“The composition’s central axis is a grandfather clock without hands—it is as if, in the oasis of the artist’s studio, time were suspended.”

– keterangan dari lukisan Matisse, THE RED STUDIO.

Ternyata hidup selalu menyimpan jejak-jejak dari masa lalu. Terkadang, ketika hidup tak lagi punya cukup ruang dan waktu untuk menampung semuanya; sebagian jejak itu tertumpah ke masa kini. Menyibak memori. Persinggahan sekejap untuk mencumbui kenangan; dan ia ingat.

Ia ingat waktu-waktu yang dihabiskannya untuk menunggumu. Lama bagi yang melihat, namun ia seperti tak merasa. Benar apa kata Einstein. Waktu itu relatif.

Ia merasa seperti berada di sebuah bandara. Hanya berada di sana tapi tak sungguh-sungguh hendak naik ke atas pesawat. Iri melihat orang-orang yang lalu-lalang dengan paspor, tiket, dan troli di tangan, langkah-langkah pendek dan sapa dalam bahasa yang tak bisa ia terka.*

Semua orang nampak benar-benar tahu ke mana mereka harus menuju.

Tidak seperti dirinya, yang hanya duduk di sana memandangi mereka semua; orang-orang yang berseliweran di sekitarnya; tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya bisa ia dapatkan dari duduk di sana selama itu, menunggumu, yang entah kapan akan datang.

Ribuan hari bukanlah waktu yang bisa dibilang sebentar, dan kakinya mulai kesemutan. Ya, rupanya ia sudah mulai bisa merasa. Detail-detail bandara ini juga sudah begitu lekat dalam ingatannya. Ia bosan. Ia ingin tahu apa yang ada di luar. Ia ingin pergi ke Museum of Modern Art dan memandangi lukisan The Red Studio-nya Matisse. Atau ke Laweyan dan melihat orang-orang membatik, seperti dalam novel Canting-nya Arswendo.

Mencari sesuatu yang lain, yang belum pernah ia tahu. Memesrai kejutan.

Lalu ia teringat film The Terminal-nya Tom Hanks (ia suka film itu–tepatnya, ia suka Tom Hanks dan semua film yang dibintangi aktor itu), kemudian menyadari bahwa bahkan seorang Tom Hanks tak bersedia terkurung dalam sebuah bandara selamanya.

Keesokan harinya, ia memutuskan untuk menukarkan sekeping hatinya dengan selembar tiket sekali jalan.

*dari komentar Wazeen.

hanny

7 Responses

  1. memang benar saya merasakan ekstase yang luar biasa ketika melihat benda2 dan obyek itu, dengan memegang paspor, visa dan tiket di tangan saya merasakan adanya ‘sebuah tujuan’…

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP