Kadang-kadang rasanya ingin melempar sepatu, atau menginjak jempol orang yang menyuiti itu dengan hak stiletto 12 senti. Masalahnya bukan cuma disuiti saja, sih, tapi juga ditambahi dengan komentar-komentar nggak sopan yang melecehkan.

Perempuan-perempuan, terutama di Jakarta, pasti tahu persis bagaimana rasanya. Dan saya menulis ini pun karena belakangan beberapa teman saya mulai mengeluh karena merasa jengkel disuiti ketika tengah berjalan di trotoar. Padahal mereka menggunakan baju kerja; bahkan bercelana panjang. Apa jadinya kalau ber-hot pantsseperti yang disukai NdoroKakung, misalnya?

“Sudahlah, diamkan saja, kalau disuiti itu berarti kamu cantik. Coba kalau yang lewat cewek jelek, pasti nggak bakal disuiti,” canda seorang motivator di televisi suatu hari.

Doesn’t make me feel better. Ada yang salah di sini. Kalau kita diam saja, apakah orang-orang itu tahu bahwa yang mereka lakukan salah, bahwa itu semua termasuk pelecehan? Menurut Wikipedia, ada tipe pelecehan seksual yang namanya ‘unintentional‘:

Unintentional – Acts or comments of a sexual nature, not intended to harass, can constitute sexual harassment if another person feels uncomfortable with such subjects.

Mungkin orang-orang yang menyuiti dan melontarkan komentar nggak sopan itu cuma ‘iseng’ dan nggak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah pelecehan; tapi kalau kita merasa nggak nyaman, itu bisa dihitung sebagai pelecehan.

Terus, apa yang bisa kita lakukan? Kalau marah-marah biasanya mereka malah akan semakin seru menyuiti dan melontarkan komentar yang membuat panas kuping. Kalau didiamkan, mangkel sendiri. Kalau dipelototin balik, juga diketawain. What to do?

Sementara ini, saya masih berbekal iPod kalau sedang berjalan kaki melewati daerah ‘rawan’. Disetel ke volume yang cukup bisa meredam komentar nggak sopan dari kanan-kiri. Jadi kalaupun ada yang suit-suit, saya nggak dengar (dengan sedikit resiko keserempet mobil atau motor kalo kurang hati-hati karena juga nggak mendengar bunyi mesin atau klakson). Dan karena nggak dengar, saya nggak kesal.

Saya juga nggak setuju, sih, kalau ada yang bilang pelecehan ini dilakukan orang-orang dari kelas sosial atau tingkat pendidikan tertentu, lantas diminta untuk mengerti dan menerima saja ‘dibegitukan’.

Siapa bilang?

Ada juga kok tukang bangunan, satpam, dan tukang ojek yang sopan, kalau saya lewat malam-malam ditegur dengan, “Malam, Mbak, baru pulang? Hati-hati di jalan…”

Dan saya nggak keberatan dengan yang beginian. Kalau nanyanya memang sopan, biasanya saya balas, “Iya, baru pulang, nih, makasiiih,” sambil tersenyum.

Tapi, bagi orang-orang yang masih menyuiti dan melontarkan komentar seksis yang menyebalkan itu… duh. Bikin saya sedih. Karena di jalan-jalan umum tengah kota di negara tetangga seperti Singapura atau Bangkok, perempuan bebas jalan-jalan pakai tank top dan celana pendek tanpa harus kuatir dilecehkan.

hanny

27 Responses

  1. duh saya juga sering banget mengalami ini. cara terbaik ya memasang earphone di telinga dan putar volume musik sekeras mungkin.

    pernah saking kesalnya, lalu saya samperin, terus tu orang-orang langsung diam. tapi untuk cari aman, ya saya selalu jalan dengan menggunakan earphone. jadi jangan salahkan saya kalau lagi jalan pas dipanggil gak nengok. itu tameng untuk hal-hal seperti di atas… 😛

  2. pelaku pelecehan kek gt seringkali ga memandang umur. Aku pas SMP uda mulai kenal yg rasanya sebel krn disuitin. Waktu itu cm bisa marah. Kdg aku pelototin, kdg aku kasi jari tengah :p

    tp malah pas di kota kecil Cepu, dpt trik jitu utk meredam. Waktu itu brangkat ke pabrik ber2 ma temen, naek sepeda loh :p
    eh ada segerombolan laki2 (bkn orang pabrik) yg nyuitin. Aku udah emosi berat, tp temenku malah mendatangi mrk. Lgsg ditanya, ‘ya Mas? Ada apa? Kenapa?’ dg nada tegas.
    eh mrk lgsg diem smb cengar cengir. Aku yg msh agak emosi, nambahin, ‘Pak, gmn kalo ibu/istri kalian yg disuitin spt itu?’

    dan kami meninggalkan mrk yg cuma diem2 aja. :p

  3. saya juga eneg sama segelintir teman yang ga tahan pengen ngegangguin cewek lewat :-&, bahkan sehabis itu masih aja ada selipan komentar tak senonoh, tipikal cowo murahan *dikeplak*

  4. kebiasaan cuman diem
    mau marah2 tapi biasanya yang kayak gitu preman2 ,tukang bangunan atau tukang parkir..
    jadinya menghindar..
    biarpun deket..daripada jalan kaki ,mendingan naik motor deh 🙁

  5. Hmm……

    Pernah gw mikir, sekali-kali apa gw aja yg suit-suitin mereka ya, biar mereka tau rasanya disuitin :mrgreen: Untung gw msh waras, dan gak cukup bego utk melakukan hal yg sama-sama bentuk pelecehan itu, hehe…

    Kalo gw sih, Han, mungkin krn mengenal bgt sifat gw sendiri yg tegas, galak, dan kadang dibilang sangar, di beberapa kejadian ‘disuitin’ itu oknumnya gw samperin dan gw damprat. Ujung2nya gw suruh minta maaf. Emang gak gampang sih melakukannya, but I couldn’t just pass and act like nothing happened. Beresiko emang, dan gak setiap saat juga gw bereaksi spt itu. Well, at least drpd gw timpuk oknumnya pake batu spt yg dilakukan teman gw *sigh*

    Hal ini gw juga pernah posting. Silakan aja kalo mau tau cerita wanita nekad menghadapi tukang suit-suit :mrgreen: (ceritanya ada di sini : http://simplylee.wordpress.com/2009/10/24/bukan-wonder-woman/)

  6. susahnya kadang-kadang mereka gak sadar kalau itu juga termasuk pelecehan. kalau saya disuitin mending saya diamkan saja. kalau dicuekin mereka biasanya jadinya males…

  7. kalau pakai earphone bukannya malah tambah bahaya ya? kita malah tdk aware apa yang ada di belakang kita (misal ada pencopet dll)

    Syukurlah di Semarang msh aman-aman saja 🙂

  8. hanny harus sedia short skirt murah di tas. begitu disuitin, langsung datengin ke mereka. keluarkan short skirt dari tas, lalu taruh di depan pinggang salah satu yg nyuitin, lalu komentar, “wah, si mas ini cantik juga kalau pake short skirt ya..”

  9. sama Han, saya masih mengandalkan iPod dengan volume maksimal untuk mengurangi kesal ngga jelas karena suit-suit itu. Yang parah malah waktu saya lagi hamil pun masih ada aja gitu yang suka suit-suit di jalan.. astagaaaaa… 🙄

  10. Kalo hanya sedikit pelakunya, 2 sampe 3 orang, masih berani ngelawan lah gw. Berhenti jalan, lihat ke arah mereka dengan tampang kalem tapi galak, biasanya diem. Tapi perhatiin juga, tampang mereka preman banget ato enggak.

    Tapi kalo udah bergerombol banyak, ya bisanya pasrah aja. Plus Ipod memang senjata paling tangguh, karena kalo kita nggak denger apa yang mereka katakan, jalan kita pun masih tetep PD dan nggak ada masalah…

  11. kalo yg berjilbab lain lagi kasusnya, biasanya di sapa pake assalamualaikum sambil senyum2 mesem…

    kalo daku mah di jawab aja, waalaikumsalam 😀

    itung2 pahala… 😆

  12. suit…suit…suit…. *disepak Hanny*

    Dulu gw hampir ribut waktu SMU di depan taman Cimanggu gara-gara Mega sama Tina disiulin. Ada Sonni dan Yosua jg, cuma gw doang yg berani samperin tuh orang-orang. Sebenarnya kalo cewe marah kadang reaksi itu gak disangka sama tuh cowo-cowo dan kadang mereka minta maaf.

    Tapi gak jarang jg malah jadi ribut dan liar. Soalnya kalo rame-rame prilaku orang jadi berubah, itu yg disebut psikologi masa, dan yg namanya psikologi masa gak ada yg bisa prediksikan akibatnya. Jadi dari pada bikin kasus, mending cari aman aja, Han. Apa lagi kalo kamu sendiri. Tapi setidaknya tunjukan kalo kamu tidak senang, eh atau sebaliknya malah seneng disuitin? *disepak lagi*

  13. suit suitin balik, tatap mata nya dalam dalam, lalu dekati dan bisiki…” Jangan macam macam, gw remes biji loe jadi lembek kayak perkedel, mau ? “..

    Jalan lagi dengan siyul siyul.

    AWWWWWWWWWW, ngilu! :))

  14. ga pernah nyuitin karena ga bisa suit…
    paling gw menyapa dengan kalimat seperti…
    hai gadis manis berbaju hitam…mau pulang neng?
    is it count as sexual harassment? saya kan cuma memuji kalau dia memang cantik…atau nada bicara dan pemilihan kata2 gw yg enggak banget?

    1. kalau ceweknya nggak suka dan nggak nyaman digituin, bisa dianggap sebagai sexual harassment 🙂 kalau saya sih kalau ditegur “mau pulang, mbak?” dengan nada ramah masih saya sahutin.

  15. Wah Mbak, saya saking kesalnya sampai coba googling topik ini. Semenjak saya sadar, hampir setiap hari selalu menemukan kasus disut2, atau orang ga sopan ngomong di jalan dan kesalnya bukan main.

    Harusnya kasus kayak begini bisa dijadikan kajian oleh suatu lembaga masyarakat. Ini kan juga sumbangsih kenapa banyak orang (cewek khususnya) malas jalan di trotoar otomatis juga sumbangsih pada global-warming hehehh.. juga menyebabkan trauma =,(

    iya bener, aku masih bisa tahan panas, trotoar jelek, rusak, becek, tapi giliran pelecehan ini lebih mengganggu dari apapun 🙁

  16. Sebagai seorang cowo, say juga sebel liat orang yg suka suit2 ky gitu… Sikap seperti itu tak ubahnya sikap seorang pengecut… Kalau memang pangen kenalan mbok ya dengan cara yang baik dan sopan…. Saya setuju itu, dengan berlaku tegas terhadap pelaku suit2 liar tersebut. Saya yakin dengan mbak berbuat tegas, orang2 seperti itu bakal jiper… :mrgreen:

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP