Lelaki itu tidak baik-baik saja.

Ia bisa melihatnya dari sisa-sisa caramel machiato yang mengambang di dasar gelas; es batu yang melumer dan menjadikan segalanya tawar; segumpal tisu di atas asbak; dan sepuluh batang rokok yang sudah menjadi puntung hanya dalam waktu kurang dari dua jam. Semuanya membentuk semacam pertanda yang akan memberikan petunjuk jika saja kita mengetahui bagaimana cara membacanya.

“Bukankah hidup ini penuh dengan pertanda?”
[I refuse to notice those signs…]
“Kenapa?”
[Karena semua pertanda itu menunjukkan bahwa ia tidak lagi mencintai saya.]

Ada asap yang melayang-layang rendah di sekitar mereka. Berat. Terlalu putih untuk sesuatu yang seharusnya berwarna kelabu sedih. Tetapi mungkin mereka sudah lama tahu bahwa cinta tak pernah berwarna putih atau merah jambu. Cinta itu abu-abu, blackcurrant, atau setidaknya marun.

Ia pun tahu bahwa lelaki yang tengah merokok di hadapannya itu tengah patah hati. Lagi. Tetapi sayatannya lebih dalam kali ini. Karena lelaki sahabatnya itu telah menggantungkan kebahagiaannya pada perempuan yang dicintainya.

Ah, ia meringis sendiri. Menggantungkan kebahagiaan pada orang lain adalah perangkap yang berbahaya. Sesuatu yang ia sendiri pernah jatuh ke dalamnya suatu waktu dulu—dan masih berusaha memanjat naik hingga kini. Dan lelaki itu pun cemas karena merasa mulai menikmati rasa sakit yang mendera setiap kali memikirkan perempuan yang meninggalkannya dalam ketidakpastian.

Ia memandangi lelaki itu; mencoba membuatnya tertawa, mengenang masa-masa bahagia ketika mereka masih sama-sama berpikir bahwa dunia ada dalam genggaman mereka. Ya, mereka tertawa—tapi tidak lama, karena mereka sama-sama menyadari tak ada gunanya hidup di masa lalu.

Pukul sepuluh. Depressing evening. Dan keduanya mengangguk setuju.

[Do you want another cup of coffee?]

Ia menggeleng. “Kamu mau?”

Lelaki itu menggeleng.

Dan mereka pun diam. Memandangi sesuatu yang tidak kelihatan. Bahagia untuk sesaat. Tiba-tiba mereka jatuh cinta pada diam. Dan ia melihat dirinya sendiri dalam diri lelaki itu.

Ternyata kita semua diliputi rasa sakit yang sama.

hanny

8 Responses

  1. btw ngomongin sign kok jadi inget serendipity ya han hehehe..

    bentar ya han..
    ” piyuuuu padi, sini !!”

    ni hanny minta dinyanyiin ” tak hanya diam “

  2. tak hanya diam tuh yang kayak gimana ya, lagunya? hehehehe. mana piyu-nya belum dateng 🙁

    hoi kita kok belum ketemu-ketemuan, sih…

  3. Tak Hanya Diam : Ngomong donk, makanya cari dong sang (………)dari anggota komunitas blogger,biar lebih terbuka.

    Tapi diam itu memiliki makna simbolis yang dalam.

  4. apa benar diam itu ada? apakah Dia membiarkan kita diam? “malam-malam diam” itu mengundang saya untuk mencari diam itu lagi.

  5. @marwan: hehehehe jadi malu

    @ndoro: nah, itu dia, ndoro. saya belum lihat wujudnya balibul…

    @wazeen: hmm, jadi mikir 🙂

    @ono: ketika kata-kata tak lagi mampu memberikan makna… taelahhh hehehe ;p kapan karaoke lagu-lagu jadul? hihihihi

  6. “Menggantungkan kebahagiaan pada orang lain adalah perangkap yang berbahaya”

    can’t agree more on this,,,
    tapi sebagai individu yang collectivist,,,most of our happiness will depend on others,,,=S

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP