Bina Shah, 2011 | 296 pages

Beberapa tahun terakhir ini, saya tertarik pada novelis-novelis India seperti Lahiri, Umrigar, Divakaruni, juga Bhagat. Ada sesuatu yang magis dari tulisan-tulisan mereka, kisah-kisah universal yang dibalut dengan nuansa tradisional yang kental. Sejak saat itu, saya memiliki ketertarikan khusus pada novel-novel dari Asia Selatan. Sayang, tak banyak penulis modern dari luar India yang saya ketahui. Namun sepulangnya dari Pakistan, saya menerima bingkisan dari Bina Shah, penulis novel Slum Child. Begitu membuka halaman pertama dan membaca kalimat pertamanya, saya tahu bahwa saya tidak akan bisa meletakkan buku ini lagi sebelum membacanya sampai habis.

Tidak mudah menjadi gadis Kristen miskin di daerah kumuh di Karachi, Pakistan. Tetapi di sanalah Laila tinggal, di Issa Colony yang kotor dan tidak menjanjikan apapun, termasuk masa depan. Laila gadis yang bersemangat dan cerdas. Hidup bersama ibu, ayah tiri, kakak perempuan yang sakit-sakitan dan adik-adik lelaki tirinya, Laila mencoba menemukan tempatnya di dunia. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai hal, termasuk tentang keberadaan Tuhan.

Ketika Jumana—kakak perempuan Laila—meninggal dunia karena TBC, dan ibu mereka dilanda depresi berat, ayah tiri Laila terbujuk untuk menjual keperawanan Laila. Mendengar rencana ini, Laila pun minggat dari rumah, meminta perlindungan kepada majikan ibunya—sebuah keluarga Muslim yang kaya-raya di daerah elit Karachi. Bekerja sebagai pengasuh anak, kini Laila pun harus bergelut dengan sebuah dunia yang berbeda 180 derajat dari dunia yang ia tinggalkan. Di sinilah ia merasakan debar-debar cinta pertama dan memberanikan diri bermimpi mengenai masa depan; namun kemudian menyadari bahwa pada akhirnya, ia harus memilih ke mana ia hendak “pulang”.

Slum Child merupakan sebuah novel yang sedih, sekaligus kuat. Dari mata kanak-kanak Laila, kita diajak melihat kehidupan di daerah kumuh secara apa adanya, tanpa emosi berlebih. Interaksi Muslim-Kristen, orangtua-anak dan golongan kaya-miskin dikisahkan secara lugas, tanpa terjebak dalam stereotipe. Slum Child menyadarkan kita bahwa kebaikan bisa muncul dari tempat-tempat yang paling tidak disangka-sangka. Dan novel ini adalah salah satu novel yang membuat saya sungguh-sungguh tersenyum, juga menitikkan air mata ketika membacanya.

hanny

4 Responses

  1. Ah, cari aaahhhh πŸ™‚ Thanks rekomendasinya.
    Sudah baca A Thousand Splendid Sun, Han? Aku sampai tersedu-sedu bacanya πŸ™

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with themβ€”and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeβ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP