Saya sedang bosan sekali nih. Kerjaan lagi nggak seru. Nulis juga lagi buntu lagi. Sampai suatu ketika, saat saya sedang mengemudi sendirian di tol Cipularang tiba-tiba, lagi-lagi, saya berpikir tentang arti kehidupan.
Sebetulnya untuk apa kita hidup? (see: ari’s blog)
Hmm, sekitar tahun 2004, saya pernah menulis: “Hidup adalah meraba-raba dalam kegelapan, mencoba mencari jalan keluar. Kemungkinan besar, kita nggak akan pernah tau apa-apa saja yang sudah kita lewati dalam kegelapan itu, tapi yang penting adalah: kita sudah keluar. Dan kembali berada di tempat terang. Itulah hidup. Kadang-kadang kita nggak perlu mengerti semuanya. Kita hanya perlu berjalan melewatinya.”
Sekarang, selagi saya membaca kembali posting “Meaning of Life” di blog teman sekantor saya (yang kebetulan juga seorang dosen HI, konsultan PR, dan lajang Cosmo 2005 … ! hihihihi), pikiran saya melayang-layang mempertanyakan hal yang sama, yang sudah sering saya lontarkan di kala sedang merasa sangat sendirian. “What is the meaning of life?”
Kalau sudah begini saya jadi iri pada Dante, a Belgian friend of mine.
Dia benar-benar menikmati hidupnya. Melakukan apa yang dia mau. Backpacking keliling Eropa dan Asia. Keluar dari bangku kuliah (walaupun sebenarnya dia bisa kuliah gratis di Brussels) dan memilih untuk belajar sendiri di perpustakaan universitas. Tenggelam dalam topik-topik yang menarik minatnya: ecotourism, world economy, social and community development, education, philosophy, cultural relations …
Dia lebih memilih untuk bergabung dengan berbagai organisasi, Greenpeace, Asia-Europe Youth Forum, dan masih banyak lagi. Dia mengejar kesempatan bertemu dengan orang-orang yang ahli dalam bidang-bidang yang ia minati. Menelepon mereka dan mengajak makan siang. Bertukar pikiran. Menulis dan membagikan semua yang dia rasa pada teman-temannya yang tersebar di berbagai penjuru dunia.
Dante bekerja untuk mendapatkan uang, kemudian menghabiskan uangnya untuk melakukan hal-hal yang dia suka. Travelling, melihat dunia. Membeli buku-buku yang bisa membuat pikiran dan hatinya kaya. Menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di udara bebas, bersepeda di hutan dekat kampus, lalu beristirahat sambil membaca. Melibatkan diri dalam youth camp yang diadakan di sana-sini. Menyuarakan pemikiran dan aspirasinya lewat berbagai global network yang tersedia lewat Internet.
Sedikit banyak, dia mempengaruhi saya lewat email-emailnya. Membuat saya jauh lebih dewasa. Membuat saya ingin belajar lebih banyak mengenai hal-hal yang tidak pernah menarik minat saya sebelumnya. Awalnya saya hanya merasa tertantang. Merasa harus bisa “menandingi” pemikiran-pemikirannya yang sangat berorientasi jangka panjang. Jadi saya mulai memperluas wawasan, mempelajari hal-hal yang baru sama sekali buat saya. Bertukar pikiran itu ternyata menyenangkan, jika kita tau apa yang tengah diperbincangkan.
Senangnya, bisa hidup sebagai diri sendiri, berani untuk menyingkirkan ekspektasi
orang lain (terutama orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita), dan hidup sepenuhnya sebagai diri sendiri, mengejar keinginan, mewujudkan angan-angan, memiliki kenangan yang tidak akan ada habis-habisnya jika diceritakan. Pengalaman. Cerita. Masa lalu yang tidak pernah disesali. Masa depan yang menunggu untuk dijelajahi.
Mungkin itulah hidup yang sesungguhnya. Mendengarkan kata hati. Mengikuti panggilan nurani. Mewujudkan mimpi-mimpi. Dan dalam perjalanan hidup itu, tak terasa kita mengubah orang-orang yang kita temui. Membawa senyum atau tangis dalam hidup mereka, yang membuat mereka menjadi seseorang yang lebih dewasa. Memberi pelajaran berharga; atau memberi kenangan manis untuk mereka ingat ketika sedang merasa sangat sendiri. Menyentuh kehidupan banyak orang. Mengerti bahwa apa yang kita lakukan hari ini, detik ini, akan mengubah kehidupan seseorang yang sama sekali tidak kita kenal pada suatu hari nanti.
Kemudian saya melihat kalender yang berdiri di meja kerja saya. Sebuah kalender tahun 2005 bernuansa cokelat karamel dan kalender tahun 2006 yang berwarna putih. Cerah. Cepat, pandangan saya beralih. Handphone saya tergeletak di samping mug oranye bergambar Campbell’s Soup-nya Andy Warhol. Tidak ada SMS lagi. Sudah jam 6.15 sekarang. Jemputan saya tidak lama lagi datang, sementara kertas-kertas berisi publikasi United Fibre System dan Kiani Kertas masih bertebaran. Saya rasa, saya tengah berusaha mengalihkan perhatian.
Entah kenapa, saya tidak ingin membiarkan pikiran saya melarut dalam lamunan berkepanjangan, mencari apa arti hidup. Mungkin saya terlalu lelah, atau saya telah sampai pada satu titik di mana pertanyaan-pertanyaan tidak lagi dilontarkan untuk memperoleh jawaban.
Mungkin kita semua akan mengerti arti hidup jika kita sudah berhenti mempertanyakannya. Dan mulai menjalaninya. Sepenuhnya. Karena hari esok masih menunggu untuk diceritakan.