Do wishes really come true?
Pagi hari di Hồ Chí Minh City diawali dengan sarapan pagi berupa baguette dan kopi Vietnam di atas atap Ngoc Minh Guest House; dan semangkuk phở untuk berdua di Pho Quynh. Dan perjalanan kita pun resmi dimulai. Menempuh jarak 5 kilometer dengan berjalan kaki, dan akan menghabiskan waktu selama 6 jam.
Dari Phạm Ngũ Lão kita menyeberangi jalan yang padat dengan sepeda motor menuju pasar Bến Thành yang baru menggeliat.
Kita memutuskan untuk kembali lagi ke sini belakangan, kemudian menyeberangi bundaran menuju Selatan, dan mendamparkan diri di Fine Arts Museum di Phó Đức Chính yang penuh dengan labirin-labirin.
Seperti mencoba menebak isi hatimu, saya mengintip ke dalam lorong-lorong kecil museum yang membawa kita ke lorong lain, dan ceruk-ceruk tersembunyi yang menyimpan lukisan-lukisan serta keramik.
Dari sana kita menyusuri jalan-jalan yang ramai dan bermandi cahaya matahari, melewati pasar pinggir jalan yang padat dengan aneka makanan, kemudian beristirahat untuk menyantap es krim di X Cafe yang cantik, berlindung dari sengatan matahari di sofa-sofa empuk dan mengobrol tentang entah apa.
Setelah menyegarkan diri, kita kembali turun ke jalan menuju Lê Lợi, pusat komersial di Saigon, dan mengagumi deretan butik-butik desainer ternama dunia yang berjajar, dengan bendera-bendera palu arit tepat di seberangnya.
Kamu berkata, “Tidak terasa sosialisme di Saigon saat ini”–selagi saya mengagumi trotoar-trotoar yang luas, terawat, bersih, dan nyaman di sepanjang jalan.
Di hadapan kita berdiri Opera House yang megah,
Rex Hotel dan Hotel de Ville di sekitaran Nguyễn Huệ. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul satu siang. Kita mempercepat langkah menuju Museum of Hồ Chí Minh City yang cantik–di mana tengah berlangsung pemotretan pre-wedding di anak tangganya.
Dari sana kita berjalan menuju Quan An Ngon di Pasteur Street untuk makan siang di lantai atas, menyantap phở, cumi bakar, dan es kelapa muda di bawah naungan payung putih cantik; sementara langit mulai digayuti mendung (sepanjang perjalanan setelah itu, saya masih mengkhawatirkan bau cumi bakar yang lekat di rambut dan baju).
Beberapa saat kemudian, kita telah menelusuri Reunification Palace yang luas dan lapang,
serta War Remnants Museum di dekat Kỳ Khởi Nghĩa dan Vo Van Tan. Waktu itu mendung, hujan nyaris rintik, dan kita baru saja bergidik melihat kengerian Agent Orange dan tiger cages.
Perjalanan berlanjut di sore hari yang menyenangkan, dengan angin bertiup lembut: Notre Dame Cathedral–yang cantik, dengan patung Bunda Maria yang berpendar dalam gelap,
serta kantor pos besar di Lê Duẩn.
Dari sana perjalanan terjauh kita sore itu dimulai, menuju Jade Emperor Pagoda di Nguyễn Bỉnh Khiêm–daerah yang ramai dan padat; seperti daerah Kota di saat-saat termacetnya.
Kita berjalan tanpa henti selama kurang lebih 40 menit, dan kamu terus bertanya apakah saya lelah. Saya katakan, tidak (karena kamu ada di sisi saya). Keramaian di sore hari bertambah dengan keluarnya motor-motor yang tumpah-ruah ke jalan-jalan (dan kamu merengkuh bahu saya ketika kita mencoba menembus kekacauan itu).
Senja itu kita habiskan di Jade Emperor Pagoda yang berpendar merah dan ditingkahi asap dari hio yang dibakar, di bawah rerimbunan pohon, seraya mengamati kelucuan anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar dan merencanakan ke mana lagi kita akan pergi setelah ini.
Ketika kaki-kaki kita sudah tak terlalu lelah dan gelap mulai turun, kita memutuskan untuk kembali ke jalan besar dan menumpang Vina Taksi kembali ke Phạm Ngũ Lão. Dari atas atap di Ngoc Minh, kita memandangi langit kota yang berbintang sambil menikmati sebungkus puding tofu di ayunan.
Akhirnya kita berbagi langit ini berdua. Berbagi bintang. Di atas sebuah ayunan besi untuk berdua, di atas atap.
Wishes do come true.
2 Responses
jadi teringat perjalanan ‘hangat’ saya di jogja di masa lampau …ah …memori 🙂