Saya lupa tepatnya, mungkin tahun 2003 atau 2004. Itu pertama kalinya saya mengenal sosok Glenn Marsalim. Saya masih kuliah. Di kampus ada semacam Ad Festival. Saya hadir, walau saya dari jurusan marketing communications. Waktu itu saya selalu merasa salah jurusan. Awalnya saya memang ingin masuk jurusan advertising, tapi entah mengapa lalu dibujuk dan diyakinkan oleh salah satu Dean di kampus untuk masuk marketing communications saja. Datang ke Ad Festival macam ini jadi salah satu cara saya untuk mengobati penyesalan saya karena kadung ‘salah jurusan’.

Dalam acara ini, Glenn jadi salah satu pembicara. Ia Creative Director dari salah satu biro iklan ternama yang sedang naik daun saat itu. Di antara sekian banyak orang iklan yang bicara siang itu, Glenn satu-satunya yang menarik perhatian saya. Saya ingat sosoknya yang rame, santai, bicaranya mengalir cepat seperti orang sedang meluncur di atas skateboard.

Ada sedikit ‘kesongongan’ juga; yang membuat pribadinya jadi menarik-menarik nyeremin. Dia sempat bilang, iklan-iklan karya mahasiswa yang dipamerkan semuanya ‘biasa banget, nggak ada yang spesial.’ Waktu itu Glenn juga memutar banyak iklan keren dari luar negeri. Terus setelah selesai diputar, ada anak-anak yang kasak-kusuk. Apa sih maksudnya iklan yang tadi itu? Terus Glenn menyambar,”Kalo lo nggak ngerti, berarti lo emang bukan target audience-nya.” Dan dia pun lanjut ngomong lagi dengan cueknya.

Siang itu, Glenn cuma bicara nggak lebih dari setengah jam. Jujur aja, saya sendiri lupa apa yang waktu itu dibicarakan sama Glenn. Saya cuma ingat, sejak siang itu, sejak dengerin Glenn ngomong, saya jadi punya cita-cita pingin jadi orang kreatif. Lalu nanti jadi Creative Director di biro iklan terkenal. Pingin banget bisa bikin copy yang keren dan memproduksi iklan yang bikin saya merinding nontonnya: sama seperti iklan-iklan luar negeri yang ditunjukkan Glenn ke saya hari itu. Sejak siang itu, saya punya idola baru selain Eminem. Namanya Glenn Marsalim.

Gara-gara dia, saya jadi rajin browsing tentang advertising dan iklan, ide-ide kreatif, juga baca buku-buku soal iklan dan desain. ‘Numpang baca’, tepatnya. Biasanya di salah satu sudut QB Books Jalan Sunda yang sekarang sudah tutup. Kocek saya kurang tebal untuk bisa membeli buku-buku iklan dan desain itu walaupun kepingin.

Di akhir-akhir semester, saya pun menulis surat lamaran magang ke biro-biro iklan terkenal. Isi surat sengaja dibuat sekreatif mungkin. Pakai quote dari Disney juga kalo nggak salah. Pokoknya ada sesuatu tentang keinginan mencipta atau semacamnya. Total ada sekitar 10 biro iklan yang saya kirimi surat permohonan magang, alamatnya semua saya dapat dari salah satu buku direktori iklan punya dosen saya; yang saya fotokopi daftar kontaknya. Dari sepuluh-sepuluhnya, nggak ada satu pun yang dibalas.

Saya sakit hati.

Saya jadi ingin membuktikan diri, bahwa kreativitas itu bukan cuma ada di dunia iklan. Kreatif bisa di mana aja. Ide bukan cuma punya orang iklan. Dengan modal sakit hati inilah saya kemudian menekuni kuliah marketing communications saya dan mencurahkan kreativitas saya dalam setiap tugas yang diberikan. Saya meriset, browsing Internet, gigit-gigit pensil, nyari ide, dan memberikan 110%, lebih dari apa yang diminta. Lalu senang sekali baca buku The Fall of Advertising and The Rise of PR berulang-ulang, tertawa ‘ha-ha-ha’ lalu bilang tuh, kan, iklan sudah mati! Iklan sudah mati! (untuk menghibur diri).

Tapi nggak bisa dipungkiri, walau sempat sakit hati karena tak ada biro iklan yang mau menerima saya untuk magang, saya terlanjur jatuh cinta pada iklan. Saya cinta desain. Saya suka mengulik kalimat untuk bikin copy yang bagus. Saya suka semangat orang iklan ketika lagi cari ide. Tapi ternyata untuk melakukan semua itu, saya memang tak perlu masuk biro iklan. Pekerjaan saya yang sekarang menuntut saya melakukan semua itu. Saya masih sering browsing iklan luar negeri untuk nyari inspirasi; terutama kalau lagi perlu ide buat bikin campaign. Saya juga masih suka ngintip buku-buku desain: packaging, logo, kartu nama, cover buku, web

And I’m happy! This is the thing I’ve always wanted to do, and here I am, doing all those stuff!

Lantas, percaya atau tidak, di suatu waktu, sekitar tahun 2005-2006, akhirnya saya sempat kerja dengan Glenn Marsalim untuk suatu proyek. Saat itu Glenn lebih banyak melakukan supervisi saja untuk tim iklan yang sedang bekerja sama dengan perusahaan tempat saya bekerja. Kita nggak pernah ketemu untuk meeting. Glenn lebih banyak kasih masukan ke timnya via email, di mana saya ter-cc di dalamnya. Terharu rasanya melihat nama saya ada di satu email yang sama dengan Glenn dan bagaimana saya bisa mengoreksi copy iklan via email bersama Glenn Marsalim!

Suatu hari, kantor saya via @kapkap, mengundang—siapa lagi kalau bukan—Glenn Marsalim datang ke kantor untuk sharing session kami di hari Jumat. Itu pertama kalinya saya ketemu Glenn lagi (in person) sejak jaman kuliah. Pada rentang waktu sebelum itu, selain kerja bareng via email kita yang singkat, saya masih suka melihat Glenn melintas di beberapa acara iklan (tapi malu menyapa). Saya cuma rajin ngikutin tulisan-tulisan di blognya dan belakangan mengikuti kicaunya di Twitter.

Jumat pagi itu, waktu ketemu Glenn lagi dan dengerin dia ngomong, saya sadar that he had turned into a different person. Mungkin semua orang berubah. Dari saat ketika saya denger Glenn bicara di kampus, sekarang Glenn sudah berubah jadi orang yang lebih soft, lebih membumi, lebih apa adanya… atau mungkin pasnya: he’s becoming more of himself. Dia adalah Glenn yang tanpa embel-embel. Dia bukan lagi Creative Director dari biro iklan anu, atau copywriter iklan anu… tapi dia adalah Glenn. Yang suka desain, yang suka iklan, yang suka film, yang suka jajanan pinggir jalan…

Hari itu juga, Glenn berkisah tentang hidupnya, tentang keputusannya jadi freelancer. Dan di situ, saya tau bahwa Glenn memang sudah berubah. Dia Glenn yang sama, tapi sekaligus juga Glenn yang berbeda. Satu hal yang saya ingat, Glenn bilang gini:

“Ketika lo balik ke rumah, lo liat piala-piala yang pernah lo menangin, terus lo tanya sama diri lo sendiri: berapa orang yang lo bentak, yang lo sakitin… sampai akhirnya lo bisa menangin piala-piala itu? Sebanding nggak sih? Dapetin piala tapi dalam perjalanan lo, lo udah nyakitin berapa banyak orang? Udah ngomong jahat sama berapa orang? Sampai sekarang, walau gue udah berubah, orang masih sering bilang ‘Glenn… Glenn yang galak itu ya?’. Segitu susahnya ngilangin image itu…”

Glenn ngingetin saya lagi, bahwa sukses itu bukan soal apa yang udah kita capai. Tapi tentang bagaimana kita mencapainya. Sampai sekarang, saya selalu inget kata-kata Glenn ini. Mudah-mudahan saya nggak pernah lupa. Kalau dulu sosok Glenn mengingatkan saya pada kreativitas, iklan, dan desain, sekarang sosoknya mengingatkan saya pada perjalanan menjadi manusia. Pada cinta. Pada kesederhanaan. Pada semangat melakukan sesuatu karena suka, bukan karena dibayar berapa.

Dan saya jadi menulis posting ini karena tadi malam di-group hugs Glenn via Twitter 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Pagi-pagi, begitu sampai di kantor, saya mendapati sepiring cupcakes di meja tengah. Ternyata cupcake ini buatan Lucas, anak kawan saya, Felicia Nugroho.

Lucas membuat cupcake ini (dari pisang; dan menggantikan rasa manis gula dengan saus apel) untuk dijual, dan yang mengejutkan saya, ternyata separuh dari keuntungannya akan dia sumbangkan untuk Coin a Chance!. Satu buah cupcake dijual seharga 5ribu rupiah.

Is this a school project?” tanya saya pada Lucas, takjub.

Dia bilang, “No, it’s holiday,” sambil tersenyum malu-malu.

Have you got your customers’ feedback?” tanya Felicia.

What’s that?” Lucas bertanya balik.

“You ask those who have bought your cupcakes, whether they like it or not, whether they want something else…” Felicia menjelaskan. “You need to explain to them as well about your product, for instance, how you change sugar with apple sauce…

Setelah bertanya-tanya pada ‘para pembeli’, besok Lucas akan membuat cupcakes lagi (cokelat, berdasarkan permintaan pembeli), tapi kali ini ia akan menjualnya ‘sepaket’ dengan segelas kopi. Jadi 10ribu untuk satu cupcake dan satu gelas kopi. “We can bring our coffee machine,” katanya semangat.

Saat ini, ke-18 cupcakes yang dijual Lucas sudah ludes. Satu cupcake terakhir yang diperebutkan Jonathan dan Dody akhirnya dilelang, dan berhasil terjual kepada Jonathan seharga 30ribu rupiah. Sekarang Lucas sedang membagi separuh penghasilan yang didapatkannya untuk disumbangkan ke Coin a Chance! 🙂

Thanks, Lucas! For doing ‘social business’ on your holiday and helping us send more kids back to school at the same time! :*

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Coming down off the nova somewhere near the boiled egg that is the Royal Albert Hall, we watch Paul’s sun crossed with John’s star and hold ice cream hands. Someone slipped on a cassette as the one you wanted left with someone else but somehow it was cool because as the music filled the shadows, you heard a sound that was a million miles away from fakery and a step away from your heart.

Just like it always did, this sound puts the swagger back into your step, the rush into your blood but somehow, and I don’t know how, they had become deeper, wider, soulful, better at their craft, inspired by so many things like a world that is tilting who knows where and the applause they always knew was theirs but waited so impatiently to receive. Words cut you from all angles, backed up by a monumental sound that rises high, high and high to crash against your rocks and then changes, majestically and magically to soothe the wounds inside.

As you are dragged inside on this trip abandon, you hear a council estate singing its heart out, you hear the clink of loose change that is never enough to buy what you need, boredom and poverty, hours spent with a burnt out guitar, dirty pubs and cracked up pavements violence and love, all rolled into one, and now all this.

At the end you flip over and start again because now you are not isolated. They have gone to work so that you can go home. High above the day turns pink and you feel your feet lift above the ground as new roads open up in front of you. In this town the jury is always rigged but the people know. They always know the truth. Believe. Belief. Beyond. Their morning glory.

from P.H. in the summer of ’95.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Why wait for something when life is going on? You have your own life. Do the things you enjoy, be around people you like | bukansourcreamnonion

I used to write because I’m sad. There were moments when I believed that writers are sad people. Tears were from where those poetic lines originate. I don’t know whether it’s true; but now I just write because I’d like to, whenever I want to, every time I feel the urge to scribble. And I’ve known this since I was 13: that I will continue to write though people have long stopped reading. Exactly the kind of spirit I’d like to have in living life. Because we only live once. And once should be enough.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

*terjemahan bebas dari MISSING, Stephen Dunn

Ia menghilang, seringkali, bahkan ketika ia sedang berbicara,
meskipun ia bisa menyelesaikan kalimat-kalimat itu,
yang dari mana ia telah melepaskan kaitan dengan dirinya,
menyelesaikannya dengan baik. Dan ketika aku berbicara,
ia cukup tertarik dalam kadar yang patut untuk membuatku
mau terus berbicara. Aneh,
bahwa aku merasa tersanjung dengan semua ini, sepertinya
ia memberikanku semua dari setengah dirinya,
yang terbaik yang bisa ia berikan.

Di tempat tidur, setelah bercinta,
yang selalu memuaskan, aku tahu bahwa ia telah belajar
tata-krama setelah selesai bercinta—perhatian, kelembutan—
dan ia menunjukkannya. Aku yakin
ia tengah merencanakan esok harinya, hati rahasianya
mengecek jam rahasianya.
Aku sudah mengenal lelaki lain semacam ini, tentunya,
tapi ia begitu buruk dalam menyembunyikan kesalahannya,
dan akan mengakuinya ketika ditanya,
semua itu seperti bagian dari keberadaannya, bagian dari
caranya selalu ada di sana untukku,
jika kau tahu apa yang kumaksudkan.

Aku merasa, pada saatnya nanti,
Aku akan bisa menemukan, atau mungkin memberikan hidup
pada setengah bagian dirinya yang hilang. Aku merasa bahwa cinta bisa melakukan ini.
Dan aku bahkan merasakan cinta yang ganjil pada saat ia tak ada,
sebagaimana, menurutku, kebanyakan dari kita akan mengecup
bekas luka yang mengerikan untuk membutikan bahwa kita bisa hidup dengan itu.
Ia punya pekerjaan yang baik. Para lelaki mengaguminya
karena ia membawa seluruh dari setengah dirinya
untuk bekerja setiap hari, membawanya dengan kecerdasan
dan karisma. Itu sudah cukup untuk mereka.
Dan semua teman perempuanku memujanya,
mengatakan betapa beruntungnya aku.

Tapi aku harus mengakui,
tidak mudah mencintai lelaki seperti dia.
Hanya sedikit sekali yang diminta dari dirimu, dan setelah beberapa saat
kau lupa bahwa kau menggunakan setengah dari dirimu,
dan kemudian sesuatu mengingatkanmu
dan perasaan bahwa kau telah merampas sesuatu dari dirimu sendiri memberatimu,
lalu amarah—amarah yang diam, demikian aku menyebutnya.
Yang menjelaskan mengapa, akhirnya, aku pergi.
Tapi aku tak pernah berhenti memikirkan dia.
Dan aku telah melalui amarahku. Jika ia lewat di hadapanku
saat ini, kurasa aku akan merengkuhnya
dan menciumi wangi tubuhnya, dan bertanya apa kabarnya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

*) terjemahan bebas dari TRUE LOVE, Sharon Olds

Tengah malam, ketika kita terbangun
setelah bercinta, kita menatap satu sama lain
dalam kedekatan, kita sama-sama tahu apa
yang telah dilakukan yang lain. Terikat pada satu sama lain
seperti pendaki menuruni pegunungan.
terhubung tali pusar di kamar anak-anak,
kita merayapi koridor menuju kamar mandi, aku nyaris
tak bisa berjalan, aku menyeret tubuhku melalui udara
yang kasar dan tanpa bayang-bayang, aku tahu di mana kau berada
dengan mata tertutup, kita terjerat pada satu sama lain
dalam jalinan besar yang tak kelihatan, kelamin kita bisu,
kelelahan, remuk, seluruh tubuh adalah kepuasan—tentunya ini
adalah saat-saat paling terberkahi dalam hidupku,
anak-anak kita tidur di ranjang mereka, setiap suratan takdir
seperti nadi-nadi dari mineral prasejarah yang belum ditemukan. Aku duduk
di toilet pada malam hari, kau berada di suatu sudut di kamar,
aku membuka jendela dan salju sudah turun,
dengan derasnya, bersandar di ambang jendela, aku
menengadah, padanya,
dinding kristal yang dingin, sunyi
dan berkilauan, aku diam-diam memanggilmu
dan kau datang dan menggenggam tanganku dan aku berkata
aku tak bisa melihat apa-apa lagi selain ini. Aku tak bisa melihat apa-apa lagi selain ini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

It took a 1.5-hour boat ride to reach Sugi Island from Sekupang Harbor in Batam. The weather was nice, sunny and breezy. I climbed down into the boat with my bestfriend, Nena, and off we went! Our destination: Telunas Beach Resort, an eco-friendly resort built by 3 Americans (Mike, Brad, Eric) who fell in love with the beauty of Sugi Island.

The boat was loaded with groceries. There they were: our food for the next few days! There’s no village in Sugi Island, and really, there’s nothing apart from the Beach Resort. Those who ‘stay’ in the island are those working for the resort; mostly locals from islands nearby. So, it was pretty much us, the resort, and the whole island for yourself!

Apart from myself and Nena, plus Robby and Elsa (Telunas Beach Resort’s hosts), there were 2 other families with us: Australians and Dutch. Robby told us that the island and the resort are more popular to international tourists. Students from Singapore, Korea, and Japan also pay a visit every year for their summer camp.

“International tourists are mostly looking for an escape like this,” said Robby. “So close to the nature, no electricity, no air-conditioner, no jet-ski… maybe domestic tourists are looking for a more lavish holiday.”

Upon arrival, you need to climb out from the boat, and then climb a wooden ladder to the front deck. And just take a look at the gorgeous view! During high-tide, you can run and jump from the deck into the water, and swim with the fish!

The ‘common room’ includes a dining room and a living room; you share this room with everybody else who are staying in the resort. In an hour or two, you’ll find yourselves exchanging smiles, laughter, and then starting a friendly conversation with everyone.

Since we arrived at noon, we’re greeted by lunch-time! And it was a delicious parade of honey-roasted chicken, baby-corn and mushroom, and fresh watermelon! The taste was just… amazing!

The ‘ibu’ who cooked our meal is a local from an island nearby. For 2 weeks, she stayed in Batam, in the house of Telunas Resort owner. The owner’s wife taught her how to cook Western food! And the food we attacked that day was SUPER-YUMMY! Really! The ‘ibu’ should be opening a restaurant here in Jakarta—and I’ll be her regular.

[Telunas Beach Resort, Batam]

(Did you notice how they cut the watermelon? So thoughtful; that they actually gave a ‘handle’ to the watermelon! :D)

And what’s better than enjoying a cup of coffee after lunch, accompanied by this stunning view 🙂 All day long, tea, coffee, milk, and hot water are available for free in the common room. Heaven!

Telunas ‘wooden’ Beach Resort was built in 2004, and 90% of the compound stood above sea water. There’s no electricity in Sugi Island, so the Beach Resort functioned with generators. No air-conditioner, but really, I don’t see any reason on why you’ll need one. The sea breeze is too refreshing! 🙂 What I admired the most from the resort is its cleanliness. The room smells fresh and airy, bed-sheet is spotless, the wooden floor is amazingly clean, the bathroom works well and odor-free. Lovely.

But what’s best than having the beach for your own? When there were only you and 2 other families in the island, you’d feel as if you’re in a private beach. And again, it was one of the best beach I’ve ever seen. The sand was so clean, so white, so soft! No trace of plastic bottles or other trashes as far as the eye can see. It was just wonderful!

And what about this private-view of the sunset? 🙂

Apart from enjoying the white sand, reading a book or magazine while lying down in the hammock, and pampering yourself with a bath in the sea, you can also spend your time in Telunas playing volley ball, going on a kayak ride, or lighting up the campfire and baking pizza. In the morning, you can have your ‘jungle walk’ and for the more adventurous, you can also camp in the jungle! There’s also a black-hole drop inside the jungle, where you can jump from the height and dive into the pool of cold water. And don’t worry, there’s no mosquitoes in Telunas!

And you hear me, Telunas? I’ll be back—I promise, and this time: for a week getaway! 🙂 Thanks, Maverick, for the free trip! Am looking forward to my next all-expense-paid holiday!^^

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP