Ceritanya adalah menjemput Didut–kawan blogger asal Semarang di stasiun pada suatu akhir pekan yang panjang.

Setelah beberapa hari sebelumnya Didut mengirimi saya lumpia Semarang yang di-vacuum ke kantor, saya gantian menculik Didut untuk berwisata kuliner di Bogor.

Dan inilah perjalanan kuliner kami, dilengkapi dengan sesi foto-foto, tentunya 😀

1. RM Sahabat (YunSin): Rumah Makan yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Waktu ada larangan penggunaan bahasa asing untuk nama-nama tempat usaha, YunSin pun berubah menjadi RM Sahabat. Yang dijual di sini adalah bermacam-macam chinese food. Tapi yang paling terkenal adalah mie yamin (mie ayam). Bisa pilih, mau yang asin atau yang manis. Jangan lupa coba juga sambel andalan yang mereka sediakan. Sambelnya warna coklat, mirip sambel kacang.

2. De Koffie Pot: Tempat ngopi-ngopi yang asyik karena luas dan cantik, nggak terlalu ramai seperti Starbucks. Harganya sih nggak jauh beda dari Starbucks. Penuh dengan sofa-sofa merah yang lebar dan cozy, terus sekarang di bagian luar juga ada semacam lesehan al fresco. Jadi kita bisa tidur-tiduran sambil memandangi langit dan pepohonan. Selain kopi, coba juga smoothies-nya. Enak! 🙂

3. PIA Apple Pie: Mungkin karena Bogor kota hujan. Ketika hujan, dingin-dingin, enaknya makan yang hangat-hangat. Salah satunya pie apel yang biasanya disajikan panas-panas ini. Selain pie apel, sekarang restoran ini juga sudah menjual beragam jenis pie, salah satunya adalah Black Russian Pie, yang terbuat dari campuran cokelat, kahlua dan krim vanila. Di samping itu, ada pula penganan kecil manis dan hangat macam tape atau pisang bakar.


Mau wisata kuliner di Bogor juga? Yuk! Masih ada lagi begitu banyak makanan yang harus dicoba! 😀

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

It took a 1.5-hour boat ride to reach Sugi Island from Sekupang Harbor in Batam. The weather was nice, sunny and breezy. I climbed down into the boat with my bestfriend, Nena, and off we went! Our destination: Telunas Beach Resort, an eco-friendly resort built by 3 Americans (Mike, Brad, Eric) who fell in love with the beauty of Sugi Island.

The boat was loaded with groceries. There they were: our food for the next few days! There’s no village in Sugi Island, and really, there’s nothing apart from the Beach Resort. Those who ‘stay’ in the island are those working for the resort; mostly locals from islands nearby. So, it was pretty much us, the resort, and the whole island for yourself!

Apart from myself and Nena, plus Robby and Elsa (Telunas Beach Resort’s hosts), there were 2 other families with us: Australians and Dutch. Robby told us that the island and the resort are more popular to international tourists. Students from Singapore, Korea, and Japan also pay a visit every year for their summer camp.

“International tourists are mostly looking for an escape like this,” said Robby. “So close to the nature, no electricity, no air-conditioner, no jet-ski… maybe domestic tourists are looking for a more lavish holiday.”

Upon arrival, you need to climb out from the boat, and then climb a wooden ladder to the front deck. And just take a look at the gorgeous view! During high-tide, you can run and jump from the deck into the water, and swim with the fish!

The ‘common room’ includes a dining room and a living room; you share this room with everybody else who are staying in the resort. In an hour or two, you’ll find yourselves exchanging smiles, laughter, and then starting a friendly conversation with everyone.

Since we arrived at noon, we’re greeted by lunch-time! And it was a delicious parade of honey-roasted chicken, baby-corn and mushroom, and fresh watermelon! The taste was just… amazing!

The ‘ibu’ who cooked our meal is a local from an island nearby. For 2 weeks, she stayed in Batam, in the house of Telunas Resort owner. The owner’s wife taught her how to cook Western food! And the food we attacked that day was SUPER-YUMMY! Really! The ‘ibu’ should be opening a restaurant here in Jakarta—and I’ll be her regular.

[Telunas Beach Resort, Batam]

(Did you notice how they cut the watermelon? So thoughtful; that they actually gave a ‘handle’ to the watermelon! :D)

And what’s better than enjoying a cup of coffee after lunch, accompanied by this stunning view 🙂 All day long, tea, coffee, milk, and hot water are available for free in the common room. Heaven!

Telunas ‘wooden’ Beach Resort was built in 2004, and 90% of the compound stood above sea water. There’s no electricity in Sugi Island, so the Beach Resort functioned with generators. No air-conditioner, but really, I don’t see any reason on why you’ll need one. The sea breeze is too refreshing! 🙂 What I admired the most from the resort is its cleanliness. The room smells fresh and airy, bed-sheet is spotless, the wooden floor is amazingly clean, the bathroom works well and odor-free. Lovely.

But what’s best than having the beach for your own? When there were only you and 2 other families in the island, you’d feel as if you’re in a private beach. And again, it was one of the best beach I’ve ever seen. The sand was so clean, so white, so soft! No trace of plastic bottles or other trashes as far as the eye can see. It was just wonderful!

And what about this private-view of the sunset? 🙂

Apart from enjoying the white sand, reading a book or magazine while lying down in the hammock, and pampering yourself with a bath in the sea, you can also spend your time in Telunas playing volley ball, going on a kayak ride, or lighting up the campfire and baking pizza. In the morning, you can have your ‘jungle walk’ and for the more adventurous, you can also camp in the jungle! There’s also a black-hole drop inside the jungle, where you can jump from the height and dive into the pool of cold water. And don’t worry, there’s no mosquitoes in Telunas!

And you hear me, Telunas? I’ll be back—I promise, and this time: for a week getaway! 🙂 Thanks, Maverick, for the free trip! Am looking forward to my next all-expense-paid holiday!^^

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dari pengamatan saya, sebenarnya kuliner HongKong bisa dibagi menjadi 4; dan semuanya wajib dicicipi:

1.) Dimsum

2.) Soupy food (termasuk wonton soup dan noodle soup)

3.) Congee–alias bubur Kanton yang terkenal gurih itu

4.) Nasi–baik nasi bebek panggang, nasi ayam hainan, maupun nasi goreng Kanton


Salah satu hal yang menarik: makanan paling lezat di HongKong bisa ditemukan di restoran/kedai paling kecil, gang paling sempit, atau ‘warung kaki lima’ di pinggiran jalan yang paling ramai dilalui orang. Satu hal lagi yang bisa menjadi indikasi adalah ramainya warga lokal yang tengah bersantap di kedai tersebut, terutama orang-orang tua 🙂

Ada tantangan tersendiri ketika mencoba menikmati santapan di restoran ‘lokal’ macam ini: pelayan yang tak bisa berbahasa Inggris dan ketiadaan menu berbahasa Inggris. Alhasil, pelayan akan berbicara dengan bahasa Kanton, dan Anda harus berbicara dengan bahasa… isyarat. Jadi, Anda pun harus siap mental menghadapi ibu-ibu tua pendorong gerobak dimsum yang akan memberikan tatapan semacam ini: (- -‘) atau -_______- ketika Anda terbengong-bengong lama sebelum memilih dimsum.

Beberapa kebiasaan makan di restoran/kedai kecil seputaran HongKong, di antaranya:

  1. Walau mejanya adalah meja bulat dengan 4-6 kursi per mejanya, semua orang bisa duduk di kursi yang kosong. Jadi, Anda bisa saja makan satu meja dengan orang yang sama sekali asing
  2. Terkadang disediakan juga air panas untuk ‘merebus’ sumpit dan sendok yang akan digunakan untuk makan
  3. Ketika sedang makan, suara menyeruput diperbolehkan, tandanya makanannya enak 🙂
  4. Jangan kaget juga, ketika sedang makan dan misalnya hendak membuang tulang ayam di mulut, orang lokal akan langsung meludahkannya pelan-pelan ke atas meja makan. Jadi di atas meja makan, di sebelah mangkuk, Anda akan melihat tumpukan tulang ayam atau tulang bebek 😀

Untuk informasi lengkap mengenai restoran/kedai kecil yang menyajikan makanan lezat di HongKong, silakan klik di sini 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Sebenarnya memang tak mudah untuk ‘tersesat’ di HongKong. Berhubung moda transportasi di negara ini sangat baik, akan sangat mudah bagi turis maupun pendatang untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Mau cepat-cepat meluncur dari bandara menuju kota?

Tak masalah.

Anda tinggal melompat naik ke atas Airport Express yang datang setiap 10 menit sekali. Membawa koper besar? Tenang, Anda tinggal melenggang santai, menyeret koper Anda, dan meletakkannya di tempat penyimpanan barang. Kemudian, duduklah di bangku yang luas dan nyaman. Dalam waktu sekitar 20 menit, Anda sudah sampai di Central. Sebelum Central, Airport Express juga berhenti di Kowloon. Menggunakan Airport Express, Anda bisa memprediksi waktu menuju airport dengan cukup akurat.

Di dalam kota sendiri, pilihan transportasi tersedia: mulai dari trem atau yang biasa disebut ding-ding oleh orang lokal,

bis umum,

juga MTR (Mass Transit Railway),

sampai kapal feri yang membawa kita menyeberang dari Central ke Kowloon atau dari HongKong ke Macau.

Semuanya serba teratur, tertib, nyaman. Tentu, masih saja ada orang yang berdiri dan tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi tentunya masih cukup manusiawi kalau dibandingkan dengan orang-orang yang berjejal di kereta ekonomi kita, atau MetroMini.

Mencari sebuah tempat juga lumayan mudah. Tinggal tanya apakah harus mengikuti Exit A, B, C bahkan A1, B1, dan seterusnya. Semua bisa dilihat dengan jelas di stasiun MTR. Plang nama jalan juga memudahkan ketika harus menemukan sebuah tempat: tinggal naik ding-ding, turun di halte sekitar Causeway Bay, lalu berjalan kaki menuju Jalan Anu. Kehidupan sebagai kurir atau petugas antar-barang pasti jadi lebih mudah di sini. Bandingkan dengan mencari alamat di Jakarta. Kalau naik bis, bisnya bisa berhenti di mana saja. Malah terkadang tidak berhenti di halte. Belum lagi desak-desakannya, yang bisa menjadi pengalaman tersendiri.

Saya masih ingat betapa ajaibnya kereta ekonomi atau Kopaja. Walau penumpang sudah penuh sampai berdiri berjejal di pintu, kita masih saja bisa masuk. Entah bagaimana, kita akan terbawa arus penumpang yang naik. Dan tahu-tahu sudah ada di dalam! Lalu di dalam ketika berdiri, juga tak perlu berpegangan, karena kiri-kanan depan-belakang sudah ada orang yang akan mencegah kita tergelincir ke kiri atau ke kanan ketika bus mengerem mendadak. Secara tidak langsung, kepadatan ini juga mempermudah terjadinya pelecehan di dalam transportasi umum.

Agak sedih juga melihat betapa kereta api listrik lungsuran Jepang (di sana sudah jadi barang bekas kali, ya) kemudian menjadi kereta api ekspres AC kita yang bertaraf paling mahal. Masih saja, orang-orang sepanjang rel kereta api melempari kereta yang lewat dengan batu, untuk memecahkan kacanya. Mungkin mereka mengganggapnya mengasyikkan, seperti semacam permainan menembak sasaran. Lalu pegangan untuk orang-orang yang terpaksa berdiri di kereta, bisa sampai lepas. Dan dibiarkan saja tergantung sedemikian menyedihkannya. Bangku kereta ketumpahan minuman bernoda. Besi rel kereta api dicuri orang. Memanjat tangga menuju halte TransJakarta juga jadi perjuangan tersendiri. Ada lantai yang hilang di tengah-tengah, sehingga membahayakan mereka yang lengah.

Permasalahan Jakarta itu mungkin sebagian terletak pada kesemrawutan pemerintah mengatur moda transportasinya. Tapi sebagian lagi, memang juga terletak pada kesadaran penggunanya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Kali ini diawali pesta kejutan tengah malam buat si pacar yang berulang tahun. Lantas karena saya dan kawan-kawan pemberi kejutan tiba-tiba saja lapar :D, maka pesta dilanjutkan dengan traktiran dimsum di Hotel Quality, Yogyakarta. Nggak jauh dari Bandara Adisucipto. Di sini ternyata restoran dimsum-nya buka 24 jam *amazed*.

Pesanan kami datengnya lama-ajah-to-the-max. Entah karena memang kami yang kalap mesen dimsum sampai nyaris 30 kukusan 😀 atau karena chef-nya yang lagi tidur pulas harus dibangunin dulu. Yang jelas, kami makan dimsum di situ selama 4 jam. Heh? Iya, 4 jam. Dari jam 1 sampai jam 5 pagi. Berasa sahur -____-

Terus sambil ngantuk-ngantuk saya balik lagi ke penginapan d’Omah di Jl. Parangtritis di Desa Tembi (dasar geek, pas pertama kali ngeliat website-nya yang paling bikin excited malah: wow, webnya W3C compliant!!! LOL). Penginapan ini letaknya beneran di tengah-tengah desa, lho, jadi kalo jalan sedikit ke belakang… blar! Sawah semuanya 😀 Penginapan berkonsep resort ini juga menyatu banget sama rumah-rumah penduduk sekitar karena modelnya memang model rumah-rumah Jawa. Joglo. Jadi nggak merusak pemandangan desa sekitar yang asri, tapi malah seperti jadi bagian di dalamnya.

Orang-orang desa sekitar nggak tau kalo tempat saya nginep itu namanya d’Omah. Mereka taunya, “Rumah Pak Worwik…” dan yang dimaksud adalah Warwick Purser–eksportir dan desainer kerajinan Indonesia yang punya butik furnitur di Kemang situ. ‘Rumah Pak Worwik’ sendiri ada di tengah-tengah komplek d’Omah, dan Warwick Purser–yang tadinya warga negara Australia tapi sudah pindah jadi WNI, sehari-harinya tinggal di situ.

Kamar di d’Omah gede banget, buat ukuran kamar seharga 500ribu. Kamar mandinya beratap terbuka *ehem*. Terus dari kamar mandi ada pintu kecil yang kalau dibuka… ta-da… langsung kolam renang 😀 Begitu keluar dari teras ada kolam teratai dan tempat fitness, terus jalan ke belakang dikit ada spa dengan sauna dan jacuzzi, menghadap ke rerumputan dan pepohonan. Mau sauna plus jacuzzi selama satu jam? Ih, cukup bayar 50ribu saja 😀

Ada tiga ‘rumah’ di komplek penginapan d’Omah. Satu rumah rata-rata cuma terdiri dari 4 kamar tamu, jadi cukup private. Nginep di sini berasa kayak nginep di rumah nenek, soalnya suasananya kayak di rumah sendiri, dengan mas-mas dan mbak-mbak yang ramah-ramah, nanya-nanya butuh apa; banyak nyamuk nggak, tidurnya enak nggak, butuh mobil buat jalan-jalan nggak 😀

Dari d’Omah ke kota Yogyakarta makan waktu sekitar 30 menit. Ya, ngapain lagi ke kota kalau bukan… cari makanan 😀

Di hari ulang tahun pacar, setelah makan siang di kantin UGM, terus nonton Despicable Me, akhirnya kami ber-Meditteranean dinner di restoran Italia yang namanya Nanamia Pizzeria, deket Jogja Plaza Hotel. Restorannya kecil mungil, paling muat 20-25 orang, dan meja satu dan meja lain deket-deket, jadi kalo pelayan atau tamu lewat suka agak senggol-senggolan. Kelihatannya restoran ini penuh terus, dan orang-orang rela ngantri sambil duduk-duduk di luaran. Interiornya Mediterania banget, sih, dengan kayu-kayu kasar dan warna oranye, merah dan kuning di dinding.

Denger-denger sih yang punya restoran ini dulunya pacaran sama chef Italia yang jago bikin pasta dan pizza, terus diajarin, deh, dan akhirnya buka restoran sendiri. Rasanya? Ih, enak banget! Pizza-nya pizza Italia yang tipis gitu. Terus saladnya juga segar dan gurih!

Dulu itu taunya restoran ‘bagus’ yang sering didatengin cuma Bale Raos dan Gadjah Wong, ternyata di deket keraton ada yang namanya Royal Garden. Awalnya ke sini karena katanya kepiting soka telur asinnya enak. Nggak taunya, pas udah mesen macem-macem, ternyata semua makanannya enak!!! 😀 Sampai kailannya aja gurih dan berbumbu walau dimakan tanpa nasi!

Habis makan di sini langsung pindah lagi dong ke Coklat Cafe di Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta, janjian ketemu sama temen-temen, juga sama fashion blogger favorit saya Clara Devi 😀 Baru pertama kali ketemuan! Coklat Cafe menyenangkan. Saya suka suasananya yang terang dan tenang, dengan sofa-sofa empuk, free wi-fi, dan AC-nya dingin (daripada nongkrong di Ohlala Saphir Square mending mendamparkan diri di sini)! Banyak mahasiswa-mahasiswa asing yang nongkrong di sini sambil mengetik di laptopnya. Minumannya juga enak, yang saya coba coffee caramel. Rasa kopinya cukup kental di lidah, dan rasa manis dari karamelnya juga pas. Jadi masih terasa pahit, tapi ada sentuhan manisnya sedikit. Nice!

Eh tapi sempat ada insiden kecil di sini antara si pacar dan pelayan:

Pacar: Mas saya pesan iced lemon tea.

Pelayan: Iced lemon tea-nya dingin atau hangat…

Pacar, saya dan semua orang: … (zziiiing)

Habis itu malamnya masih makan lagi di ayam bakar SukaSuka–yang ayam bakarnya enak banget karena bumbunya meresap sampai ke daging. Tapi nggak sempat motret karena gelap dan lapar sekali, jadi langsung santap 😀

Pagi-paginya, setelah ngopi-ngopi dan brunch di pinggir kolam renang d’Omah (bareng teman saya dari TK yang sekarang tinggal di Yogya), jadwal berikutnya adalah menyambangi toko roti Hani’s Bakery (yang namanya sama dengan nama saya, hihihi). Di sini jual roti buatan sendiri, buatan rumah gitu, dan rasanya enak banget. Yang punya toko roti ini mengambil ‘resep’ bikin rotinya dari Belgia, jadi ala Eropa gitu. Yang sempat saya beli roti gandum biji bunga matahari sama rempah. Enaknya! Dan rotinya tahan tiga hari. Teman saya dari TK itu bilang, teman-teman ekspatnya langganan beli roti di sini (foto roti di bawah pinjam dari Flickr! pacar).

Udah gitu makan siang di Mix’n’Match di Karang Gayam (sebelah salon Kimi), yang biasa jadi tempat makan si pacar dan kawan-kawannya. Makanannya enak dan banyak dan murah! Astaga -___- pengen nangis rasanya karena nggak bisa pesan semua! Hihihi. Akhirnya yang dipesan adalah nasi goreng hijau cumi asin (pakai irisan cabe rawit!) dan nasi goreng rendang 😀

Dari situ berlanjut nongkrong di wine lounge-nya Sheraton yang menghadap ke Merapi 😀 Soalnya dari Sheraton ini sudah dekat ke bandara, jadi enak nunggu penerbangan sambil ngadem di sini. Pesanan termasuk capucinno dan screwdriver (campuran jus jeruk dan vodka). Screwdriver di sini rasa vodka-nya tipis banget, nyaris nggak terlacak di lidah, jadi kalo nggak inget bahwa ada vodka-nya, rasanya pingin nenggak habis minumannya langsung karena berasa kayak lagi minum jus jeruk 😀

Yak, dan begitulah! Lalu pulang dengan pesawat tapi nggak bisa tidur nyenyak karena turbulence gila-gilaan dan kilat menyambar-nyambar di luar 😀 Habis ini foto-foto makanan dari jalan-jalan ke mana lagi yaaa 😉

—–

*)makasih buat kawan-kawan CahAndong yang sudah mengasuhku selama di Yogya 😀 *pelukpeluk*

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Berhubung ini akhir minggu, dan siapa tahu ada yang mau jalan-jalan; kalau kamu akan bertandang ke Yogyakarta akhir minggu ini, saya akan menyarankan kamu untuk mencoba dua makanan berikut ini: gudeg mercon, dan nasi langgi Bu Chandra. Memang butuh agak perjuangan mendapatkan keduanya. Untuk gudeg mercon kamu mesti rela begadang hingga pukul 2 pagi, untuk nasi langgi kamu harus sampai di sana pukul 8 pagi supaya tidak kehabisan.

1. GUDEG MERCON

Perjuangan mendapatkan gudeg mercon yang katanya enak dan luar biasa pedas itu memang luar biasa. Warung gudeg ini baru buka sekitar pukul setengah dua pagi. Ya, benar. Pukul setengah dua pagi.

Dijajakan oleh seorang ibu dari balik meja penuh baskom-baskom, kita bisa memilih mau diisi dengan apa saja nasi gudeg kita: sate, suwiran ayam, telur… semua ada. Dan tentunya, mau dikasih mercon atau tidak, alias bumbu campuran tempe dan cabe dan kerecek yang PEDAS nian.

Bikin keringetan, pastinya, tapi pasti jadi pengalaman seru buat pecinta masakan pedas! (Mohon dimaklumi kalau fotonya jelek, kombinasi lapar dan ngantuk sangat memang nggak mendukung, hehehe)

2. NASI LANGGI BU CHANDRA

Kalau untuk yang satu ini, sambangilah toko kecil Bu Chandra pagi-pagi, sekitar pukul tujuh hingga setengah delapan. Kita juga bisa memilih isi nasi langgi: telur, empal, ayam… wah, macam-macam!

Nasi langginya enak banget, rasanya gurih, dan semua lauk-pauknya empuk. Sambelnya pas pedas, manis dan asin. Terus ada juga keripik cabe-nya yang bikin rasa nasi langgi ini makin sulit dilupakan 😀

*nulisnya aja bikin pingin balik lagi dan pesan gudeg mercon dan nasi langgi, yang memperkenalkan saya pada kedua makanan ini tolong tanggung jawab!* T_T

Selamat jalan-jalan dan makan-makan! 😀

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

I just love Kowloon!

Ini adalah bagian dari HongKong yang selalu kubayangkan dalam angan-anganku: lampu-lampu yang berwarna-warni di atas restoran-restoran yang berasap, bangunan yang rapat, orang-orang yang memenuhi jalanan dan menyeberang beramai-ramai.

Kota ini hidup, berdenyut, berkelip, dan pemandangan itu membuatku sedikit merasa hangat di atas bis. Pemandangan pasangan manula Kaukasia di depanku yang saling berangkulan juga menghangatkan; sekaligus membuatku iri 🙂

Tsim Sha Tsui juga nampak cantik sore itu.

Mengitari Kowloon di tengah suhu udara yang terus menukik tajam; ladies market yang luar biasa padat, jalan-jalan yang dipenuhi lampu-lampu kafe, bar, dan harum dim sum, yang terlintas dalam benakku hanyalah kenyamanan di dalam kamar hotelku ditambah segelas cokelat panas!

Turun dari bis di Avenue of Stars, aku kembali menentang dingin menyusuri jalan yang penuh dengan pemusik jalanan menuju pelabuhan. Sampai sebuah aroma yang membuatku meneteskan air liur menghentikan langkahku di depan sebuah ‘warung’ kecil berbentuk lucu dengan antrian luar biasa panjang:

cumi bakar!

Sambil mencuil cumi bakar, aku setengah berlari menuju pelabuhan; berhenti sebentar di sebuah kios kecil untuk membeli koran (kamu selalu membeli koran ketika kita bepergian ke luar).

Koran HongKong (dan siaran televisi HongKong) baru-baru ini dipenuhi berita mengenai hendak ditebangnya sebuah pohon pinus berusia 71 tahun di dekat sekolah Maryknoll–didasari kekhawatiran bahwa pohon tua itu dapat tumbang dan mencelakai murid-murid atau orang yang lewat. Namun alumni Maryknoll dan para siswa habis-habisan menentang rencana ditebangnya Ghost Pine mereka ini. Personally, I think this news is cute and touching.

Terombang-ambing dingin di atas air ketika senja mulai turun dan langit gelap menebar di atas HongKong, aku memandang keluar dari feri dan berpikir bahwa semua ini akan menjadi ratusan kali lebih indah jika kamu ada di sini.

Karena keindahan itu akan memberikan makna ketika kamu memiliki seseorang untuk membaginya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Meninggalkan The Peak di siang hari yang masih kelabu dan berkabut, aku kembali pada udara dingin dan angin yang bertiup semakin kencang di Central Pier. Star Ferry Terminus–menyeberang menuju Kowloon untuk menjelajahi Tsim Sha Tsui.

Kurapatkan overcoat-ku, tapi dingin itu masih enggan pergi. I want you here.

Merapat di pelabuhan; aku melompat turun dan menyusuri Avenue of Stars (dan aku hanya mengenal Jackie Chan dan Andy Lau di antara barisan nama-nama itu).

Aku lebih tertarik pada pemandangan kota HongKong yang menakjubkan dari sini. Aku ingin berdiri di sana, merapat pada pagar pembatas itu, bersamamu–menentang dingin yang semakin menusuk dan membuat telingaku nyaris kebas.

Dan tahukah kamu? Yang paling kuinginkan saat ini adalah berbagi pemandangan ini denganmu. Dan pemandangan lainnya yang masih berupa ‘akan’. Sebagaimana sore itu, di sebuah kota, aku memotret senja yang cantik dari jendela kamar hotelku dan membaginya denganmu.

Karena semua keindahan selalu mengingatkanku akan kamu.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ada pagi yang dingin dan detak langkah kakiku di atas aspal, menyusuri Central Pier yang masih sepi dan tersaput kabut. Segelas caramel machiato terpaksa menjadi substitusi jemarimu untuk menghangatkan telapak tanganku.

Tentu, rasanya tidak sama. Kamu tidak akan pernah bisa terganti oleh segelas kopi. Karena jemarimu bukan hanya melingkupi jemariku, tetapi juga hatiku, dan semua kenangan tentang perjalanan kita: yang telah lalu, dan yang akan datang.

Jadi terkutuklah aku, yang berjalan pelan-pelan dengan gigi gemeletuk kedinginan, menatap punggung pasangan-pasangan yang saling berangkulan dan berciuman diam-diam seraya menaiki trem menuju The Peak, mendengarkan lagu-lagumu yang berputar dari iPod-ku.

Nada-nada itu malah semakin membuatku kangen kamu.

Turun dari trem menuju The Peak, dan terdampar di Museum Lilin Madame Tussaud juga tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Aku merasa jadi satu-satunya orang yang datang ke situ sendirian. Jadi aku mendahului rombongan orang-orang dan berlari ke level lainnya yang masih cenderung sepi. Satu-satunya penghiburanku adalah mengetahui bahwa aku harus memotret semua ini untuk kuperlihatkan padamu ketika kita bertemu nanti.

Lalu kabut turun siang itu. Di The Pearl on The Peak. Semuanya putih. Aku setengah berharap di dalam kabut itu, kamu akan mengejutkanku, memelukku dari belakang, lalu aku akan memekik, memelukmu erat, dan berlari bersamamu menuju pagar pembatas dan berteriak pada dunia yang terbentang luas di bawah kita.

Tetapi ketika kuulurkan tanganku, jemariku hanya menepis selapis udara tipis.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP