*Ehem*, saya selingi dulu kisah “Liburan Gila di Singapura” dengan pengumuman ini: khusus ditujukan buat teman-teman blogger yang ingin ikutan kopdar di Java Jazz (6-8 Maret 2009)—diiringi suara seksi Jason Mraz dari atas panggung…

picture-91
errr, bingung, pilih jason mraz atau matt mullenweg, ya? hihihi 😀

Apakah kita akan bertemu di sana? Mungkin saja, soalnya AXIS punya beberapa tiket gratis buat dibagikan ke teman-teman blogger:

  • 1 daily pass (7 Maret 2009) + 1 tiket gratis buat nonton show Jason Mraz di AXIS Java Jazz 2009 (7 Maret 2009) + 1 paket AKSES AXIS (HSDPA-nya AXIS) +
  • 4 daily pass dilengkapi tiket nonton show Jason Mraz di AXIS Java Jazz 2009 (7 Maret 2009)
  • 5 daily pass buat nonton AXIS Java Jazz 2009 (7 Maret 2009)

Eh, banyak juga, ya? Caranya gimana?

——————–

1. Bikin postingan di blog kamu dengan salah satu judul sebagai berikut:

  • “Tips & Tricks buat menikmati nonton AXIS Java Jazz 2009 ala kamu”
  • “Sebutkan Artis yang paling ingin kamu tonton di AXIS Java Jazz 2009 dan kenapa”
  • ”Ceritakan pengalaman seru-mu waktu menggunakan AXIS”
  • ”Review album Jason Mraz yang terbaru”

sebelum tanggal 2 Maret 2009 (judul bisa dipilih salah satu, atau bisa juga kalau kamu ingin mencoba peruntunganmu dan mengirimkan empat-empatnya)

2. Kirimkan URL postingan kamu itu ke alamat email ini dengan subject: AXIS JAVA JAZZ 2009 BLOGGING CONTEST – nama kamu. Jangan lupa sertakan alamat, nama lengkap sesuai KTP, email, dan nomor telepon yang bisa dihubungi

3. Posting link URL postingan kamu itu ke kolom POST LINK di Facebook Group AXIS JAVA JAZZ FESTIVAL di sini

4. Pemenang adalah mereka yang postingannya paling gila dan paling lucu menurut Panitia

Untuk persyaratan lebih lengkapnya, lihat di sini, ya! Ayo, kita kopdar dan foto-foto di Java Jazz, kalau perlu kita culik Jason Mraz untuk foto bareng, agar terbukti bahwa postingan tersebut bukan hoax belaka 🙂

Oh ya, saya mau berbagi juga lagu Jason Mraz favorit saya. Depressing, melancholic, but sweet! 🙂 Ini dia, judulnya PLANE:

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Siang itu, kami menuju restoran Palm Beach Seafood di One Fullerton Road, yang terletak persis berdampingan dengan Merlion—patung singa dengan air yang memancar keluar dari mulutnya. Iya, Merlion. Monas-nya Singapura. Ada orang yang bilang, belum sah rasanya ke Singapura jika belum ke Orchard dan belum mengambil foto-foto di Merlion.

Di Palm Beach Seafood, kami sudah ditunggu oleh staff STB, Kendra Wong–yang masih seusia juga dengan kami. Udara siang itu agak mendung, angin bertiup pelan, dan cuacanya memang sangat menyenangkan untuk menyantap seafood di luar. Iya, meja kami terletak di luar, di bawah tenda putih, menghadap langsung ke Singapore River yang bersih.

picture-3

Dengan ramah, Kendra langsung mengajak kami mengobrol. Karena sikapnya yang bersahabat, maka kami (yang sudah melirik Merlion sejak awal) pun tak malu-malu berkata,”Kendra, sambil nunggu makanan, kita mau foto-foto di Merlion dulu, ya?”

Kendra langsung mengiyakan. Maka kami pun berlari menuju patung Merlion, bersenjatakan kamera di tangan. Menjadi turis sehari, kami pun langsung asyik mengambil pose di depan patung Merlion dengan gaya andalan masing-masing—sampai akhirnya kami menyadari bahwa makanan kami telah siap terhidang di atas meja.

picture-2

Saat itu memang sudah sekitar pukul setengah dua siang, maka kami pun segera menyantap berbagai hidangan yang tersedia. Chika sudah memberikan laporan lengkapnya di sini. Yang jelas, semua hidangan yang berbaris rapi itu tak lepas dari jepretan kamera sebelum disantap.

“Sorry, Kendra. This is for our blog!” kami terkekeh, karena Kendra terpaksa menunggu beberapa saat sebelum bisa mencicipi makanan yang ada, berhubung kami masih sibuk memotret.

Tetapi hidangan yang paling menakjubkan di Palm Beach Seafood memang tak lain dan tak bukan: Chilli Crab-nya—yang besar dan gurih, dan lezat, dan sangat spicy. Meskipun awalnya kami masih berusaha sopan dengan menggunakan berbagai peralatan penakluk kepiting, tetapi ketika Kendra juga berkata,”Just use our hands!”—kami pun langsung menyerbu si kepiting dengan barbar.

Kepiting yang luar biasa besar itu pun tandas dalam waktu singkat. Dan Dimas adalah orang yang berhasil menghabiskan potongan kepiting terakhir, sambil disemangati oleh boneka kepiting Palm Beach, Kendra, dan kami semua. Bahkan Kendra sempat mengambil foto-foto Dimas ketika tengah menyantap kepiting.

picture-8

“Let me take the pictures, I got a better angle from here!” kata Kendra sambil tertawa. Ah, rupanya Kendra sudah tertular dengan kebiasaan kami!

🙂

Begitu selesai makan siang, kami pun kembali mengajak Kendra untuk berfoto bersama kami di depan Merlion.

picture-9

Pada saat inilah, Mr. Basir, tour guide kami, mengatakan bahwa ada satu spot tertentu jika Dimas hendak berpose tengah buang air kecil. Dimas pun diminta berdiri di dekat sebuah tangga, beberapa meter jauhnya dari Merlion.

Benar juga! Setelah dibidik melalui lensa kamera, posisi Dimas memang sangat tepat—seakan-akan ia tengah buang air kecil. Kemudian dimulailah salah satu pose foto gila, di mana saya berpura-pura ‘kehujanan’. Beberapa turis yang lewat rupanya agak heran dengan pose aneh saya dan Dimas, kemudian mereka mencoba membidik kami lewat lensa kamera masing-masing. Rupanya saat itulah mereka sadar apa yang sebenarnya tengah coba kami lakukan, dan mereka pun tertawa terbahak-bahak, lalu ikut memotret.

picture-10

Selepas makan siang, kami pun berjalan-jalan berkeliling kota Singapura dengan bis. Kami juga sempat mampir di kompleks Singapore Flyer, yang juga dipenuhi dengan toko-toko kecil yang menjual beragam suvenir. Sayang memang, kami tidak bisa menaiki bianglala Singapore Flyer yang terkenal itu dan memandang kota Singapura dari ketinggian—karena waktu putarannya cukup lama (setengah jam), sedangkan jadwal kami pada hari itu cukup padat.

picture-11

Hujan gerimis turun di Singapura, lalu berubah menjadi hujan lebat begitu kami mencapai Clarke Quay. Kompleks yang dipenuhi dengan toko-toko, restoran, kafe, dan perkantoran itu terletak di tepian Singapore River. Dan kami menuju tempat ini untuk menaiki Bum Boat Ride, perahu kayu yang disewakan untuk para turis sehingga mereka dapat mengarungi Singapore River dan melihat-lihat pemandangan kota yang terhampar di sepanjang tepiannya.

Hujan tak menghalangi kami untuk bersenang-senang dan menikmati kota Singapura dari atas perahu dengan jendela terbuka yang mengalun pelan di atas Singapore River–melewati Boat Quay, Clarke Quay, Esplanade, dan Merlion Park. Saya pun membayangkan betapa menyenangkannya jika Jakarta memiliki sungai yang bersih dan bisa diarungi seperti ini, di mana kita bisa melihat pemandangan kota tanpa harus menutup hidung karena bau sampah yang menusuk.

Ketika hujan sudah sedikit mereda, kami pun menuju geladak belakang dan berfoto-foto di udara terbuka, dilatari gedung-gedung yang kami lewati sepanjang sungai.

picture-121

picture-13

Hujan kembali turun ketika perahu kami kembali merapat di Clarke Quay. Meski tidak membawa payung, kami merasa nyaman-nyaman saja berjalan di bawah guyuran hujan menuju ke bis. Baru saya sadari betapa nyamannya kota Singapura ini di kala hujan. Ya, tidak ada debu dan asap dan polusi yang membuat air hujan terasa ‘kotor’. Tidak ada pula genangan air penuh tanah, becek, atau luapan sampah berbau busuk yang tumpah-ruah dari dalam selokan ke atas trotoar.

Saya, si pecinta hujan ini pun, menengadahkan kepala ke langit dan menikmati curahan hujan seraya berjalan kaki dengan ringan dan penuh suka-cita.

Dari Clarke Quay, kami menuju Chinatown—singgah di hotel kami tercinta untuk mandi dan menyegarkan diri. Sebagai pemenang kontes, saya ternyata mendapatkan satu kamar untuk sendiri, di kamar 204. Hal pertama yang saya lakukan begitu tiba di kamar adalah: foto-foto! Ya, saya mengagumi kamar saya yang cantik dan sangat tidak biasa. Bagaimana tidak? Ranjang yang besar dengan kombinasi warna coklat dan biru muda, juga wastafel yang terletak di luar (bukan di dalam kamar mandi).

picture-4

picture-5

picture-6

Begitu selesai mengambil foto-foto, saya pun bergegas mandi dan berganti pakaian. Kami hanya diberikan waktu sekitar 40 menit untuk menyegarkan diri, karena harus menempuh perjalanan yang cukup jauh menuju lokasi makan malam di Ulu Ulu Safari Night Park. Saat itu sudah pukul setengah 7 malam—sedangkan kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam lagi untuk sampai ke Mandai Lake Road, lokasi di mana taman safari malam itu terletak.

Malam itulah (pukul setengah 7 masih cukup terang di Singapura, seperti pukul 5 sore), Chika dan Nia turun agak terlambat ke lobi. Pasalnya? Chika ternyata benar-benar sakaw bandwidth karena tak sempat online seharian, dan sempat mimisan.

“Wah, kalau di film-film Jepang, biasanya cowok mimisan kalau melihat cewek cantik,” saya menyeletuk.

Dan tiba-tiba Chika menjawab,”Iya, tadi gue terlalu lama memandangi cermin…”

Perlu waktu beberapa lama bagi seluruh anggota rombongan untuk menyadari perkataan Chika tadi, sebelum kami semua shock dan berseru: “IYUUUUHHH!”

😀

Dalam perjalanan menuju Ulu Ulu Safari Night Park, kami sempat beristirahat dan tidur-tidur ayam sejenak. Jalanan macet. Rupanya beginilah kondisi jalanan di Singapura setiap Jumat malam. Sama seperti di Jakarta. Jalanan tiba-tiba saja padat.

Akhirnya kami sampai di tujuan sekitar pukul 8 malam, dan langsung menyantap hidangan buffet yang tersedia. Saya ingat berhasil menghabiskan entah berapa potong gurita di meja sushi—yang teramat lezat. Belum lagi es krim vanilla yang tersedia di meja sebelahnya, 3 scoop es krim tersebut langsung berpindah dari wadahnya ke mangkuk saya, lalu ke perut saya. Nyam!

picture-14

Sekitar pukul setengah sepuluh malam, kami pun keluar dari restoran Ulu Ulu dan hendak memulai petualangan safari malam kami di Night Zoo. Sebelumnya, saya pergi ke toilet terlebih dahulu—yang dikelilingi daun-daun di sekelilingnya, sehingga memberi kesan bahwa toilet ini berada di alam terbuka.

Begitu masuk ke bilik toilet, saya terlonjak kaget karena tiba-tiba terdengar suara auman singa. Jantung saya berdegup kencang, apakah saya mendengar suara-suara yang tidak ada? Ataukah itu tadi benar-benar auman singa? Sedekat itukah kandang singa dengan toilet?!!

Tak lama kemudian, saya kembali mendengar auman yang lebih keras. Disusul bunyi ‘terompet’ gajah. Suara monyet-monyet yang nyaring. Menatap ke langit-langit, saya baru sadar bahwa semua itu bunyi-bunyian binatang dari speaker yang sengaja disetel di dalam toilet.

Uh. Menakut-nakuti saja! 🙂

Night Safari sendiri menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan. Kami naik ke sebuah trem, yang sisi-sisinya terbuka, seperti mobil golf panjang. Trem ini berjalan di sebuah rel, mengelilingi lokasi Night Safari. Sungguh, rasanya seperti berada di dalam film Jurassic Park!

Awalnya, kami agak takut-takut untuk duduk di pinggir, ya, karena memang tidak ada pintu yang membatasi kami dari jalanan yang kami lewati. Bagaimana jika tiba-tiba saja ada macan yang iseng hendak menjengukkan kepala ke dalam trem kami?

Namun kegelisahan kami ternyata tak beralasan. Bodohnya! Hehehe, tentu saja pengelola Night Safari sudah memperhitungkan faktor keamanan. Meskipun hewan-hewan buas nampaknya berada di tempat terbuka, sesungguhnya mereka dikelilingi pagar yang ‘tidak kelihatan’. Ya, karena pagar ini letaknya lebih rendah, dan ditutupi dengan tanaman rambat—sehingga nampak seperti semak-semak belaka.

Hewan-hewan buas berada di bebatuan yang lebih tinggi dari pagar pembatas, sehingga kelihatannya mereka bisa sewaktu-waktu  melompat keluar. Padahal, jika dilihat lebih jeli, terdapat jarak antara bebatuan tinggi dengan pagar pembatas, sehingga tercipta sebuah ceruk curam di antaranya, yang menghalangi hewan dari dalam melompat keluar.

Tetapi efek yang ditimbulkan memang luar biasa. Kami benar-benar merasa seperti tengah berada di dalam hutan tropis. Saya berikan pujian luar biasa kepada siapapun yang telah merancang keseluruhan konsep dan lansekap Night Safari ini!!! Keren! Inilah pengalaman paling mengesankan saya di Singapura. Sayang kami tidak bisa mengambil foto-foto yang bagus di atas trem, karena kami dilarang untuk memotret menggunakan lampu kilat (blitz). Hal ini dikarenakan hewan-hewan tersebut sangat peka terhadap cahaya.

Setelah berkeliling dengan trem dan melihat hewan-hewan eksotis mulai dari landak, hyena, babi rusa, hingga antelope, kami pun turun dan memilih untuk berkeliling dengan berjalan kaki. Ya, di Night Safari tersedia juga walking trail, di mana kita bisa menyusuri kandang-kandang hewan dari sisi sebaliknya—dan di sini kita melihat hewan-hewan tersebut dari balik dinding kaca. Meskipun demikian di sekitar kita tetaplah lansekap terbuka dengan pohon-pohon besar. Langit malam yang dipenuhi bintang dan suara-suara alam membuat suasana menjadi lebih… romantis!

Oh ya, meski kami sangat terkesan dengan Night Safari, Mr. Basir—tour guide kami yang funky itu, ternyata lebih terkesan dengan Taman Safari kita. Mengapa? Ternyata karena di Taman Safari Indonesia, ia bisa berfoto dengan harimau putih yang bersandar di pangkuannya. “Di Indonesia hebat, bisa ada pawangnya, binatang buas pun bisa diajak berfoto bersama pengunjung. Kalau di Singapura sini, tidak ada pawang semacam itu,” katanya.

Wah, bangga juga kita sebagai orang Indonesia, ya! Hidup pawang! 🙂 (bukan cuma pawang binatang buas, di sini sih pawang hujan juga ada, ya?)

Sudah hampir pukul setengah sebelas malam ketika kami kembali ke bis dan berkendara menuju Chinatown untuk kembali ke hotel. Ah, sebelumnya, kami mampir dulu di 7-Eleven, yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari The Scarlet Hotel. Untuk apa? Membeli kartu telepon!

7-Eleven ini ramai sekali dikunjungi para pembeli, meski saat itu sudah hampir pukul setengah dua belas malam. Rupanya, di sekitar Chinatown, terdapat area Club Street yang penuh dengan klub dan kafe-kafe, yang ramai hingga dini hari. Jelas saja 7-Eleven ini selalu saja penuh dengan pembeli, sehingga kami pun harus menunggu cukup lama selagi si empunya toko mendaftarkan nomor GSM kami yang baru sambil mencocokkan data-data dengan paspor.

Menunggu hampir sekitar satu jam, kami pun sudah berbelanja berbagai minuman dan cokelat, lalu melihat-lihat mesin-mesin penjual camilan otomatis di sana. Untuk mengusir bosan, Hawe dan Chika pun sepakat untuk membeli mashed potato dari mesin otomatis. Dengan memasukkan uang 1 dolar, kita bisa mendapatkan mashed potato dengan saos barbecue. Di sinilah saya menyerahkan uang logam 1 dolar kepada Hawe, hasil kalah taruhan karena Hawe berhasil menemukan lokasi The Scarlet di peta.

picture-161

Kembali bosan setelah mencoba mesin camilan otomatis, kami pun mengambil foto ‘anak tiri’. Kebetulan, di dekat pintu masuk 7-Eleven ada sebatang sapu menganggur. Saya pun mengambil sapu itu dan ‘menyapu’ Dimas yang duduk di anak tangga.

picture-15

Setelah puas berfoto, tiba-tiba kami tertegun. Speaker di 7-Eleven melantunkan sebuah lagu yang tidak asing! Lho, ya ampun, itu kan lagu ST12! Saya sendiri tidak hafal apa judul lagunya, tetapi kami dengan bersemangat tertawa-tawa dan berkata,”Ya ampun, lagu ST12 diputar di Singapura!”

Lewat tengah malam, setelah mendapatkan kartu GSM Singapura, kami kembali ke hotel. Bukannya langsung menuju kamar masing-masing, kami berkumpul di kamar para lelaki, Dimas dan Hawe, yang memang terletak di lantai dasar. Untuk apa? Apalagi kalau bukan untuk online, mengecek Facebook, milis, dan Plurk, lalu… foto-foto?

picture-171

picture-181

picture-191

picture-20

Agak sulit dipercaya bahwa kami memang terus berfoto di kamar sambil tertawa-tawa histeris hingga pukul 2 dini hari, sebelum akhirnya menuju kamar masing-masing untuk tidur. Masih akan ada hari baru menunggu. Besok. Hari Sabtu.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Akhirnya, pesawat yang kami tumpangi mendarat di Changi Airport.

Hal pertama yang kami lakukan begitu keluar dari pesawat adalah foto-foto. Saking asyiknya foto-foto, jaring-jaring tas Dimas tersangkut dengan tali tas seorang perempuan–orang Indonesia juga. Maka mereka saling tarik-menarik sebentar sebelum akhirnya saling mendekatkan diri untuk melepaskan “jeratan” cinta.

Teman Mbak yang tersangkut itu kemudian nyeletuk:

“Jodoh, mungkin!”

Hihihi. Ehem. Sayang momen jeratan cinta ini luput dari jepretan kamera karena kami terlalu sibuk tertawa. Jadi tak mengapa jika cerita yang ini kemudian dianggap hoax.

picture-19
mbak-mbak yang berjaga di konter UOB di Changi Airport tertawa terkikik-kikik melihat Dimas berpose seperti di atas. mereka berusaha menahan tawa, padahal sebetulnya tak apa tertawa. Dimas sudah biasa ditertawakan ketika tengah berpose 😀 hehehe

Setelah mampir ke money changer untuk menukarkan uang yang tak jadi melayang untuk membayar fiskal, kami pun keluar dari bandara, mencari-cari penjemput kami. Kabarnya, kami akan dijemput oleh tour guide yang disediakan oleh Singapore Tourism Board (STB), namanya Mr. Basir. Setelah celingukan, kami pun terdampar di bandara, dan saya memberikan nomor telepon Mr. Basir kepada Nia–yang kemudian meneleponnya untuk menanyakan di manakah gerangan ia berada.

Ternyata Mr. Basir berdiri di depan kami, dengan topi koboi-nya, hanya saja kami tidak bisa melihat tulisan nama yang tertera di amplop putih yang dipegangnya.

😀

Maka, bersama Mr. Basir, kami naik ke atas bis besar yang disediakan STB. Padahal kami hanya berlima, lho! Tetapi bis yang lega membuat kami bisa duduk sendiri-sendiri, di dekat jendela.

picture-24

Kami  pun melaju menuju The Scarlet, hotel yang akan menjadi tempat penginapan kami di Singapura. Menurut Mr. Basir, The Scarlet ini adalah hotel kepunyaan orang Indonesia. Konsepnya boutique hotel, terletak di Erskine Road, di daerah Chinatown. Kamarnya didesain dengan nuansa berbeda-beda. Kabarnya, dahulu The Scarlet ini adalah sebuah rumah, yang kemudian disulap menjadi hotel.

picture-27

Mr. Basir (yang fasih berbahasa Indonesia karena kedua orang tuanya berasal dari Jawa, namun kini telah menjadi warga negara Singapura), juga menceritakan bahwa orang-orang terkaya di Singapura sebenarnya adalah orang-orang Indonesia. Bahkan pemilik hotel-hotel termewah di Singapura pun orang yang sama, orang Indonesia yang juga memiliki jaringan bank terkenal…

“Orang Indonesia itu kaya-kaya, bayangkan saja, turis terbesar Singapura adalah orang Indonesia. Banyak di antara mereka datang untuk berbelanja, dan kalau menginap pun mereka menginap di hotel-hotel bagus di sekitar Orchard. Banyak juga yang datang untuk berobat. Rata-rata rumah sakit di Singapura, pasti punya staff yang bisa berbahasa Indonesia, karena memang pasiennya kebanyakan dari Indonesia,” kata Mr. Basir, sembari menunjukkan kepada kami lokasi sebuah grand casino yang akan segera dibangun di Singapura. “Nah, kasino ini nantinya sepertinya juga akan banyak dikunjungi orang-orang Indonesia.”

Ketika bis memasuki Chinatown yang jalan-jalannya sempit, namun bersih dan tertata rapi, kami pun menikmati pemandangan gedung-gedung cantik di kanan-kiri jalan. Tak lama kemudian, kami berhenti di depan The Scarlet yang cantik, terletak di ujung jalan. Karena kami tiba lebih cepat dan belum dapat masuk ke kamar, maka kami hanya check-in sebentar, sebelum berangkat lagi.

Walau demikian, kami sempat berfoto di lobi-nya yang megah 🙂

picture-21

picture-22

Dari hotel, kami langsung menuju Orchard Road–yang terkenal itu. Para lelaki bersama Mr. Basir hendak menunaikan sholat Jumat, jadi kami para perempuan dilepas di Orchard Road untuk berbelanja sebentar, sebelum berkumpul lagi pada sekitar pukul setengah 2 siang.

Dimas sudah hampir merajuk karena membayangkan dirinya akan ditinggal dalam perjalanan menyusuri Orchard–ya, karena di jadwal yang diberikan oleh STB memang tak ada jadwal mengunjungi Orchard Road. Padahal, menurut Dimas, tidak sah rasanya ke Singapura jika belum menjejakkan kaki dan berfoto di bawah plang jalan di Orchard Road. Tetapi Dimas tetap taat menjalankan ibadah dan tahan terhadap godaan…

Begitu dilepas di Orchard Road, saya, Nia, dan Chika, langsung berjalan-jalan menuju Lucky Plaza. Di sini kami memborong benda-benda yang dijual SIN $ 10 untuk 3 barang. Salah satunya, kami membeli Sisterhood Ring, cincin dengan model yang sama, sebagai pengingat perjalanan kami di Singapura…

picture-26

Kami tak lama berada di Orchard Road, karena sudah kembali ditunggu oleh Mr. Basir dan para lelaki di bis. Berikutnya, menurut jadwal, kami akan makan siang–menyantap seafood bersama Kendra Wong, staff STB di Singapura. Lapar! Maka, naiklah kami ke atas bis.

Sepanjang perjalanan, Chika terus terisak karena tak dapat nge-Plurk. Maklum, kami belum membeli SIM Card Singapura. Saya hanya dapat berharap dan berdoa, semoga sakaw bandwidth Chika akan sedikit terobati dengan menyantap hidangan laut. Karena untuk orang seperti Chika, yang selalu membawa laptop dan daring* di mana pun ia berada, saya mengerti betapa beratnya penderitaan yang mesti ditanggung Chika kala itu…

next: CHIKA betulan sakit gara-gara sakaw bandwidth? Dimas ditertawai turis-turis ketika sedang foto-foto di Merlion? Tunggu lanjutan ceritanya, ya!

(bersambung)

*daring = dalam jaringan / online. kering = keluar jaringan / offline. kering adalah istilah yang kami buat sendiri di atas bis.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dengan tiket dan jadwal perjalanan ke Singapura di tangan (walau masih tak percaya karena menang kontes), saya pun melingkari tanggal di kalender. Ya, tanggal 6-8 Februari, saya akan berada di Singapura bersama kawan-kawan saya untuk menikmati liburan gila kami.

picture-12

Pesawat yang kami tumpangi adalah Sriwijaya Air, yang akan berangkat pukul 9:20. Maka kami sudah bersiap-siap untuk bertemu di bandara sekitar pukul 7 pagi. Oh ya, penerbangan Sriwijaya Air dengan rute Jakarta-Singapura ini sudah dibuka pada Desember lalu. Harganya? Kalau tidak salah sekitar US$150-160, sudah termasuk pajak.

Pagi itu, sekitar pukul setengah 7, saya sudah tiba di bandara dan langsung mencari Dimas di KFC. Dimas sudah duduk manis di sana dengan latop terbuka di atas meja. Rupanya Dimas sudah berada di sana sejak pukul setengah 6 pagi, dan sudah menghabiskan sarapan KFC-nya. Tak lama kemudian, Hawe datang dengan wajah sedikit tegang.

Ya, bukannya apa-apa, beberapa hari sebelum keberangkatan, baik Dimas maupun Hawe memang sudah berniat mengurus NPWP alias Nomor Pokok Wajib Pajak. Karena mulai tahun 2009, bagi mereka yang telah memiliki NPWP akan dibebaskan dari kewajiban membayar fiskal jika hendak pergi ke luar negeri. Dulu biaya fiskal ini adalah 1 juta rupiah, namun kini bagi yang tak memiliki NPWP, biayanya memuncak menjadi 2.5 juta rupiah.

Malam sebelumnya, Hawe sudah ketar-ketir, karena mendengar isu bahwa hanya mereka yang sudah mengurus NPWP sebulan sebelum tanggal keberangkatan-lah yang bisa dibebaskan dari kewajiban membayar fiskal. Dimas pun nampaknya sudah mendengar desas-desus serupa, sehingga kedua lelaki itu sempat nampak gundah. Yah, 2.5 juta rupiah memang bukan jumlah yang sedikit.

“Tapi tak apalah, hitung-hitung biaya liburan,” ujar Hawe, walau saya tahu ia tetap tidak rela 😀

Sambil menunggu kedatangan Chika dan Nia, kami pun melihat-lihat buku panduan yang diberikan oleh Singapore Tourism Board (STB). Di bagian belakangnya terdapat peta Singapura.

“Ayo, cari hotel kita! Apa namanya? The Scarlet, ya? Di Erskine Road?” ujar saya sembari mulai menelusuri garis-garis berwarna-warni di atas peta. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Nyaris setengah jam berlalu, dan The Scarlet masih belum bisa ditemui di atas peta.

“Kok nggak ada, ya?” Hawe merutuk.

“Mungkin ini peta tahun berapa, gitu…” ujar Dimas yang masih sibuk dengan laptopnya.

Saya pun menyerah, menutup peta, kemudian menantang Hawe. “Ayo, kalo lo bisa nemuin hotel kita itu, gue kasih 1 dolar!”

“Bener, ya?” Hawe pun membuka kembali petanya dan menelusuri garis-garisnya selama sekitar… 10 detik, sebelum berkata,”Nah, ini dia The Scarlet!”

Oh, selamat tinggal, 1 dolar 🙁

Sekitar pukul 7:15, Chika menampakkan batang hidungnya. Maka rombongan kami pun lengkap, kecuali Nia. Saya pun mengirimkan SMS kepadanya, bertanya (untuk yang ketiga kalinya), sudah berada di manakah dia saat itu. SMS balasan yang saya terima mengerikan: “Udah, deh. Jangan ngerecokin gue dulu. Kalo telat gue ditinggal aja. Ini gue lagi menuju ke bandara, tapi taksi gue gila. Nanti gue cerita.”

Hiii. Dan saya pun berhenti mengirim SMS dan bertanya di mana Nia berada 😀

Ternyata, ada kisah mengerikan, mengharukan, sekaligus menggelikan dari tragedi perjalanan Nia menuju bandara pagi itu. Seperti apa ceritanya? Ah, saya pikir lebih baik Nia saja yang bercerita di blog sebelah.

Maka, saya, Chika, Dimas, dan Hawe pun sepakat untuk check-in duluan dan (sesuai perintah) tidak menunggu hingga Nia datang. Setelah mengecek tiket, dengan berdebar, kami pun berjalan menuju pos pengurusan fiskal, dan mengumpulkan keempat kartu NPWP kami untuk diserahkan kepada petugas.

Dimas dan Hawe sudah harap-harap cemas. Mereka sudah menyiapkan berbagai skenario jawaban jika ditanya perihal kartu NPWP mereka yang belum ada satu bulan. Mulai dari “tidak tahu” sampai “tidak membawa uang”. Kartu-kartu NPWP dan paspor kami kini sudah berada di tangan petugas. Semenit. Dua menit.

Tidak sampai lima menit kemudian, petugas menyerahkan SEMUA kartu dan paspor kepada kami, disertai cap bebas fiskal. Sudah. Selesai. Pengurusan fiskal selesai. Tanpa ada pertanyaan, pemeriksaan, atau keharusan mengisi formulir. Mudah, cepat, dan singkat.

Berjingkat-jingkat beberapa langkah dari pos pembayaran fiskal, barulah kami berteriak lega sambil tertawa-tawa. “Udah? Gitu doang? Bebas fiskal?”

Tapi Hawe masih enggan bersenang-senang. “Ini belum. Mungkin nanti masih bisa dikejar di imigrasi, siapa tahu mereka baru nge-cek, kartu yang ini belum satu bulan. Lalu diberhentikan di imigrasi. Jangan senang dulu.”

Dimas yang sudah tersenyum-senyum pun kembali tegang ketika kami berjalan menuju pos imigrasi.

Di bagian imigrasi, kami pun duduk-duduk di lantai sambil mengisi formulir imigrasi. Tidak lupa, seraya foto-foto. Dan saat inilah Nia datang dengan wajah aneh, antara mau tertawa dan marah. Lalu ikut mendamparkan diri di lantai bandara bersama kami, dan berkisah mengenai tragedi paginya di dalam taksi. Mendengarkan cerita Nia, kami pun terbengong-bengong dan tertawa ngakak, kemudian lanjut menimpali dengan obrolan ramai.

Kira-kira 40 menit kemudian, ketika antrian di bagian imigrasi mulai surut, kami pun mengantri di sana. Petugas yang melayani kami, perempuan, yang mungkin melihat kami duduk-duduk sambil mengobrol riuh, kemudian berkata,”Nggak sekalian ngopi-ngopi aja tuh, tadi?”

“Wah, kalau bisa ngopi-ngopi sih mungkin lanjut  ngopi, Mbak,” saya menimpali pelan sambil tertawa.

Lolos dari bagian imigrasi ini, Chika pun berbisik kepada saya,”Itu Mbak-nya sebenarnya sarkastis atau memang mau melucu, ya?”

“Ah, anggap saja memang mau melucu, Chik…” ujar saya 🙂

Akhirnya kami berlima pun berjalan menuju gerbang keberangkatan, dengan Dimas dan Hawe yang masih menengok-nengok ke belakang, khawatir kalau-kalau petugas di loket fiskal masih mengejar mereka hingga ke titik keberangkatan. Paranoid, sungguh!

Begitu sudah naik ke atas pesawat, dengan jadwal keberangkatan yang tepat waktu, dan pesawat lepas landas, barulah kedua lelaki itu agak tenang. Aksi belanja-belanja pertama pun sudah terjadi di atas pesawat, bahkan sebelum kami sampai di Singapura. Adalah Dimas, yang membeli portable charger yang ditawarkan oleh Sriwijaya Air.

Meski demikian, kami tetap menakut-nakuti Dimas dan Hawe, mengatakan jangan-jangan petugas fiskal telah menunggu di Changi Airport, Singapura, untuk memberitahukan bahwa mereka tetap harus membayar fiskal karena NPWP-nya belum berumur satu bulan.

(bersambung)

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Saya tidak pernah merasa menjadi orang yang beruntung—terutama jika dikaitkan dengan acara undian atau doorprize.

Pengalaman mengajarkan bahwa saya tak perlu takut pulang duluan sebelum acara usai, tanpa harus menunggu doorprize. Toh, saya memang tidak pernah memenangkan sesuatu yang lebih dari sekadar buku catatan, mug, atau kaos. Itu pun frekuensinya sangat jarang dan bisa dihitung dengan jari.

Ya, bayangkan, seumur hidup saya, tak lebih dari 7 kali saya memenangkan doorprize atau undian. Tentu, ini ironis sekali jika dibandingkan dengan Pitra yang kabarnya sering sekali memenangkan doorprize, bahkan di acara yang digagasnya sendiri.

Karena itulah, saya benar-benar terkejut ketika mendapatkan sebuah email dari Singapore Tourism Board, yang menyatakan bahwa saya terpilih menjadi pemenang Wacky Weekend Contest. Hadiahnya? Menghabiskan akhir pekan di Singapura dengan seluruh biaya ditanggung Singapore Tourism Board. Dan gilanya lagi, saya diijinkan untuk mengajak 4 orang teman ikut serta dalam liburan akhir pekan ini!

Begitu mendapatkan email ini, saya sempat ragu sejenak. Takut jika-jika ini tipuan. Saya lihat kembali alamat si pengirim email. Ah, alamat emailnya di @stb.gov.sg. Bukan email Yahoo! atau Gmail. Nampaknya bukan tipuan. Inilah kewaspadaan (atau skeptisisme?) orang yang tinggal di Indonesia dan sudah lelah menerima email atau SMS menang undian.

Waktu saya katakan pada salah seorang sahabat saya bahwa saya memenangkan kontes ini, hal pertama yang dia tanyakan adalah: “Lo yakin, itu beneran? Bukan orang iseng?” 😀

Ah, nyatanya, saya benar-benar memenangkan kontes itu!

Setelah yakin benar saya tidak tertipu, berikutnya saya kembali sakit kepala memikirkan siapa saja 4 orang kawan yang dapat saya ajak ke Singapura, melewati liburan gila bersama saya. Nama-nama dan wajah-wajah berkelebatan (hiperbola), tetapi akhirnya ada 4 nama yang muncul. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak membantu saya melewati tahun 2008 🙂

Dimas Novriandi, yang bahu-membahu saling menguatkan bersama saya hingga dini hari kala mempersiapkan Pesta Blogger 2008, ketika kelopak mata sudah hampir terpejam sementara masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kantuk yang tidak hilang berhari-hari—euh, seminggu, tepatnya. Dimas, yang membuat stress saya hilang dengan kelakuannya yang aneh …

Chika Nadya, yang sebetulnya baru mulai saya kenal pada persiapan acara Pesta Blogger 2008, tetapi kami lantas menjadi begitu dekat. Chika, yang sabar mendengarkan semua unek-unek saya dan menghibur saya di kala saya membombardirnya dengan telepon dan SMS pada suatu sore yang menggila dan depresif dengan mata bengkak.

Hawe, yang awalnya sebatas saya kenal karena ia adalah wartawan dan saya adalah seorang humas. Tetapi manusia platonis itu selama beberapa tahun terakhir telah menjadi teman baik untuk mengobrolkan hal-hal aneh (baca: cinta yang tak pernah ada atau membahas premis “Nothing is everything“) over a cup of poci tea and coffee untuk saling merekomendasikan buku-buku terbaru, dan memperbincangkan tulisan serta cerita-cerita pendek yang tidak pernah selesai.

Nia, yang membantu saya si melankolis ini tetap seimbang. Karena Nia, si pemikir praktis itu, selalu bisa membuat saya menertawakan melankoli dan menjadi biasa-biasa kembali. Dia juga yang memulai gerakan Coin A Chance! bersama saya, orang pertama yang langsung menyambut ide mengumpulkan koin ini dengan aksi nyata.

picture-18

Am so blessed to have you around, guys! (cozy) 😀

Jadilah pada suatu sore di hari Jumat, saya secara resmi mampir ke kantor Singapore Tourism Board (STB) untuk menerima tiket-tiket pesawat dan jadwal acara jalan-jalan di Singapura untuk tanggal 6-8 Februari 2009. Dan sempat berfoto-foto bersama teman-teman di sana: Farhana, Dewi Astuti, Siska, dan Abdul Rahman bin Mohideen. Juga bersama maskot orang utan bernama Ameng 🙂

picture-16

Yang lebih gila lagi, saya tercengang melihat nama Nila Tanzil tertulis di dalam jadwal sebagai anggota rombongan. “Ya, Nila itu blogger yang kami minta untuk meliput acara jalan-jalan kalian di Singapura,” jelas Siska dari STB. Nah, lho! What a coincidence! Karena Nila adalah sahabat baik saya–yang apartemennya biasa saya inapi jika tengah main ke Singapura (gratisan, gratisan, hehehe).

Pada perjalanan pulang dari STB, menggenggam sekantong tiket, brosur, dan jadwal perjalanan, saya menemukan hujan deras telah turun di luar. Dengan angin kencang yang membuat ranting-ranting pohon berserakan di sepanjang trotoar. Jalanan macet total.

Kebetulan, setelah serangkaian pesan SMS, saya mengetahui bahwa Nia tengah melewati depan gedung STB dengan sebuah taksi. Saya pun mengeluarkan payung dan berlari menuju trotoar, hendak mencegat taksi yang tengah ditumpangi Nia. Hujan deras dan angin kencang membuat saya mati-matian memegangi payung saya agar tidak terbang.

Sia-sia.

Dalam beberapa detik, payung saya terbalik, melayang di udara sebentar sebelum bisa saya tangkap kembali. Deras hujan mengguyur membasahi tubuh saya. Yak, di sanalah dia, seorang perempuan dengan kantong di tangan dan payung terbalik diterbangkan hujan. Basah kuyup di pinggir trotoar, memanyunkan bibir pada kemacetan… tetapi tak mengapa. Perempuan itu selalu suka hujan 🙂

Dan lagi, sebentar lagi ia akan menikmati liburan!!!

(bersambung)

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

— sneak preview —

Tiga hari kemarin, saya bersama Chika, Nia, Dimas, dan Hawe berlibur ke suatu tempat. Berhubung begitu masuk kantor saya dicecar dengan serentetan pekerjaan, maka saya putuskan untuk memasang satu foto yang sukses membuat saya terpingkal-pingkal baik saat mengambil foto sampai ketika memperlihatkan pada teman-teman. Saya belum sempat menulis postingan tentang liburan kemarin.

Gila! Liburan kemarin benar-benar gila! Foto ini diambil dengan menggunakan kamera BlackBerry-nya Nia, dengan setting-an entahlah. Yang penting kami semua mengambil foto-foto gila selama perjalanan. Laporan perjalanan akan saya tulis setelah saya bisa bernafas lega.

Selamat menikmati foto 😀

Ratapan anak tiri, foto diambil di 7-Eleven Chinatown
Ratapan anak tiri, foto diambil di 7-Eleven Chinatown

Disclaimer: isi posting ini dikopipas langsung dari postingan Chika, tapi fotonya beda 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP