Saya adalah satu dari segelintir orang yang masih bisa “hidup” tanpa telepon genggam.
Ada saat-saat tertentu di akhir minggu ketika saya memilih untuk mematikan telepon genggam, dan mengecewakan orang-orang yang kebetulan memilih hari sial itu untuk menelepon saya. Antusiasme mereka terpaksa anjlok ketika mendengar suara manis sang operator “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif …”

Saya juga bukan orang yang menganggap handphone sebagai benda keramat yang sangat penting. Ketinggalan handphone bukan masalah besar untuk saya secara pribadi. Karena saya termasuk orang yang masih rajin menyalin setiap nomor telepon ke dalam halaman-halaman sebuah buku harian.

Entah sudah berapa banyak “pihak” yang mengeluhkan betapa sulitnya saya dilacak pada akhir minggu. Saya cenderung membiarkan telepon genggam tergeletak di dalam tas; dan baru mengeluarkannya pada hari Minggu malam, ketika indikator baterai-nya tinggal segaris.
Buat saya akhir minggu adalah kesempatan menyepi yang langka. Di mana saya bisa berdiam di kamar sepanjang hari, berkutat dengan kertas dan pensil, menulis, menyeduh kopi, menulis, mendengarkan musik, menulis, membaca, menulis, berpikir, menulis … sampai akhirnya saya jatuh tertidur. Pada akhirnya cuma ada saya, gesekan pensil di atas kertas yang terdengar begitu merdu dan familiar. Atau ketak-ketik keyboard yang bukan main cepatnya–nyaris tanpa henti.

Waktu-waktu seperti ini adalah satu kesempatan langka yang kenikmatannya cuma bisa dimengerti oleh saya sendiri. Menghabiskan waktu sebulan tanpa telepon genggam, televisi, dan radio, di tengah pegunungan atau di pinggir pantai, sama sekali bukan masalah buat saya. Sediakan saja komputer (tanpa fasilitas internet) di mana saya bisa mengetik seharian, kertas, pensil, dan beberapa buah buku yang bisa saya baca-baca sebelum tidur. Itulah yang bisa saya sebut sebagai “the real vacation”.

Ketika seorang teman menelepon dan bertanya,”Emangnya … elo nggak kesepian, ya?”

Saya ingin menjawab “tidak”, tetapi saya tahu ada serangkaian penjelasan panjang yang harus saya berikan padanya. Sementara saya tahu dia tidak akan mengerti. Saya tidak bisa menjawab “ya”, karena saya tidak merasa kesepian. Ini cuma masalah pilihan. Untuk mengasingkan diri dari hingar-bingar dunia yang 24 jam sehari.

Dan saya jadi teringat sebuah dialog mengesankan dalam buku cerita THE LITTLE PRINCE-nya Antoine de Saint-Exupery, antara si Pangeran Kecil dan seekor Ular yang dijumpainya di tengah gurun yang sepi:

“Where are the men?” the little prince at last took up the conversation again. “It is a little lonely in the desert … ”
“It is also lonely among men,” the snake said.

Saya ingin berteriak: “Exactly!”

Hidup saya terasa indah ketika kawan-kawan berada di sekitar. Clubbing bisa terasa menyenangkan; meskipun betis terasa kencang. Makan roti bakar di pinggir jalan bisa berlanjut menjadi rangkaian sesi curahan hati. Begitu pula petualangan shopping di Bali yang dilakukan di bawah guyuran hujan.

I love my friends. And I adore the friendship.

Tetapi ada saat-saat di mana saya cuma ingin dibiarkan sendiri dengan pemikiran-pemikiran dan perasaan saya. Saya harap kawan-kawan saya mengerti jika kadang-kadang saya menghilang dan tak bisa dihubungi 🙂

Oh ya, satu hal lagi: kita tidak akan pernah merasa terlalu kesepian jika kita masih memiliki diri kita sendiri.

hanny

One Response

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP