Ulang tahun kedua kawan saya itu ternyata hanya berselang satu hari. Yang satu berulang tahun pada 6 Juli kemarin, dan yang satu lagi berulang tahun tepat hari ini.

Ketika sempat bertukar sapa dengan kawan saya yang berulang tahun pada 6 Juli itu tadi pagi, ia mengaku hanya sempat merayakan ulang tahunnya kemarin dengan bermain biliar. Nothing crazy, kalau meminjam istilahnya.

Ya, karena ia berada di sebuah negara yang ribuan mil jauhnya dari sini, tentu ia tak bisa merayakan ulang tahunnya dengan kumpul-kumpul malam hari di warung tenda (baca: Saras) bersama kawan-kawan dekatnya. Minum kopi susu dan makan roti bakar yang atasnya ditancapi lilin, kemudian tertawa-tawa mengenang ribuan kebodohan dan cerita konyol semasa sekolah dulu, merayapi tengah malam dengan keriaan yang begitu familiar.

Teman saya itu juga menandai hari ulang tahunnya dengan sebuah keputusan besar. Ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya saat ini: kotanya, pekerjaannya, apartemennya, kawan-kawannya, untuk pindah ke kota lain. Ia belum tahu persis dari mana harus memulai, apa yang menunggunya, bahkan di mana ia akan memulai hidup barunya. Mungkin Chicago. Atau Seattle, katanya.

Saya sarankan ia untuk pergi ke Chicago, karena Seattle terdengar terlalu muram, ungu, dan abu-abu untuknya. Tetapi, tentu, pada akhirnya langkah kaki teman saya itulah yang menentukan.

Sementara itu, teman saya yang satu lagi, yang berulang tahun hari ini, nampaknya sudah menerima banyak kejutan dan hadiah dari sana-sini, bahkan pagi-pagi sekali. Saya tak tahu apakah ia punya rencana khusus untuk merayakan ulang tahunnya hari ini. Tetapi tentu saja, saya ikut berbahagia untuk kedua kawan saya itu, yang ulang tahunnya hanya berselang satu hari.

Oh, ya, jika kita bicara soal kebahagiaan, tahukah kalian bahwa kebahagiaan itu ada dua jenis? Ada yang namanya kebahagiaan satu lapis, dan ada juga yang disebut kebahagiaan dua lapis. Kok terdengar seperti kue? Ya, terkadang kue yang enak juga bisa membuat kita bahagia, kok πŸ™‚ Bukan begitu?

Jadi… mari kita bicara tentang kebahagiaan dengan analogi kue. Kue satu lapis, dan kue dua lapis.

Kue satu lapis itu utuh, padat, solid. Tidak mungkin lapisannya tercerai-berai atau selip kesana kemari ketika dipotong dengan pisau. Karena bukankah memang hanya ada satu lapis? Sebaliknya, kue dua lapis, jika gula, krim, atau selai yang menjadi perekatnya tak cukup kuat, maka akan tercerai-berai saat dipotong. Lapisan atas terpisah dengan lapisan bawah. Rupanya pun jadi tak secantik semula.

Kue dua lapis itu mengenyangkan. Bayangkan, ada dua lapis! Kau bisa kekenyangan jika melahapnya sekaligus. Lalu mual. Biasanya, kemudian kau pilih satu lapis yang paling kau sukai. Misalnya, pada lapis Soerabaia, yang terdiri dari lapis cokelat dan lapis kuning. Anak kecil biasanya memilih lapisan yang ia suka jika sudah kekenyangan. Lapisan cokelat saja. Atau lapisan kuning saja. Tapi, kue satu lapis harus kau lahap seluruhnya. Tak ada pilihan setengah-setengah. Jika suka kau habiskan, jika tidak kau biarkan saja tergeletak di atas meja hingga orang lain melahapnya.

Kebahagiaan satu lapis itu kebahagiaan yang utuh. Ketika kita tidak bisa lagi membedakan dan memilah-milah alasan mengapa kita merasa bahagia. Kebahagiaan satu lapis itu meliputi semuanya: air mata dan tawa, teriakan marah dan muntahan kenangan manis–satu paket yang bisa membuat kita bahagia, dan harus kita terima semuanya. Kebahagiaan satu lapis ini berbahagia hanya karena. Just because.

Kebahagiaan dua lapis itu kebahagiaan yang bisa kau pilah-pilah. Yang masih bisa kau jawab ketika ditanya mengapa hari ini kau berbahagia. Kebahagiaan yang masih bisa terkikis bila masa lalu merayap dari tulang belakang dan masa depan tiba-tiba saja menghadang. Kau bisa mengambil senang-senang dan tawa saja, lalu memutuskan pura-pura tak melihat air mata. Yang penting kau bahagia.

Dan saya… saya masih berusaha mencari cara agar bisa mendapatkan kebahagiaan satu lapis itu lagi.

——-

Gambar dipinjam dari sini dan dari sini.

hanny

11 Responses

  1. Dulu Ueno Usagiya memperkenalkan Dorayaki cuma dengan 1 lapis.

    Kini untuk mengikuti perkembangan jaman dan gambaran dari keserkahan manusia Dorayaki itu berubah menjadi 2 lapis.

    Apakah nanti Dorayaki itu bisa kembali menjadi 1 lapis? atau mungkin menjadi 3 lapis dan seterusnya.

    Ah.. itu tergantung si Dorayaki dan penikmatnya.

  2. wah.. liat gambarnya jadi laper… :p

    tapi bukankah lebih baik untuk menikmati kue lapis dengan penuh kesadaran kan kenyamanan daripada menikmati kue 1 lapis yang kadang semu?

    πŸ˜€

  3. kue lapis yang jajanan pasar itu, atau kue lapis legit yang keduanya punya lapisan lebih dari dua, juga sedap. Jika memakannya dipilah-pilah per lapisan, malah wagu πŸ˜€

  4. wuaaah analoginya kena banget han. kalau kebahagian 2 lapis itu, agak susah ya.. πŸ˜€

    tapi kalau kayak opera cake yang berlapis-lapis gimana?? πŸ˜†

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with themβ€”and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeβ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP