>> click here for a reply to #DearBangkok (1): a postcard to remember
Dear Dimas,
Minggu malam di Waterfront Esplanade. Lampu-lampu kota menyala seperti ribuan kunang-kunang. Kita dulu pernah berjalan-jalan di sekitaran sini, berlarian, tertawa, dan menjepretkan kamera.
Jadi, ketika aku menengadah memandangi langit Singapura yang berawan malam itu, aku teringat kamu. Tentang cerita-cerita dan keriaan yang pernah kita bagi di sini. Malam itu angin bertiup kencang, lebih kencang dari biasa. Aku bisa melihat gumpalan awan berarak menjauh, lekas, tinggi di atas kepalaku. Rasanya seperti berada dalam sebuah adegan time-lapse.
“I can stare at the sky for hours,” aku bergumam.
“I know, right? I just love the sky! Have always loved it since I was a child,” kawanku menyahut. “I’ve always wanted to become an astronaut, but I let go of the dream. In such a young age.”
“What happened?” tanyaku.
Kami duduk-duduk di sana sambil mengunyah keripik kentang dan menyesap Chivas dalam gelas-gelas plastik, dikelilingi turis-turis yang asyik memotret di pinggir jembatan. Beberapa dari mereka berpose dengan batok-batok kelapa muda, berciuman dengan latar belakang Singapore River, mendorong kereta bayi dengan satu tangan. Aku jadi teringat ketika kita berpose di Merlion suatu siang, Dim. Mungkin orang-orang juga memandangi kita, tetapi kita terlalu senang saat itu untuk bisa merisaukan apa yang dipikirkan orang-orang.
***
“My dad knew that I love the sky so much. So one day, when I was 9, he came home with a bunch of books about the sky and the outer space and galaxies,” kawanku melanjutkan. “Sejak saat itu, aku selalu menengadah ke langit, dan aku melihat pesawat-pesawat luar angkasa, roket, all the space-gadgets I saw in the book. Pada suatu kesempatan, di sekolah, guruku bertanya kepada murid-murid tentang cita-cita mereka ketika mereka besar nanti. Aku jawab, aku ingin jadi astronot. Dan guruku hanya menyeringai dan menjawab: that won’t be possible, you can’t be an astronaut here, not in Malaysia.”
“What kind of teacher was that?!!” aku nyaris tidak percaya. “It’s too sad!”
“Exactly! I mean, saying such thing to a 9-year-old! Well, that was when I let go of my dream. And you know what? Bulan Oktober 2007, astronot pertama Malaysia, Dr. Sheikh Muszaphar Shukor, bertolak ke luar angkasa dengan roket Russian Soyuz. I couldn’t stop thinking: it could have been me! If only I hold on to my dream! Dan penyesalan terbesarku bukanlah fakta bahwa aku tidak menjadi astronot, tetapi lebih karena aku telah melepaskan mimpiku itu. Who knows, meskipun aku tidak bisa pergi ke luar angkasa, mungkin aku bisa bekerja di NASA, atau semacamnya, doing things that I love, exploring the sky. And most importantly, at least I know I’ve tried.”
Di situlah aku teringat kamu, Dim. Teringat kita.
We need to hold on to our dreams, no matter what.
Kita akan saling melindungi mimpi kita masing-masing dari terpaan sinisme orang-orang yang seringkali mengerdilkan apa-apa yang mereka anggap tidak realistis. Tetapi realita adalah apa yang ingin kita percayai, Dim. Bukan begitu? Kita masih akan menikmati hujan dan bintang dan langit dan awan dan pasir yang basah oleh jilatan ombak, lalu membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Kita masih akan bahagia mengejar mimpi-mimpi kita tak peduli seberapa lama waktu yang kita butuhkan untuk mencapainya.
We have a lifetime to hold on to our dreams, and most importantly, when things get rough, we have each other to hold on to.
Lain kali, ketika kita duduk-duduk di luar dan memandangi langit yang berawan, kita masih akan tertawa-tawa dan memekik riang melihat bentuk-bentuk lucu itu: bola basket, sapi, kue mangkuk, nenek sihir, kepala kucing—bahkan ketika orang-orang lain yang kebetulan lewat hanya melihat segumpal awan.
Love,
H.