Ada hal-hal yang saya harap bisa saya pelajari di sekolah selain pendidikan moral, bahasa, maupun matematika. Misalnya, bagaimana baiknya mengungkapkan rasa kepada orang yang saya cinta, bagaimana menyembuhkan luka hati setelah disakiti, atau bagaimana meringkas duka cita dalam beberapa kata atau tepukan di bahu mereka yang terluka.
Saya tak pernah pandai mengutarakan belasungkawa.
Ada sesuatu yang tak sepenuhnya terasa benar. Atau mungkin, saya terlalu banyak berpikir–atau bahkan merasa. Kata-kata rasanya tak bisa menggambarkan dengan tepat apa yang ingin saya sampaikan. Pelukan mungkin terlalu frontal. Kehadiran terkadang membuat saya merasa sedang melanggar batas; karena saya terbiasa menikmati berduka sendirian. Sesuatu yang buat saya, terasa sangat nyaman–meskipun saya tahu, tak semua orang merasa demikian.
Seringkali, yang saya lakukan adalah berduka di kejauhan, untuk mereka yang ditinggalkan. Mereka tak tahu bahwa saya membawa mereka sepanjang jalan, ketika memesan secangkir kopi atau berdoa di malam hari, selagi mengobrol dengan orang-orang yang saya cintai atau berjalan kaki di bawah hangat sinar matahari. Terkadang, saya menitikkan air mata juga untuk mereka, karena ada hal-hal dalam hidup yang terlalu intens untuk diungkapkan dengan cara-cara lain.
Saya masih tak pernah pandai mengucapkan belasungkawa. Biasanya, saya butuh waktu beberapa minggu atau bahkan bulan, untuk benar-benar kembali menatap atau bercakap dengan mereka yang berduka cita. Di saat itu, terkadang saya masih tak tahu apa yang bisa saya katakan. Saya juga masih tak bisa memberikan pelukan atau menawarkan sesuatu yang dirasa bijaksana.
Saya percaya orang-orang yang pernah menyimpan luka akan memiliki empati lebih dalam terhadap sesama manusia. Jadi biasanya, saya hanya tersenyum dan mengucap syukur ketika melihat mereka yang ditinggalkan masih bertahan–dan menjadi seseorang yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Untuk hal yang satu ini, saya bisa menangkapnya dalam mata-mata mereka yang tetap berbinar ketika kami kembali bertatapan; meskipun kita semua tahu bahwa duka itu tidak pernah benar-benar hilang.
18 Responses
I agree. The grief is still there. Not as big as it was, but it stays, somehow.
It’s a part of us, and it makes us stronger and kinder, too 🙂
Saya bahkan kesulitan meyakinkan yang berduka, hey saya ada disini. Mungkin seharusnya ada guideline buat yang berduka ya jadi sekitarnya bisa membantu yang terbaik.
Aku mau sekali membeli guideline tersebut! 🙂
Ini bener banget. Saya juga kaya gitu, kadang suka iri kalau melihat ada orang yang (sepertinya) bisa dengan mudah membantu meringankan beban orang yang berduka
😀 *hugs*
waaah tulisan ini gw bangeett T-T
:’)
Mereka tak tahu bahwa saya membawa mereka sepanjang jalan, ketika memesan secangkir kopi atau berdoa di malam hari, selagi mengobrol dengan orang-orang yang saya cintai atau berjalan kaki di bawah hangat sinar matahari.
# itu bener banget#
So, let’s just pray for them from where we are for the time being? :’)
Saya pun termasuk orang yang terlihat datar saat mengkspresikan rasa berduka. Karena saya merasa bahwa kata kata tidak dapat mewakili rasa berduka tetapi kehadiran lah yang bisa mewakili bahwa kita juga ikut berduka
🙂
I remember Phuket, and the guilt I felt when our eyes met, not knowing why or what I’ve done or how would I be able to make you smile. I knew better to left you drifted alone, and I made the right choice then. But now I’ll hug you! 🙂
Nyoooh! *hugs* :’D
Nice nice nice words hanny.. kalimat favorit aku ini “Saya percaya orang-orang yang pernah menyimpan luka akan memiliki empati lebih dalam terhadap sesama manusia.” Dan aku merasa tertohok.. :’)
Ah, Titiw :’) *peluk*
tentang kehilangan…sakitnya tuh di sini. tapi tak pernah kutemukan di mana tepatnya.
ah, ndoro… tak pernah kita temukan di mana tepatnya karena ia ada di mana-mana *peluk erat* mari bersua setelah tanggal dua-dua! ah, baris ini berima! :’)