It wasn’t an excuse. Really.

Rasanya susah sekali untuk saya menemukan waktu luang buat diri saya sendiri. Mungkin saya tidak melakukan apa-apa secara fisik, tetapi pikiran saya terus berputar. Mata saya terpejam, tetapi percaya deh, saya tidak tidur nyenyak.

Saya menikmati sebuah hari Minggu beberapa waktu berselang, dalam sebuah safari menyusuri sungai dari hulu ke hilir. Begitu menyenangkan kembali berada di bawah guyuran hujan, terpeleset-peleset di tanah basah, dan mencoba menghindari geliat cacing-cacing pada tiap pijakan. Menyeberangi sungai. Akhirnya, saya berhasil juga melarikan diri dari hingar bingar Jakarta.

Ironisnya, it was a part of my job! Bukan saya yang mengatur segalanya. Bukan saya yang menjadwalkan diri untuk sebuah liburan. It was just a beautiful coincidence.

It wasn’t an excuse. Really.

Benar, saya mengambil day-off in lieu pada hari Kamis dan Jumat. Tetapi itu karena saya tahu, saya nyaris ambruk. Kalau bisa tentu saya akan paksakan diri untuk masuk, karena pekerjaan masih menumpuk. Tetapi saya tahu batas kemampuan saya. Setelah berminggu-minggu nyaris absen dari yang namanya libur, tenggorokan saya mulai meradang. It was simply something I should do, supaya penyakit saya tidak bertambah parah.

Dan saya tidak bohong, jika saya bilang hari Sabtu saya diisi dengan serangkaian kegiatan. Satu konsekuensi karena saya ingin menjadi media trainer, maka Sabtu pagi saya harus mengikuti training for trainers di kantor. Menertawakan diri sendiri dan memperbaiki kesalahan-kesalahan berkomunikasi. Kemudian saya tidak bohong, jika mengatakan bahwa setelah itu saya harus pergi ke kampus. Saya kasihan pada Ms. Giselle yang sudah menelepon saya beberapa kali, dan saya sudah mengatakan “Ya. Saya akan datang.”

Jadi saya datang untuk melakukan debate simulation.

Gimana caranya supaya kamu percaya, bahwa semua ini bukan cuma alasan yang saya buat untuk menghindar? Bahwa saya memang belum punya waktu untuk kamu? Dan bahwa saya belum siap berbagi … bahwa saya masih mencari lebih banyak waktu untuk diri saya sendiri …

Ini bukan karena siapa kamu. Atau apa salah kamu. Ini karena saya masih sangat egois, dan masih menginginkan seluruh waktu luang yang saya punya, hanya untuk diri saya sendiri.

Please trust me. It wasn’t an excuse. Ini yang sebenarnya.

hanny

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP