Dua puluh lima bukan perayaan. Bukan juga perenungan.

Dua puluh lima seperti hujan; yang meski sudah berkali-kali turun tak bosan juga ia pandangi dan nanti-nanti. Seperti secangkir kopi. Sesuatu yang terasa akrab dan apa adanya, seperti piyama lamanya, yang sudah tak jelas lagi warna aslinya, tetapi selalu membuatnya merasa bisa tidur jauh lebih nyenyak ketika mengenakannya.

Dua puluh lima tak menggantungkan harapan, tidak juga penyesalan.

Dua puluh lima seperti pagi dan matahari, kaos katun, celana pendek dan sepatu kets atau sendal jepit, rambut yang basah dan harum sehabis keramas, juga segelas jus jeruk di atas meja. Sesuatu yang begitu sehari-hari namun belakangan mulai coba ia nikmati, sebagai salah satu caranya membuka diri terhadap semua yang hidup tawarkan pada setiap hirup dan hembus nafasnya.

Dua puluh lima tak menyambutnya dengan derai tawa, juga air mata.

Dua puluh lima menawarkan masa lalu dan masa depannya sebagai pilihan, tetapi ia memilih untuk berkonsentrasi pada masa kini dan semua yang mengelilinginya seperti titik-titik embun yang menyimpan momen-momen kecil. Momen-momen yang ia reguk tanpa banyak bertanya, atau berpikir.

Wafel dengan cokelat cair, stroberi, dan es krim vanila serta serangkaian permainan-permainan aneh dan ledakan tawa di Timezone malam sebelumnya. Susu cokelat dingin, mandi berlama-lama, menggosokkan scrub Africa Spa Salt di atas kulitnya yang lembap, mencuci rambut, dan membaluri diri dengan lotion stroberi pada pagi hari, mem-blow rambut di kamar sambil menonton America’s Great Hair Cut-nya Oprah. Membalas beberapa pesan yang mampir di telepon genggamnya…

Lalu melompat ke atas tempat tidur, melakukan koneksi ke internet, dan membaca kembali sebuah bingkisan manis yang diterimanya lebih awal dari seorang teman. Ia tersenyum lagi ketika mengenali masa lalunya dalam bingkai-bingkai kata itu:

“Ah, saat ini si lelaki tengah tersipu dengan segala perasaannya terhadap perempuan itu, sambil berusaha keras menyeduh secangkir kopi untuknya. Hanya ada rumus 3:1 dalam benaknya kala menyendok serbuk kopi dan gula dari tempatnya. Ia bahkan tak tahu harus mencampurnya dengan apa lagi, atau berapa putaran sendok yang harus ia lakukan agar tercipta secangkir kopi sempurna di malam yang luar biasa ini. Lihat, di luar hujan begitu deras, dan ia tahu perempuan itu teramat sangat menyukainya. Ya, mereka sedang melakukan upacara perayaan untuknya. Para prajurit air langit yang selalu dirindukannya itu tengah bersuka cita melipurnya, selayak sahabat dan orang-orang terdekatnya yang turut berbahagia atas sebuah momentum istimewa: malam menjelang usia 25-nya kini.”

Sebuah bingkisan tentang dirinya dalam secangkir masa lalu.

Tetapi dua puluh lima adalah sepotong doa. Bukan untuk masa depan. Bukan untuk masa lalu. Bukan untuk harapan-harapannya, impian-impiannya, atau kebahagiaannya.

Dua puluh lima adalah sepotong doa mengenai rasa. Rasa syukur. Tak ada yang ingin ia minta–setidaknya untuk saat ini. Karena ia sedang ingin mencoba untuk menikmati semua. Dan menikmati semua ternyata membuatnya bahagia.

Ia tahu, masih banyak yang akan menunggunya di depan dua puluh lima; dan ia akan jalani saja satu-satu, seperti PacMan menelan titik-titik yang bertebaran di layar dan menghindari hantu-hantu. Bersenang-senang. Bermain-main

Dua puluh lima adalah sebuah permainan baru. Ia hendak belajar aturan mainnya, dan menikmatinya sesuka hati.

Let’s play! 🙂

Update (01/06/08): Tak ada yang lebih mengasyikkan daripada menghabiskan hari berikutnya dengan menikmati buku-buku bacaan baru…

Update (02/06/08): Kaos kelinci lucu untuk menjelajahi museum Sabtu ini, juga mug besaaar–mungkin agar ia lebih rajin minum air putih.

Thank you! 🙂

hanny

20 Responses

  1. Ya … Let’s play 😉
    Happy belated b’day dear
    Suddenly, i miss my 25th. Hahahaha.

    I miss atta hehehehe. Makasih yaaa *hugzzz*

  2. Syukurlah… ternyata yang dikatakan si lelaki tentang “secangkir Kopi”-nya tidak sepenuhnya hitam,kelam dan pahit hingga membuat perut si lelaki melilit-lilit sakit.

    dan, baiklah… marimari kita bermain saja dengan hidup yang disuguhkan ini. let’s play together…

    apalah arti dua puluh lima (atau, dua puluh satu, kini), kecuali menikmati, mensyukuri, dan… ya, mari-mari jalani, bersenang-senang, bermain-main…

    yup, akhirnya, ” Tengah beranjak dewasa juga ”

    😉

    ***jangan enek ya sama kata-kata gw ;p

    sekarang udah agak balance kok dun, antara kopi pahit dan jus jeruk atau teh hangat dan cokelat panas 😀 makasihh yaaaaa 🙂

  3. hmm. saya sebentar lagi juga 25. ya, 2 bulan lagi
    gosh, a quarter life crisis katanya
    tapi sebaiknya tidak usah dipikirkan. tidak usah diresahkan. Yang ada hanya ‘sekarang’.
    happy birthday

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP