… a piece I wrote on early August (but haven’t got a chance to post it since then) …
Murky Saturday afternoon — 3:00 p.m. @ de-koffie pot
There were three of us. Saya, Jonte, dan Ifel–duduk mengelilingi sebuah meja dengan segelas kopi dingin pilihan masing-masing. We were at de-koffie pot. A cozy coffee-shop in town yang dulunya bernama The Colonial.
Saya nggak tau persis kapan dan kenapa cofee-shop itu berganti nama. Apakah karena nama The Colonial terasa kurang cocok dengan semangat nasionalisme menjelang perayaan 17 Agustus-an? Nggak ngerti, deh. Dan saya juga nggak tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai hal itu. Yang jelas, nggak ada yang berubah dari one of my favorite place itu. Interior design-nya nggak berubah, suasananya nggak berubah. Rasa kopinya juga nggak berubah, begitu pula ukuran strawberry smoothies-nya. Mudah-mudahan rasa cheesecake-nya juga nggak berubah–coz I just love their strawberry cheesecakes!
Saya, Jonte dan Ifel juga nggak berubah–walaupun nama kita masing-masing sempat beberapa kali berubah.
Dulu, saya adalah Hanny. Kemudian dipanggil “Bhene” ketika bergabung dengan kelompok teman yang berbeda semasa SMP. Sekarang, saya juga punya nama lain: Litik. Nama “Litik” diberikan oleh salah seorang teman dekat saya di kampus, singkatan dari liliput leutik. Belakangan, saya adalah “Nie”.
Dulu, Jonte adalah Jonathan. Di SMP, dia adalah “Jonte”. Di SMA, dia dipanggil “Sinsin”. Kemudian nama “Cinta” melekat padanya sewaktu dia tengah pacaran dengan salah satu cewek paling cantik di sekolah. Di Dedham, dia adalah “Jon” (katanya orang-orang Amerika itu susah menangkap aksennya ketika dia memperkenalkan diri sebagai Jonathan. Jadi dia lebih suka introducing himself as “Jon”). Saya sendiri belakangan memanggil dia “Maru”–for some stupid reasons. :p
Ifel sendiri pernah jadi “Felicia”, “Fei”, dan “Feli”.
So what’s the point of all these?
Well, saya pikir … nama-nama panggilan itu mungkin menggambarkan fase-fase tertentu dalam kehidupan kita. Memberikan petunjuk mengenai dengan siapa kita bergaul pada saat itu. Mungkin nama-nama itu mewakili semua orang dan semua hal yang kita suka atau kita benci pada satu kurun waktu tertentu. Tapi yang jelas, nama-nama panggilan itu nggak pernah mengubah who we really are inside.
Kalau dipikir-pikir, saya, Jonte, dan Ifel have been bestfriends since our last year in elementary school. Mungkin udah 10 tahun lebih kita saling kenal. Uniknya, selama 10 tahun ini kita nggak selalu sama-sama seiring sejalan. Ada saat-saat tertentu ketika kita jauh; apakah itu karena kita tengah sibuk sendiri dengan kelompok-kelompok teman yang berbeda, terpisahkan oleh benua yang berbeda, or simply because kita tengah khilaf dan memilih untuk tenggelam dalam ruang cinta bersama kekasih (ruang yang terlalu sempit jika harus disesaki teman-teman).
Kami bertiga sempat terpisahkan selama 4 tahun–dan cuma berhubungan lewat e-mail atau sms (yang lumayan jarang). Tapi no matter what, kami selalu kembali lagi. Bertiga. Nggak peduli siapa lagi sibuk sama siapa, siapa lagi pacaran sama siapa, atau siapa lagi marahan sama siapa, in the end, there will always be the three of us …
Sekalinya kami bertemu lagi, even setelah terpisahkan selama 4 tahun, kami bisa menjadi orang-orang gila yang sama lagi. Menertawakan lelucon-lelucon yang cuma kita sendirilah yang tahu di mana letak kelucuannya. Membangkitkan kenangan lama.Merencanakan masa depan. Melakukan hal-hal yang sama yang selalu kami lakukan ketika tengah kumpul bareng bertahun-tahun yang lalu. Making fun of ourselves. Making fun of others. Merasa nyaman. Merasa dekat. It’s just feels right when we’re together.
Saya bersyukur banget karena saya sudah mengenal begitu banyak orang dalam hidup saya. Memiliki begitu banyak teman. But in terms of years and years of friendship, saya akan selalu bicara mengenai kami bertiga. Persahabatan bukan berarti harus bersama-sama setiap waktu. Bukan berarti harus saling telepon setiap hari atau nggak boleh punya teman-teman lain. Bukan berarti harus kumpul bareng seminggu atau sebulan sekali.
Persahabatan adalah ujian. Ketika terpisahkan sekian lama dan masih saling merindukan. Ketika bertemu dengan teman-teman baru dan masih tidak saling melupakan. Ketika pertengkaran membuat kita merasa sedih, bukannya marah. Ketika perselisihan membuat kita merasa takut kehilangan. Ketika kata-kata menyakitkan yang terlontar menjadi lem yang semakin erat merekatkan. Ketika kebahagiaan membuat kita menangis terharu, bukan cuma tertawa.
Persahabatan adalah tiket pulang ke rumah yang berlaku seumur hidup. Sosok yang kita tuju ketika kita mulai lelah. Sosok yang menenangkan ketika kita gundah. Seseorang yang membuat kita merasa utuh. Seseorang yang membiarkan kita merasa hebat–just for being ourselves …