Empat puluh tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk terus bersabar dalam menghadapi debar hidup yang menggelenyar. Tetapi selama mendung masih menggelayut di langit, dan hujan masih bisa mengusir semua sepi dari permukaan tanah yang diseraki kulit-kulit jeruk, kau selalu tahu bahwa kau akan baik-baik saja. Dengan berteman embun, senja, subuh, dengan segenggam wangi daun-daun kemangi…

Dan dalam harumnya, kau suka merangkai aksara menjadi asa, menjadi bara, menjadi luka, menjadi cinta. Semua keindahan yang bermuara dari ujung-ujung jemari yang tak pernah letih berlari mengumpulkan remah-remah lema dan diksi antik yang kemudian memaksa banyak mata terusik dan akal bergerilnya mencari makna di balik setiap lembarannya.

Kau suka banyak hal sederhana: menulis, memotret bokong truk, membuat komik, menjodohkan dua hati, memandangi embun, tertawa, menikmati bebek goreng dan nasi bakar tuna, berbicara dengan orang-orang yang kau temui dalam perjalananmu: tua atau muda bukan masalah, karena kau tak pernah memikirkan soal usia–meski terkadang kau bingung dan mulai pelupa; misalnya mengenai siapa yang pernah kau ajak bicara tentang pinguin, atau di mana kau seharusnya memenuhi janjimu: One Pacific Place atau Senayan City?

Ingatkah kau, pada suatu hari, di jembatan layang yang tinggi, kau lihat dua ekor burung mungil terbang mendekati jendela mobilmu, bercakap-cakap satu sama lain dengan bingung: “Rasanya kita sudah terbang cukup tinggi, mengapa di sini masih juga ada kendaraan-kendaraan beroda empat ini?”

Ah, burung-burung yang malang, yang berupaya mencari kebebasan di tengah himpitan asap yang menghitam. Klakson. Polutan. Racun. Hiruk-pikuk Jakarta yang kau katakan berahi.

Tetapi bukankah selalu ada celah? Selalu ada hujan. Bau tanah basah yang menyegarkan dan selalu ngageni itu. Ada bunga di dalam pot kecil di atas meja. Kopi yang disajikan panas-panas. Dan selalu ada daun-daun kemangi itu; yang harumnya mengingatkan kita bahwa selalu ada tempat untuk berhenti. Untuk mengecap keindahan. Untuk sendiri meski kita tak seorang diri.

Pria pecinta daun kemangi, selamat merayakan hari jadi dengan banyak prosa cinta dari mereka yang selalu ada di bawah naungan teduhmu…

hanny

43 Responses

  1. aduh hanny, tulisanmu mesra sekali terdengar ditelingaku (tulisan kok terdengar yah, halah, whatever)

    yang jelas, kamu benar2 pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata2 yang indah.

    buat ndorokakung, happy birthday yahhh… Sukses Selalu.

    Salam hangat,
    Silly

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP