Bandung adalah perjalanan yang membukakan.
Perjalanan yang dilakukan sendirian, diputuskan secara tiba-tiba. Sedikit impulsif. Sangat berbeda dengan saya yang biasanya. Begitu pula yang dikatakan teman saya, ketika sepulangnya dari Bandung, saya membalas emailnya yang hanya terdiri dari dua kata: “Gimana Bandung?” dengan rentetan cerita panjang.
Senang bahwa pertanyaan dua kata-ku dijawab dengan respon yang ‘sedikit’ lebih dari dua kata. Gak nyangka. Aku bisa merasakan emosimu dan membayangkan ketika kamu menulisnya. Rasanya, aku tidak pernah melihat (tepatnya, membaca)-mu seantusias ini. Kamu itu menarik sekali secara kepribadian. Ada antusiasme dan letupan emosi, celetukan tidak biasa. Tapi lebih sering semua berputar di dalam otak/hati dan semua tercetus dalam bentuk simbol-simbol yang cukup halus.
Asli, waktu baca emailmu itu aku lagi di gym tuh. Walhasil, aku senyum-senyum sendiri (agak-agak terharu sedikit). Setelah itu, perasaanku jadi ikut terangkat. All is going to be ok.
Tapi beneran, aku sebenarnya sudah antusias ketika kamu bilang akan ke Bandung sendirian. Wah, sebuah terobosan. Ini baru pertama kali? Terobosan beneran. Bahkan mungkin lebih dari yang kamu–kita?–sadari.
Tidak banyak orang yang memutuskan untuk pergi sendirian tanpa kenal siapa pun. Itu harus pake rasa pasrah–sikap whatever will be will be. Dan aku yakin seyakin-yakinnya bahwa seorang kamu akan menikmati kesendirian itu. Tidak semua orang bisa, tapi kamu bisa.
Bandung membukakan mata saya akan hal-hal apa saja yang bisa saya lakukan. Hal-hal yang saya cintai. Hal-hal yang saya anggap penting. Lebih penting dibandingkan yang orang lain anggap penting. Apa-apa saja yang menarik dari sudut pandang saya. Kesempatan untuk mencumbui kesendirian pelan-pelan tanpa perlu merasa kesepian. Bukankah itu merupakan suatu kemewahan tersendiri?
Bandung juga membukakan kesempatan bagi saya untuk melihat masa lalu dan masa kini bermain-main dalam bingkai jendela. Dalam perjalanan panjang berlatar gedung-gedung dengan arsitektur art deco itu, saya memotret semuanya. Masa lalu dan masa kini. Juga memberanikan diri untuk mengintip masa depan dari balik jendela.
Bali–Kuta, Legian, Seminyak, Uluwatu, Jimbaran, hingga Dreamland, adalah perjalanan yang membebaskan.
Selalu demikian. Ketika kau merasa berada di ranah tak dikenal, di mana tak seorang pun peduli apa yang kau katakan, apa yang kau kenakan, dan bagaimana kau berpenampilan. Tempat di mana semua yang kau lakukan bisa mendapatkan permakluman atas nama liburan.
Tempat di mana kau merasa begitu kaya hanya dengan sandal jepit, celana pendek, dan kaos oblong, mengubur kaki di dalam pasir di siang bolong, kemudian memasang iPod dan asyik sendiri mendengarkan MIKA menyanyi, tak peduli keadaan sekitar, memandangi ombak di lautan, orang-orang yang berenang dengan bikini berwarna-warni, dan cakrawala di kejauhan.
Juga mengagumi barisan pemuda-pemuda tampan ala boyband yang berjemur di atas pasir pada pukul 2 siang dengan dada telanjang. Seperti berteriak, “Dipilih, dipilih, masih hangat, masih hangat…”
Ah, memandangi mereka semua itu saja sudah bisa memberikan saya kesenangan selama berjam-jam. Terik matahari pun terasa lebih ramah. Semua indah. Panas dan hujan. Semua indah ketika kita merasa bebas untuk menjadi diri sendiri, apa adanya.
Ubud adalah perjalanan yang melepaskan. Melepaskan semua. Pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Pemikiran tentang menulis. Kawan-kawan di ranah maya. Blogwalking. Semua terhenti di Ubud. Semua tergantikan dengan berjalan kaki selama 2-3 jam sehari, menyusuri jalan-jalan, pasar-pasar, sawah-sawah, dan toko-toko kecil… menumpang ojek melewati jalanan macet ketika kaki sudah nyaris lecet.
Memandangi hutan di kejauhan. Tidur dalam desau angin dan gesek dedaunan, suara-suara alam dan gemericik air. Sungai yang mengalir di bawah. Binatang-binatang yang bermunculan dari segala arah. Udara dingin yang menyembur dari pemandangan sawah-sawah pada senja hari. Mengakrabi semuanya membuatmu menggigil, tapi bukan karena dingin. Dan membuatmu tak lagi merasa perlu untuk mempertanyakan segala sesuatu dengan sepotong ‘mengapa’
Langit Ubud selalu penuh dengan bintang-bintang pada malam hari. Terang dalam pekatnya sekitar. Memberikan secercah rasa yang bukannya ingin saya simpan dan nikmati sendiri seperti biasa, tetapi justru ingin saya bagi. Karena bukankah langit selalu terlalu luas untuk dipandangi sendirian? Kita bisa berbagi sepuas-puasnya, dan langit masih tak akan ada habis-habisnya.
Teman saya itu benar. Ubud is such a magical place. Ubud bisa membuat saya takut, kagum, dan jatuh cinta pada saat yang bersamaan. Dan yang sedemikian itu baru bisa kau rasakan jika kau sudah melepaskan semua. Dan rela untuk lebur dalam rasa apa saja yang menggulung dirimu dalam ketiadaan.
~ sebuah suvenir kecil dari Ubud bisa ditemukan di sini ~
29 Responses
saya langsung merasa seperti lumer membaca kata-kata ini…
Kangen bali…
Wait.. jadi inget.. inikah pertukaran sekeping hati dengan tiket sekali jalan?
bukankah selalu ada masa untuk lari sejenak dari segala rutinitas yang mengelilingi hidup kita?
asli, saya ngakak baca bagian ini! hihihihi….bisa nawar gak tuh bulenya? ada yang kece? btw makasih oleh-olehnya hannnyyy. luv u, muaaahh…
btw fotomu mana? kok tidak bernarsis ria?
perjalanan yang melepaskan, sebuah sweet escaping…
terima kasih untuk suvenirnya 😀
[..] Kemaren baru pulang ,
jadi pengen pulang lagi….
Pelepasana yang indah.
foto yang aling bawah sangat artistik tuh 😀
haha!! ndoyok ini namanya!! 😀
tapi ndoyokmu masih kurang ngesoul.. kurang ngere.. kurang menjiwa.. halah!
endi oleh-oleh-e?
melepaskan, ada tanggal kadaluarsanya kah?
@achoey: hehehe *senang* dan langsung GR 😀
@zam: wakakakakakak. iya, yah??? ntar lain kali deh dijabanin yang lebih ngere hihihihih. wooo oleh-oleh yang dari bogor dulu dong, manaaaaa nih cerita lengkapnya …. hihihihihihi cie cie *towel towel zam* mau ikutan ke pulau onrust gak? atau udah pernah?
@balibul: wah, belum lihat tuh tanggal kadaluarsanya *bentar diintip dulu di bagian tutup atas kotak*
Googlearth !
Percaya gak kalo dunia cuma sebesar layar monitor..?
Tinggal masukkin koordinat / nama kota.. langsung sampe ke tujuan, meskipun gak bisa merasakan apa-apa paling tidak kerinduan akan suatu tempat bisa terobati dikiiiiiit … :((
nb.
ngeliat sunrise di sanur atau sunset di tanah lot tanpa membawa alat komunikasi juga serasa “melepaskan” lho.
Hmm.. blum tau yah klo perjalanan bulan agustus-september di Seminyak/Double Six = “perjalanan yang menggairahkan” <<– yg ini silahkan di-edit.. wekekekeke.
@brian: hwahahahahaha. gitu, ya? duh. kayaknya saya butuh tuh perjalanan yang menggairahkan 😀 hehehe. episode berikutnya berarti 😀
andai bisa berjalan-jalan seperti ini lagi
wuih…, puitis. Halus tutur kata dan baik budi bahasanya.
Nice piece, then again the point of traveling itself is to return home.
Anyways, you should try traveling to Papua! 😀
angle foto2-nya bagus
sayang kita tak sempat berjumpa yah, han. tapi seandaiya kita jaid berjumpa, bisa-bisa tak seistimewa postingan diatas, krn ada beberapa ornag yg kamu kenal dsini.. hihih
budjet ke ubud berapa ya!
hihihihi
@trendy: hwahahaha, tergantung sih mau naik apa ke Ubud, mau nginep di mana (kalo home stay gitu biasanya lebih murah), maukah jalan kaki ke mana-mana dan makan apa adanya. kalau bersedia begini, bisa murah banget, lho! 😀 karena di ubud kan memang bukan tempat belanja-belanja dan hura-hura 🙂
Perjalanan membuat hidup jadi lebih “penuh” ya 🙂
Hm … pengen ke Ubud ah (liat liat kalender …) … I like your blog … gue add ke blogroll-ku ya …
@atta: begitulah atta, perjalanan dan orang-orang yang kita cintai 🙂
@gicmaficionado: aku juga suka blog-mu. dan suka caramel machiato itu 😉
saya ingin membawa mindset liburan dalam kehidupan sehari-hari. kebebasan itu. kebahagiaan itu. kepasrahan itu. bisa nggak, ya?
dengan sedikit hipnosis, hasilnya bisa seperti yang terjadi di film office space hehehe…
waaaooo baru satu kali ke bali dan waktu ke pantainya liat ‘boyband’ itu juga klepek2..uhuhuhu orang bule kok bisa cakep2 gitu yah..
kadang-kadang aku susah membedakan antara pelepasan dan peturasan … 😀