Pukul 8 pagi ketika saya berdiri di depan wastafel, menyikat gigi. Hari Sabtu pagi itu diawali dengan langit sedikit mendung dan sekotak jus jeruk. Sebentar lagi, perjalanan yang padat akan segera dimulai kembali. Setelah berganti pakaian, saya pun naik lift menuju lantai 3, menuju kamar Chika dan Nia.

Seraya menunggu Chika dan Nia bersiap-siap, saya berdiri di depan jendela kamar mereka yang menghadap langsung ke klenteng dan Chinatown. Pemandangan yang menyenangkan!

picture-4

Saya, Chika, dan Nia sama-sama melewatkan sarapan karena lebih memilih untuk memperpanjang waktu tidur daripada memenuhi perut. Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, kami pun bersiap menuju bis yang akan membawa kami berkeliling. Tak lupa, sebelumya berfoto dulu di jalanan yang masih agak lengang.

picture-6

Hari Sabtu ini, seharian, kami akan ditemani oleh Nila—sahabat saya, sekaligus juga blogger yang ditugaskan oleh STB dan Singasik.com untuk meliput perjalanan kami di Singapura. Maka bis kami pun menuju kediaman Nila terlebih dahulu di sebuah daerah yang cukup jauh dari pusat kota. Karena masih mengantuk, kami pun leyeh-leyeh saja di mobil sambil tidur-tidur ayam.

Sekitar 40 menit kemudian, sampailah kami di apartemen Nila, dan Nila pun naik ke dalam bis. Terjadilah reuni kecil di sana, karena Nila, Dimas, dan Nia sama-sama pernah bekerja di kantor yang sama dengan saya; meski dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Nila juga pernah bertemu Dimas dan Chika. Sementara Nila pernah juga bertemu dengan Hawe di beberapa konferensi pers sewaktu Hawe masih bekerja sebagai jurnalis di salah satu majalah marketing & advertising.

Begitu naik ke atas bis, Nila langsung menyerahkan sekaleng uang koin Singapura. “Untuk Coin A Chance!,” katanya. Ah, terima kasih, Nila!

Dari apartemen Nila, kami pun bertolak menuju Malay Heritage Center atau Kampung Jawa. Pusat perhatian yang utama tentunya adalah istana kesultanan Melayu dan masjid yang megah tak jauh dari situ.

picture-10

picture-9

picture-8

Di sepanjang jalan, banyak sekali restoran-restoran kecil yang menjual masakan Melayu serta toko-toko suvenir yang menjual berbagai jenis pakaian, seledang, topi… juga satu toko khusus yang menjual beraneka ragam Teddy Bear!

Dari sini, kami lanjut berjalan-jalan menyusuri Haji Lane. Walau namanya Haji Lane, jangan harap Anda menemukan toko-toko berbau Timur Tengah yang menjual sajadah, mukena, atau tasbih. Sebaliknya, di tempat ini banyak sekali terdapat toko-toko lucu dengan desain unik yang mengingatkan saya pada distro-distro di Bandung atau jajaran toko di Kemang. Ternyata Haji Lane memang merupakan daerah tongkrongan anak-anak kreatif Singapura, baik mereka yang suka desain, skateboarding, atau grafiti. “Pokoknya yang nongkrong di sini hip banget!” begitu kata Nila.

Di Haji Lane inilah kemudian saya banyak mengambil foto-foto dari bangunan-bangunan yang ada, sebagaimana yang sempat saya lakukan sewaktu plesiran menjelajah Bandung Tempo Doeloe beberapa waktu lalu. I do like this place! Sayang pagi itu toko-toko di Haji Lane belum dibuka. Menurut Nila, toko-toko di sini memang baru buka sekitar pukul 2 siang.

picture-11

picture-15

picture-18

picture-21

picture-16

picture-22

Dari Haji Lane kami berjalan lagi menuju Bugis Village, yang kira-kira mendekati Melawai keadaannya. Sepanjang perjalanan, karena kami melewatkan sarapan, kami juga membeli berbagai kudapan (lumpia, bakso goreng, dan semacam otak-otak) dan minuman. Di lantai dasar Bugis Village banyak sekali kaos-kaos suvenir yang dijual dengan harga cukup murah, rata-rata seharga SIN $ 10-20 untuk sekitar 3,4, atau 5 buah kaos—tergantung pada bahan dan model kaosnya. Sementara di tingkat atas, terdapat berbagai toko yang menjual pakaian dan juga tas-tas, sepatu, atau aksesori.

Di sinilah kami berpencar cepat dan sibuk berbelanja. Bahkan Dimas sempat tersesat karena terpencar terlalu jauh dari rombongan. Tentunya, di sini kami banyak membeli berbagai oleh-oleh seperti kaos, magnet kulkas, atau pin. Dan ini jugalah yang sempat dikomentari oleh tour guide kami Mr. Basir.

“Orang Indonesia itu memang kaya-kaya,” seloroh beliau. “Lihat saja, setiap bepergian yang duluan dicari adalah oleh-oleh buat orang lain, bukan untuk diri sendiri.”

Aha! Perkataan itu sempat membuat saya berpikir. Benar juga, ya? Mengapa sebagai orang Indonesia (ataukah di negara lain juga demikian) kita merasa berkewajiban untuk membawakan oleh-oleh bagi orang lain ketika bepergian? Dan mengapakah kita juga merasa berhak meminta oleh-oleh dari orang yang pulang bepergian?

Saya jadi teringat kepada para jamaah haji yang juga tak kalah sibuk berbelanja membelikan oleh-oleh bagi sanak-saudara dan handai-taulan mereka, sampai-sampai ada toko-toko di dalam negeri yang sengaja menjual oleh-oleh Haji semacam tasbih atau mukena, sajadah, atau kurma yang diimpor dari Saudi, saking melegendanya kebiasan membeli ‘oleh-oleh’ ini.

Selepas dari Bugis Village, kami pergi untuk makan siang di restoran India bernama PotPourri. Hidangan lezat yang keluar berturut-turut sebenarnya lezat sekali (terutama Naan-nya—alias roti tipis semacam roti pita yang biasa dicelupkan ke dalam kari). Namun sayangnya, karena kami sibuk mengudap berbagai cemilan di Bugis Village, kami sudah sangat kenyang, sehingga tak bisa makan dengan rakus.

Di akhir ‘jamuan makan siang’ itu, kami pun mendapatkan dessert semacam Chocolate Mousse yang luar biasa lezatnya! Kami pun diberi tahu bahwa hidangan pencuci mulut ini belum diberi nama karena baru saja diciptakan oleh restoran tersebut, dan kami adalah pencicip pertama dessert ini! Yaaay! Mungkin nantinya hidangan itu akan diberi nama Wacky Weekend Chocolate untuk menghormati kedatangan kami? Hihihi *narsis*!

Dari PotPourri, kami pun beranjak menuju daerah Tanjung Pagar untuk pergi ke Chocolate Gallery. Ya, sebenarnya toko cokelat ini tak ada dalam jadwal kami, tapi memang sangat menyenangkan karena dalam perjalanan Wacky Weekend bersama STB ini kami boleh mengusulkan akan pergi ke mana, atau ingin mengunjungi tempat apa—meski tempat tersebut tidak ada di dalam jadwal. Dengan fleksibilitas semacam ini, otomatis keinginan dari masing-masing peserta bisa terpenuhi. Chocolate Gallery ini sendiri merupakan permintaan Chika dan Hawe, yang memang ingin mencari oleh-oleh cokelat.

Begitu tiba di Chocolate Gallery, kami langsung disuguhi minuman berupa cokelat dingin! Nyam!

picture-23

Dan di tempat ini, Anda bisa langsung kenyang melahap cokelat, karena penjaga toko berkeliaran dengan sampel cokelat di dalam wadah, siap menawari Anda untuk mencoba berbagai rasa cokelat. Di sini memang ada cokelat yang biasa seperti cokelat almond, atau mint, atau rum, tapi ada juga cokelat rasa buah seperti cokelat mangga atau cokelat durian! Nah, kalau ingin tahu seperti apa rasanya, Anda tinggal icip-icip saja sampel cokelat yang disodorkan tanpa henti oleh penjaga toko. Walau saat itu kami sudah sangat kenyang, tapi kami tak tega menolak potongan-potongan cokelat yang disodorkan, “It’s okay, just try it, come on, only a small piece of chocolate, try it, this is nice…

😀

picture-25

Puas berbelanja cokelat, saatnya bertolak ke Orchard Road! Ya, meski tak ada jadwal berbelanja di Orchard, seperti sudah dikatakan tadi, jadwal sangat fleksibel, dan Mr. Basir sebagai tour guide sangat akomodatif. Mengingat Dimas dan Hawe mati-matian ingin ke Orchard, maka jadilah Orchard tujuan selanjutnya.

Saya kebetulan tak ikut jalan-jalan di Orchard karena janjian bertemu dengan teman saya di Borders—toko buku besar yang terletak di dekat Wheelock Place & Orchard. Jadi ketika bis berhenti di sana, saya turun dan menjumpai kawan saya di kafe outdoor di depan Borders untuk  ngopi-ngopi, sementara kawan-kawan yang lain berjalan menyusuri Orchard untuk berbelanja hingga mendekati maghrib—lalu kembali menghampiri saya untuk… berfoto di depan Borders tentunya!

picture-26

Sepulang dari Borders, kami kembali ke hotel The Scarlet yang menyenangkan itu, dan berganti pakaian. Tujuan selanjutnya adalah makan malam di Secret Garden, sebuah restoran yang terletak tak jauh dari PotPourri. Mengapa disebut Secret Garden? Karena restoran ini terletak di sebuah taman, dan taman ini terletak di belakang sebuah bangunan museum seni!

Di bagian belakang museum inilah kami akhirnya menemukan tempat sempurna untuk berfoto gila, sampai lupa waktu. Pelayan restoran bahkan harus menghampiri kami di belakang dan berkata, “Sorry to interrupt, but your meal is ready…

picture-31

picture-301

Setelah makan malam di Secret Garden, kami pun menuju SupperClub di Odeon Plaza, sebuah klub yang seluruh tempat duduknya berupa kasur-kasur! Saya dan Dimas yang agak mengantuk pun langsung leyeh-leyeh di sana. Di sinilah kami berpamitan dengan Kendra—staff STB di Singapura, sambil menunjukkan foto-foto gila yang kami ambil sepanjang perjalanan, yang membuat Kendra tertawa terbahak-bahak.

picture-27

Oh ya, satu catatan lagi tentang SupperClub, toilet di sini Unisex! Jadi saya dan Chika sempat terkejut sewaktu masuk ke toilet dan berpapasan dengan cowok-cowok. Sempat mengira salah masuk toilet (doh!). Ternyata memang toiletnya ‘nyampur’. Karena agak risih, saya pun sempat menjengukkan kepala dulu ke lorong sebelum ngacir keluar dari toilet.

Sudah hampir pukul 12 lewat ketika kami meninggalkan SupperClub, namun rasanya kaki masih gatal untuk berbelanja di Mustafa! Jadi tengah malam itu pun kami berjalan menyusuri trotoar Singapura untuk mencari taksi. Dan saya pun iri pada pejalan kaki Singapura, yang bisa menikmati trotoar yang luas, lapang, bersih, dan tak berlubang. Sungguh, Anda bisa berjalan sambil melamun karena tak takut terperosok lubang atau terciprat air becek, atau takut jika hak sepatu nyangkut di sela-sela batuan, atau terserempet motor yang nakal naik ke atas trotoar.

picture-28

Bukannya tak ada pedagang atau pengamen di trotoar Singapura. Banyak! Anda bisa menemukan tukang minuman hingga es potong atau orang bermain kecapi di sepanjang Orchard. Tetapi mereka ditempatkan berjauhan, dalam jarak yang nyaman. Mereka tidak menyampah. Banyak tempat sampah di pinggir jalan. Ada bangku-bangku jika orang hendak beristirahat dan duduk-duduk sehingga mereka tak perlu menggeletak di atas trotoar. Ah, seandainya trotoar di sini semenyenangkan itu! Karena saya suka berjalan kaki!

Dan berhubung mendekati Pemilu, saya ingin berkata: “Pemimpin yang baik dilihat dari caranya menghargai dan memperlakukan pejalan kaki!”

😀

Kembali ke Mustafa: toko besar ini menjual hampir segala sesuatu, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pakaian, peralatan masak, elektronik, parfum, sampai DVD. Kebanyakan sih kami membeli cokelat di sini, lagi-lagi: untuk oleh-oleh!

Hampir pukul setengah empat pagi ketika kami meninggalkan Mustafa untuk kembali ke hotel. Tenaga sudah hampir habis! Padahal keesokan harinya kami sudah harus siap pergi ke bandara pagi-pagi untuk pulang ke Jakarta, dan kami masih harus packing, karena koper membludak karena belanjaan kami yang besar-besar kardusnya.

Soal perjalanan pulang kami ke Jakarta pada hari Minggunya? Bisa Anda baca di sini: tragedi mengenai bagaimana Dimas membuang tiket pulangnya ke tempat sampah di hotel.

picture-29

Ah, selesai juga episode liburan gila di Singapura ini. Thanks untuk Singapore Tourism Board dan Wacky Weekend Contest di Singasik.com! Anda mau ikutan kuis ini? Siapa tahu Anda yang jadi pemenangnya! Kalau iya, jangan lupa ajak saya, ya! Hehehe.

hanny

13 Responses

  1. hi,, nice blog!

    boleh rau ngga lokasi detailnya chocolate gallery yg di atas? rencana berkunjung ke singapore bbrp bulan ke depan n pengen kesana 🙂

    thx ya!

    hi, maria… chocolate gallery itu aku juga ga hafal alamatnya, tapi ada di daerah Tanjung Pagar. nanti aku coba tanya dulu di mana tepatnya, ya?

  2. mba mau tanya chocolate gallery itu letaknya dimana ya??dari orchard jauh ga??

    lumayan jauh dari Orchard, adanya di Tanjung Pagar, sekitar 20-30 menitan gitu kalo ga salah dari Orchard…

  3. Boleh dong kamu kasih saran, kalo ke Spore 3 hari 2 malam, tiba jam 10 pagi, kira2 rencana kunjungan yg menarik dan “gila” seperti apa yg bisa kami lakukan….. Thanks

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP