Akhirnya perempuan itu menyukai pagi juga. Cerah di atas pucuk kepalanya dan hangat yang membelai kulitnya.

Hujan akan selalu menghadirkan melankoli dan romantisme dari balik jendela; baik dalam secangkir kopi maupun segelas teh hangat yang dituang dari dalam poci.

Tetapi belakangan ini, sinar matahari yang tidak terlalu terik juga mulai menemaninya menyesap sebotol jus jeruk pelan-pelan. Ya, pelan-pelan. Karena ia nikmati saja semuanya hingga pagi untuk hari itu habis tak bersisa.

Strawberry smoothies mulai menggantikan hot caramel machiato sesekali; cukup untuk memberi warna, namun tak terlalu kerap untuk bisa mengubah dirinya menjadi seseorang yang lebih berbunga-bunga. Ia pikir bunga-bunga itu juga tak terlalu esensial, dekorasi itu perlu namun tak usah berlebihan. Minimalis masih tetap menjadi pilihan dan ia masih merasa nyaman dalam ruangan yang agak lapang. Ia pikir ia cenderung klaustrofobik, tapi tak mengapa.

Bukankah kita semua membutuhkan jarak?

Malam itu ia tengadahkan kepala dari boncengan ojek, memandangi bintang-bintang. Hanya ada satu hal yang terlintas dalam pikirannya: indah. Itu saja, tak ada saya-kangen-kamu atau kamu-sedang-apa atau apakah-kamu-sedang-memikirkan-saya. Sudah lama pikirannya tidak pernah diam. Ternyata hanya indah itu lebih dari cukup.

Ketika langit berubah warna dan pagi menerangi jalan yang sedikit basah setelah diguyur hujan, ternyata ia masih bahagia. Ia hampir lupa kapan terakhir kali bertegur sapa dengan pagi. Jadi, pukul enam lebih dua puluh menit, ia hirup dalam-dalam semesta kecilnya itu; merengkuh semua rindu: pagi, dan malam, dan segala yang berada di antaranya.

hanny

11 Responses

  1. Sore 5:54 ….
    Saya membaca tulisan mu, tertarik penasaran dan semakin ingat akan sebuah kenangan yang terlupakan untuk ku tuliskan dan ku rebahkan disetiap perjalanan cinta dan harapan …. tapi apakah jarak menjadi kunci dari kisah sebenarnya dari makna tulisanmu ????? ….. Tapi sungguh trims atas tulisan yang membuka kenangan …..

    Hai, Petra. Kenangan itu selalu ada, kok. Tinggal masalah penempatan saja, kok… apakah ia yang akan ada di permukaan dan kita yang tenggelam di dasar, atau kita yang berada di permukaan dan kenangan itu yang tenggelam di dasar 🙂 salam,

  2. @ wazeen: hihihi aku sering lho pakai kata menyesap :p aku juga suka kata itu 🙂 mewakili menghirup minuman pelan-pelan, sedikit demi sedikit ;p

    @ eva & nila: *hugsss*

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP