Malam itu, seorang sahabatnya pulang.

Ia masih terdampar di kantornya saat itu, menjelang pukul sepuluh; menunggui percakapan yang berlangsung sejak senja dan semakin ramai tatkala diperciki sebotol wine yang tiba-tiba muncul dari bawah laci meja.

Suara itu menyapanya dari sebuah kedai kecil di kota sebelah, 60 kilometer jauhnya: “Saya pulang. Bisa ketemuan, nggak?”

Ia urung bertemu sahabatnya malam itu, meskipun tetap undur diri sebelum percakapan tadi rampung. Matanya perih, dan masih ada hari esok yang menunggunya. Jadi ia memejamkan mata dan membiarkan James Blunt memenuhi kepalanya dengan cerita-cerita dari All The Lost Souls.

Ya, ia merasa tersesat. Seperti berada di tahun yang bukan miliknya. Mungkin seharusnya ia berada di tahun 1973…

Senja itu, seorang sahabatnya pergi.

Kepergian dengan pemberitahuan yang begitu tiba-tiba, yang tidak pernah ia duga. Sesuatu yang membuatnya kesal sekaligus kecewa karena tidak sempat menyiapkan bingkisan atau kejutan kecil untuk sahabatnya. Semuanya seperti adegan yang dipercepat tanpa pernah ia tahu asal muasalnya.

Tetapi ia ucapkan juga selamat jalan hari itu; teriring pesan agar sahabatnya menjaga diri baik-baik.

Malam itu pun ia habiskan di Avenue bersama para pecinta Scribo Ergo Sum hingga pukul sembilan; kemudian bergabung dengan kawan-kawannya semasa SMA, mendengarkan entah siapa membawakan lagu-lagu Goo Goo Dolls di depan rinai-rinai air sambil tertawa-tawa menahan kantuk; sejam sebelum tengah malam.

Kemudian ia menjenguk lelaki itu lewat sebuah jendela yang terbuka diam-diam. Ternyata dia masih ada di sana. Seseorang yang tidak pernah pulang; dan tidak pernah pergi. Seseorang yang selalu tinggal–entah sampai kapan. Sampai ia bosan, mungkin.

Tetapi ia tidak menyapanya.

Ia menguap beberapa kali dan membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Water of March-nya Basia mengambang dalam gelap; yang kesebelas kalinya hari itu. Percakapan itu mengabut di pelupuk matanya sebelum ia terlelap.

“I wish I can go home…”
“Why can’t you?”
“Because home is where the heart is, right?”
“So?”
“I no longer have one. A heart, I mean…”

hanny

13 Responses

  1. mataku ikut mengabut membaca dialog di akhir tulisanmu, han…

    persis seperti diriku saat ini πŸ˜€
    boleh kukutip di blogku, tak?

    eniwei, jangan lupa pasang banner (atau badge?^^) perkosakata. udah jadi loh πŸ˜€

  2. Kalau sampai tercetus kata dari rasa “tidak punya hati lagi”, berarti masih punya.

    Mungkin hanya perlu diingat kembali. Hanya perlu dirasa kembali.

    Kayak buku lama yang terselip di kamar tidur aja. Kita pikir sudah hilang, taunya masih ada, hanya belum tampak oleh mata kepala kita. Walau buku itu sudah berusaha untuk memanggil-manggil.

    Kalau sudah gini, saatnya bersih-bersih ‘kamar’.

  3. pada saat kita merasa tak ada hati untuk disinggahi
    justru pada saat itulah kita berada di dalam “rumah” kita sendiri “HOME” yang sesungguhnya
    salam kenal, saya suka caramu menggoreskan pena…

  4. sekali waktu tersesat dan menemukan blogmu. saya cuma bisa bergumam, mungkin berkenalan dengannya akan mengubah hidup saya menjadi lebih menarik… sudah lama saya tidak tersiram hujan… boleh? -=gilank=-

  5. mba hanny…gilee..ternyata ga cuma jadi PR tapi juga jago nulis. Untung bukan wartawan, kalo wartawan bisa2 yang memang Anugerah Adiwarta dirimu tuh…huehehehe

  6. ayu – yuuu hehehe boleh, boleh, banner udah mejeng tuh paling atas πŸ˜€

    eva – hmm, memang belum ‘bersih-bersih’ lagi, belum sempat hehehe. ‘bantuin’ dong πŸ˜€

    crushdew – semoga sudutmu itu sudah sedikit terang πŸ™‚

    may – pengertian yang menarik! πŸ™‚

    me – hei, aku seperti menemukan diriku di dalam blog-mu. amazing. thanks for visiting; tersesatlah lagi di sini lebih sering ;p

    okky – hehehe selamat yaaaah, makanya tahun depan niatnya mau kawinan, biar menang dapet trofi Adiwarta Sampoerna-nya hihihihih πŸ˜€

  7. me – blog mate kali πŸ™‚

    balibul – ntar, yah, masih capek nih gara-gara 2 hari minggu kemarin nggak bisa tidur enak. kaki masih bengkak2 dikit… badan masih pegal-pegal, masih banyak deadline yang belum terkejar hueheheh (jadi curhat). olenka? olenka?

    eva: πŸ™‚

    kw – wah minum hot chocolate saja saya sudah mabuk hehehehe apalagi cognac πŸ˜€

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with themβ€”and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeβ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP