Waktu beresin lemari buku di akhir minggu, pandangan saya tertumbuk pada sebuah novel lama di rak tengah. Keluaran tahun 1986, terbitan Gramedia. Judulnya “Namaku Bayu” karya Teguh S. Hartono. Bayu, 13 tahun, terpaksa putus sekolah karena alasan klasik: nggak ada biaya. Emaknya hanya penjual lotek, dan bapaknya sakit. Konsentrasi Bayu adalah mencari uang untuk menghidupi dirinya, juga keluarganya.

Maka bersama anak-anak sebayanya yang sama-sama kurang beruntung, Bayu pun bekerja sebagai buruh di pabrik obat. Pekerja anak-anak di pabrik ini ada yang harus melakukan pekerjaan berat dan berisiko tinggi dari pagi hingga sore hari, padahal mereka dibayar harian dengan upah sangat rendah. Melihat kondisi ini, ditambah tekanan dari beberapa ‘preman’ pekerja dewasa di pabrik, Bayu pun memimpin kawan-kawannya untuk mengajukan tuntutan kepada bos pabrik. Mereka meminta jaminan kesehatan, upah yang layak, juga jemputan, karena anak-anak ini banyak yang harus berjalan kaki 15 kilometer menuju pabrik. Pasalnya, kalau naik angkutan umum, upah mereka bisa langsung habis. Sebegitu kecilnya memang upah yang mereka terima.

Dibantu seorang wartawan, perjuangan Bayu dan kawan-kawannya ini pun berhasil menjadi tajuk utama di koran dan membuat bos pabrik geram. Bayu dan kawan-kawan pun dipecat. Sisanya? Mungkin lebih baik baca sendiri novelnya supaya nggak spoiler 😀 (walaupun saya sempat cari di Google, tapi kok seakan-akan novel ini tidak pernah ada).

Terus kenapa tiba-tiba saya jadi ngomongin novel lama ini? Nggak apa-apa, sih. Kebetulan waktu lagi beresin buku di lemari itu saya juga nemu beberapa tumpuk buku yang dikirimkan untuk saya. Salah satunya sebuah novel remaja, kisah mengenai sekelompok anak SMU di mana karakter cowoknya membawa BMW Z4 Coupe ke sekolah dan karakter ceweknya punya rumah bagus dengan kolam renang besar.

Mungkin hidup memang sudah njomplang adanya, bahkan di dalam novel-novel remaja. Sementara dari tahun 1986 sampai sekarang, anak-anak seperti Bayu masih saja berjuang sekadar untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonomi. Apalagi untuk sekolah. Apa kabar dana BOS ketika siswa masih harus mengeluarkan uang bangunan, uang les, sumbangan sukarela wajib (suka rela kok wajib?), uang buku, uang piknik, uang perjalanan studi dan lain-lainnya yang akan berdampak kepada nilai tugas ketika tidak dibayar?

—————————————————————————–

– Jakarta, sore hari yang dingin. Laporan ILO menyatakan masih ada 1,7 juta pekerja anak di Indonesia.

hanny

5 Responses

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP