Akhir Desember 2004.

There were 5 of us … saya, Cathy, Mumz, Pupz, dan Amon. Balik dari Citos setelah Pupz traktiran di Dixie dan kita menghabiskan 3 porsi calamari (!). Amon nyetir dengan kecepatan maksimum seperti biasa, walaupun lagu-lagunya mellow. Pupz duduk di sebelah Amon, sementara saya, Cathy dan Mumz duduk di belakang. It was raining heavily outside … dan lampu-lampu jalan yang berpendar oranye memantul di jendela mobil yang basah dan gelap. Looks like dozens of candles in the middle of the night. So sweet.

Dan tentu aja, di tengah suasana yang melankolis seperti itu, saya dan Cathy bicara soal kisah cinta kita yang hampir sama menyedihkannya. Longing for someone for years … dan pada saat itu saya menanyakan hal yang sama yang pernah saya tanyakan ke Amon beberapa waktu sebelumnya: “Gimana caranya kita tau bahwa yang kita rasakan itu CINTA dan bukan OBSESI?”.

Maksud saya … setelah bertahun-tahun kita terpaku pada orang yang sama, gimana kita tahu bahwa apa yang kita rasakan adalah CINTA dan bukannya OBSESI yang terdiri dari tumpukan rasa penasaran karena nggak pernah mendapatkan kejelasan?!!

Waktu itu dengan yakin Cathy menjawab,”Kalau gue sih, CINTA. Walaupun gue nggak bisa ngasih alasannya, tapi gue tau yang gue rasain CINTA.”

Sampai mobil berhenti di depan SARAS*, saya masih nggak bisa menjawab pertanyaannya. Pupz dan Amon keluar untuk beli makanan, sementara saya dan Cathy masih tetap duduk di jok belakang, meringkuk dan mendiskusikan hal yang sama.

Lamaaa setelah itu, saya baru bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan sendiri. Apakah yang saya rasakan terhadap dia itu CINTA atau OBSESI? Jawabannya adalah : CINTA.

Alasannya?

Karena cinta berarti kebahagiaan. Sementara obsesi berarti tekanan. Cinta berarti memaafkan. Sedangkan obsesi cenderung mendendam. Cinta berarti melepaskan. Sedangkan obsesi berarti kehilangan. Saya memilih untuk memaafkan. Melepaskan. Membiarkan dia bahagia–dan yang lebih penting, mengijinkan diri saya untuk menemukan kebahagiaan saya sendiri.

*) SARAS adalah nama sebuah kafe tenda yang berlokasi di sepanjang Jl. Pajajaran, Bogor. It has the greatest Indomie-Keju-Telor-Kornet I’ve ever had in my life, and an amazing “roti bakar” overloaded with cheese and condensed milk! This is our favorite hang-out place when we have run out of idea about where else to go.

hanny

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Unsplash
We tend to shape our memories of them based on the limited time we spend with them—and our memories of them, over time, will be replaced with one single word, one single interaction, or one single feeling.
Beradadisini Love Letter to Self
I took up a personal journaling project this week: writing a love letter to myself before bed. I work on a thin A6-size handmade paper journal I got from a paper artist, Els. The journal is thin and small enough, so it doesn't overwhelm me. It feels like I am only going to work on a small project.
annie-spratt-YF8NTmQyhdg-unsplash
Standing up for yourself does not have to look aggressive. It does not have to feel like a fight. It's not always about convincing others or explaining yourself and your decisions with the hope that everyone else understands or accepts your choice.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP