menjadi media trainer, maka Sabtu pagi saya harus mengikuti training for trainers di kantor. Menertawakan diri sendiri dan memperbaiki kesalahan-kesalahan berkomunikasi. Kemudian saya tidak bohong, jika mengatakan bahwa setelah itu saya harus pergi ke kampus. Saya kasihan pada Ms. Giselle yang sudah menelepon saya beberapa kali, dan saya sudah mengatakan “Ya. Saya akan datang.”
Jadi saya datang untuk melakukan debate simulation.
Gimana caranya supaya kamu percaya, bahwa semua ini bukan cuma alasan yang saya buat untuk menghindar? Bahwa saya memang belum punya waktu untuk kamu? Dan bahwa saya belum siap berbagi … bahwa saya masih mencari lebih banyak waktu untuk diri saya sendiri …
Ini bukan karena siapa kamu. Atau apa salah kamu. Ini karena saya masih sangat egois, dan masih menginginkan seluruh waktu luang yang saya punya, hanya untuk diri saya sendiri.
Please trust me. It wasn’t an excuse. Ini yang sebenarnya.