Perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan senja.

Bukan karena ia bosan memandangi gurat-gurat jingga keemasan dan langit yang nampak lucu dalam semburat ungu dan merah jambu; tetapi karena ada malam yang akan segera menggulung senja dalam hitam—dan perempuan itu tak ingin terjebak dalam kegelapan untuk yang kedua kali, sendirian.

Maka ketika jingga mulai tercabik di cakrawala dan lampu merkuri mulai menyala, perempuan itu berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan senja. Berlindung dari malam yang bisa menusuknya pelan-pelan dan menjatuhkannya ke dalam lubang hitam.

Kepergian perempuan itu meninggalkan senja bukanlah sesuatu yang ia putuskan secara tiba-tiba. Selama ribuan hari yang dipenuhi malam, perempuan itu selalu berharap menunggui senja tiba. Dan ketika senja akhirnya datang menyapa, perempuan itu pun tersenyum bahagia.

Ia pikir, senja kali ini akan bertahan selamanya.

Tetapi langit senja yang dipandanginya ini bukanlah langit yang setia dan menghadirkan warna jingga, ungu, dan merah jambu selamanya. Ternyata langit senja juga menurunkan malam. Menurunkan hitam. Menurunkan kelam.

Maka perempuan itu memutuskan untuk melangkah meninggalkan senja; dan berlindung dari hitam yang mencekam. Hitam yang selama ribuan hari pernah menyelimutinya dalam pedih yang berkepanjangan. Perempuan itu enggan terperangkap malam-malam untuk yang kedua kali, karena ia tahu, sekalinya ia jatuh, sulit baginya untuk memanjat keluar lagi.

Bagaimanapun, perempuan itu tak pernah menyesal karena telah keluar menyapa senja. Ia pernah menyaksikan jingga, ungu, dan merah jambu menebar di angkasa, memantul dalam bingkai wajahnya ketika ia memandangi semuanya dari atas dermaga.

Tetapi ternyata, langit senja di atas kepalanya semakin menggelap, dan mata perempuan itu mulai berkabut ketika mengetahui bahwa ternyata senja yang tengah dipandanginya ini akan berubah menjadi malam dalam hitungan waktu yang tak terlalu.

Jadi perempuan itu berlari pergi meninggalkan senja, bersama hujan yang merintik meluruhkan asa dari kedua bola matanya.

Mungkin memang tak ada senja yang bertahan selamanya. Mungkin semua senja—seberapapun cantiknya, selalu menyembunyikan tikaman malam.

Tentu, perempuan itu masih ingin percaya bahwa ada senja yang mampu bertahan selamanya; tanpa perlu menghunjam perempuan itu diam-diam denganΒ  malam yang menekan. Jika bukan dalam kenyataan, dan pengharapan perempuan itu terlalu berlebihan, cukuplah hanya dalam kenangan.*

Tetapi rasanya, untuk sementara waktu, perempuan itu tak lagi ingin memandangi senja. Terlalu menyakitkan baginya.

Jadi, perempuan itu mengumpulkan semua remah senja yang ada dan menenggelamkannya ke dasar lautan. Biarlah menjadi santapan ikan, atau menguap bersama air laut dan turun kembali bersama hujan.

Suatu hari nanti, mungkin perempuan itu akan keluar lagi menyapa senja. Namun pastinya, senja yang ia sapa tak lagi berwarna jingga, ungu, atau merah jambu.

Karena perempuan itu pun tahu, sejak saat ini, langit senja tak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya.

—-

*) ketika engkau tengah menikmati senja, waktu seakan berhenti. dan senja menjelma selamanya.

Disclaimer: Ini bukan untuk siapa-siapa. Usah kau resah dan gundah πŸ˜‰

hanny

35 Responses

  1. @bewe: baru denger ada judul lagi begitu πŸ˜€
    @mileiva: nggak, steis. cukup senja aja yang ditinggal. langit pagi juga bisa berwarna jingga πŸ˜€ dan aku sedang sangat suka hujan di pagi hari πŸ™‚

  2. @chic, hanny sudah baikan, asal gak kena AC kayaknya akan baik-baik saja. makasih, yaaaaaa *peluk* (masih sedih karena batal ke ancol sama kopdarjakarta) 😐

  3. *memberikan nyala lilin ke perempuan itu* biar tak gelap2an dalam dari hitam malam yang mencekam :p..

    duh mengunjungi blognya hanny jadi keinget waktu berkunjung kerumah paman di paris perancis waktu musim dingin. akakakakakakkkk… *ngayal*

    wah, kapan-kapan kalo saya ke paris lagi mampir ke rumah pamannya ronggur ah πŸ˜€

  4. e kirain layarnya rusak, ternyata salju benar2 turun di blog ini..subhanallaaahh..

    hihihihi…

    adiiiiitttt hihihi, kamu berhasil membuatku ketawa ngakak pagi-pagiiii! lucu komennya, walau kalau dipikir-pikir… gak sopan juga, sih! (angry) hehehe. terima kasiiih karena sudah membuatku tertawa pagi-pagi πŸ˜€

  5. Kamu kah si perempuan itu jingga?
    Tapi,akhir yang bahagia, senja akhirnya ditinggalkan..abis senja emang gitu anaknya, ya gitu itu kelakuannya..jadi, tinggalkan saja,cari pacar lagi..

  6. tinggalkan senja
    basuh muka
    kenakan gaun terindah
    berangkatlah ke peraduan
    mungkin senja terindah
    sedang menunggu dalam mimpi yang indah

  7. Kalo gw terbalik, nunggu kepak fajar pagi merekah. Sayang gw gak bisa bangun pagi….

    Sempat sih ketemu – satu kali,
    tapi hanya sampai rembang tengah hari,
    sebelum berganti kelabu dan gelapnya blog ini.

    insomania

  8. Apakah ‘senja’ itu cerminan sosok seseorang yang awalnya ia harapkan tapi ternyata ia terlalu berpengharapan besar akan sosok itu dan tidak dapat meraihnya dan kini ia menyadari bahwa ‘senjanya’ akan hadir meski bukan seperti apa yang selama ini ia impikan serta ia harapkan?

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with themβ€”and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeβ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP