DISCLAIMER: Tulisan berikut ini adalah sebuah advertorial. Saya bersedia menuliskannya karena percaya dengan tujuan baik yang layak disebarkan. Tulisan ini dibuat secara independen—tanpa suntingan dari pihak sponsor. I hope you’ll enjoy this one. A story about a smile.

Peace begins with a smile. – Mother Teresa

Banyak kenangan manis dalam hidup saya diawali dengan sebuah lengkungan sederhana. Bentuknya seperti sebuah mangkuk: mangkuk yang mewadahi perjumpaan-perjumpaan pertama dengan mereka yang kemudian menjadi kekasih (atau mantan kekasih), mengawali persahabatan dengan sesama pejalan di negeri-negeri asing, membuka percakapan-percakapan yang biasanya baru akan berakhir selepas tengah malam, juga meninggalkan jejak-jejak singkat—yang bertahun-tahun kemudian masih lekat untuk diingat.

***

Malam itu, kami berada di Medeu—area seluncur es berskala Olimpiade di daerah pegunungan Almaty, Kazakhstan.

Orang-orang lokal lalu-lalang dengan santai—bercakap ramai seraya membawa-bawa berbagai perlengkapan piknik: vodka, gelas-gelas dalam tas belanjaan, bahkan pipa-pipa untuk mengisap sisha. Kuda-kuda berderap, membuat saya sempat berhenti sejenak dan memandangi mereka dengan takjub. Tak seperti kuda-kuda yang biasa saya lihat menarik delman, kuda-kuda di Medeu begitu tinggi, begitu besar, begitu tegap. Saya sampai perlu mendongak untuk melihat wajah mereka.

Saya sebenarnya berada di Almaty untuk menjadi pembicara dalam sebuah konferensi. Tetapi, ketika mengetahui bahwa saya akan memperpanjang masa tinggal di Almaty, Zhamilya—salah satu pengurus konferensi tersebut, mengajak saya untuk mengunjungi Medeu di malam hari. Ia menjemput saya di penginapan bersama kekasihnya, Alex. Dan setelah sekitar satu jam berkenalan, Alex tiba-tiba saja bertanya mengenai lengkungan sederhana yang nampaknya ia perhatikan terus saja melintas di wajah saya.

“Apakah semua orang Indonesia suka tersenyum—atau hanya kamu yang seperti itu?”

Mau tak mau, saya tertawa. Bukan karena pertanyaan itu, tetapi karena Alex menanyakannya dalam rentang waktu yang begitu singkat sejak kami pertama bertemu. Apakah mungkin, dalam rentang waktu tersebut, saya sudah terlalu banyak tersenyum?

Oh, I’d like to think that most Indonesians are like that,” saya menjawab. “Sepertinya senyuman sudah menjadi bagian dari masyarakat kami. Sesuatu yang sangat natural.”

Well, mungkin saya hanya lebih jarang melihat orang tersenyum di sini,” ujar Alex kemudian. “Dan karenanya, wajah-wajah penuh senyum menjadi hal yang tak lumrah.”

Meskipun Alex sempat menetap selama beberapa waktu di Almaty, ia sendiri adalah warga Amerika Serikat. Saya tak tahu seberapa sering orang-orang tersenyum di Amerika, namun saya sedikit-banyak mengerti apa yang Alex maksudkan mengenai Almaty.

Jangan salah, ini bukan berarti orang-orang di Almaty tidak bisa tersenyum!

Saya melihat banyak senyum selama konferensi berlangsung: dari para pengurus acara, anak-anak mahasiswa yang secara sukarela menjadi penerjemah, bahkan dari beberapa peserta yang hadir. Namun, sepertinya budaya yang berbeda membuat senyum tak beredar ‘seluas’ di Indonesia.

Kita mungkin lebih ‘mudah’ tersenyum pada orang asing, ketika menerima kembalian dari pengemudi taksi, ketika memesan secangkir kopi, ketika masuk ke sebuah kantor dan melihat resepsionis duduk di meja depan, ketika petugas keamanan mengecek tas-tas kita saat melewati detektor metal, ketika disenggol seseorang secara tak sengaja dan mendengarnya meminta maaf…

“Saya tak tahu mengapa kamu ingin sekali pergi ke Rusia. Di Rusia, orang-orang akan mengira kamu gila, karena kamu tidak bisa berhenti tersenyum.”

Pernah, teman saya yang lain berkata.

Namanya Alex juga. Ia meninggalkan kota tepi lautnya di Vladivostok, Rusia, untuk bekerja menjadi instruktur selam di Labuan Bajo. Sesekali, ia mengirimkan tulisan dan foto-foto perjalanannya di Indonesia untuk dimuat di majalah-majalah berbahasa Rusia.

“Masa, sih, orang Rusia tidak pernah tersenyum?” saya tak percaya.

“Tentu saja mereka tersenyum,” Alex membalas. “Tapi, tak seperti di sini, di sana orang-orang tersenyum hanya jika mereka punya alasan kuat untuk itu. Tak semudah itu buat kami untuk tersenyum begitu saja. Meskipun demikian, hanya karena kami tidak tersenyum bukan berarti kami marah, ya.”

Ketika Alex mengatakan hal ini, perihal senyum-tersenyum di Almaty—yang merupakan salah satu negara pecahan Uni Soviet—kemudian membuat saya terkikik geli.

Saat berada di Almaty, saya tinggal di sebuah penginapan yang terletak di pusat kota. Di sebelah penginapan itu, terletak sebuah restoran—The Noodles namanya.

noodles

Setiap pagi, sebelum konferensi dimulai, saya dan beberapa pembicara lainnya biasa mampir di sana untuk minum kopi. Dan setiap sore, setelah konferensi berakhir, The Noodles menjadi tempat yang kami sambangi untuk membeli sepotong pizza atau tempat pelarian untuk makan es krim di malam hari ketika kami tak bisa tidur.

Jadi, tentunya, beberapa kali setiap hari, saya mendorong pintu The Noodles dan tersenyum pada pramusaji yang bertugas saat itu: “Selamat pagi! Selamat siang! Selamat sore!”

Belakangan, ketika konferensi berakhir dan saya sempat jatuh sakit selama beberapa hari, The Noodles menjadi tempat yang saya datangi setiap waktu—karena jaraknya hanya beberapa langkah dari hotel.

Praktis, beberapa kali sehari saya akan duduk di meja sudut di The Noodles, dengan tablet parasetamol yang dibelikan kawan saya Sean, tablet isap untuk sakit tenggorokan dari kawan saya Bota, dan novel remaja Julia Hoban yang sesungguhnya agak depresif, Willow. Dengan demam tinggi, hidung mampet, dan tenggorokan yang sakit, saya masih saja mendorong pintu The Noodles setiap harinya dan tersenyum: “Selamat pagi! Selamat siang! Selamat sore!”

Rasanya tersenyum sudah menjadi hal yang begitu lumrah, begitu pantas, begitu otomatis.

Selama beberapa hari itu pulalah, senyum saya tak pernah berbalas.

Pramusaji-pramusaji di The Noodles bekerja dengan efektif dan efisien. Mereka tak salah mengantarkan pesanan, juga selalu sigap melihat tamu mana yang akan membutuhkan bantuan—namun satu hal yang mulai membuat saya penasaran saat itu, adalah mengapa mereka tak mau membalas senyum saya—yang saya rasa sudah cukup sumringah.

Di hari terakhir saya di Almaty, hari ke-12, saya mampir di The Noodles demi secangkir kopi. Yang bertugas saat itu adalah seorang pramusaji perempuan yang sudah seringkali saya lihat. Saya yakin, ia juga pasti sudah mengenali saya yang setiap hari mampir ke sini. Untuk kali terakhir, saya pun melemparkan sebuah lengkungan sederhana padanya. Tersenyum lebar sambil berkata, “Selamat pagi!”

Saya tak mengharapkan apapun saat itu, sampai kemudian saya melihat ada lengkungan sederhana muncul di wajah sang pramusaji. Ia berkata, “Selamat pagi!” dan tersenyum!

Rasanya ada sesuatu yang membuncah dalam dada saya. Ia tersenyum! Ia tersenyum! Saya ingin menari-nari gembira. Sepertinya demam membuat saya terlalu emosional, karena saya kemudian menyadari betapa mata saya berkaca-kaca! Akhirnya senyum saya berbalas! Akhirnya, senyum saya… berbalas!

Ah, seindah itukah rasanya ketika kita, sebagai manusia, akhirnya dapat berbagi senyum?

***

Terkadang saya berpikir, mungkinkah di Indonesia saya memang sudah begitu terbiasa dengan senyuman yang dilemparkan begitu saja di mana-mana? Dari para penjaga toilet di mall, ibu-ibu di warung makan, penjual sate di trotoar, penjaja bakpao di pintu tol, pedagang buah di pasar basah, bahkan anak-anak yang mengamen di pinggir jalan…

Apakah saya memang sudah begitu terbiasa sehingga saya lupa betapa indahnya perasaan yang bisa muncul dari sebuah senyuman?

Dan lupa juga—atau bahkan tak bisa sungguh-sungguh memahami rasanya—ketika manusia, tak bisa tersenyum?

Bukan, saya tak bermaksud bicara tentang saat-saat ketika kita sedih, marah, atau berduka, hingga untuk sesaat kita tak bisa tersenyum.

What if you want to flash a smile, but you just can’t?

Saya baru tahu bahwa 1 dari 700 anak di Indonesia mengalaminya. Dan setiap tahunnya, ada lebih dari 9.000 anak Indonesia yang tak bisa tersenyum. Bukan karena mereka tak mau—tapi benar-benar karena tak bisa.

Mereka adalah anak-anak yang terlahir dengan bibir sumbing.

Sampai sekarang, tak ada yang tahu pasti mengapa ada anak-anak yang terlahir dengan bibir sumbing. Naila, misalnya, yang terlahir dari pasangan pedagang sayur, Didin dan Sakinah, di Kabupaten Lebak, Banten. Sakinah, sang Ibu, mengatakan bahwa beberapa anggota keluarganya memang terlahir berbibir sumbing—walaupun hingga saat ini masih belum ada kesimpulan mengenai penyebab pasti kondisi tersebut.

Melihat anaknya terlahir berbibir sumbing, Sakinah sempat merasa sedih. Bukan hanya karena ia tak bisa melihat buah hatinya tersenyum, tapi juga karena alasan-alasan lain yang sebelum ini masih luput dari perhatian saya.

Anak-anak berbibir sumbing akan mengalami persoalan dalam makan dan minum, kesakitan di rongga hidung, juga kesulitan saat belajar berkomunikasi. Semakin lama operasi bibir sumbing ditunda, semakin besar hal-hal tersebut memengaruhi tumbuh-kembang mereka. Padahal, tak semua orang tua punya biaya yang cukup untuk lekas mengoperasi anak mereka sebelum menginjak usia 1 tahun.

Jika kita percaya bahwa senyum adalah ibadah—dan salah satu bentuk ekspresi jiwa manusia yang paling tulus, apakah kita bersedia membagikan senyuman bagi anak-anak Indonesia yang saat ini masih belum dapat merasakan indahnya berbagi senyum?

@BERADADISINI

Sebuah organisasi nirlaba, SmileTrain, telah mencoba melakukan hal ini—satu senyum setiap kali.

Bermitra dengan ahli bedah plastik dan rumah sakit di berbagai negara di dunia, mereka memberikan operasi gratis bagi anak-anak berbibir sumbing. Hanya dibutuhkan waktu 45 menit agar anak-anak ini dapat tersenyum kembali. Organisasi ini pula yang telah memungkinkan operasi gratis untuk adik Naila di Banten, sehingga gadis mungil ini dapat tersenyum kembali, dan menikmati tumbuh-kembang yang lebih baik.

Bulan ini, saya ingin mengajakmu berbagi senyum dengan anak-anak Indonesia—atau bahkan anak-anak di seluruh dunia.

SmileTrain selalu membuka kesempatan untukmu yang hendak mendanai operasi bibir sumbing di sini. Kamu juga bisa membaca berbagai cerita mengenai orang-orang di seluruh dunia yang telah terbebas dari bibir sumbing di sini.

Atau, kamu juga dapat berdonasi lewat senyumanmu di sini. Untuk setiap foto dirimu yang sedang tersenyum dengan menggunakan hashtag #berbagisenyum, Listerine®—bekerja sama dengan SmileTrain, akan meneruskan senyumanmu; membawanya ke wajah anak-anak Indonesia berbibir sumbing agar mereka juga dapat membagi senyumnya denganmu.

Karena jika senyum adalah pembuka bagi banyak kenangan manis dalam hidup kita, bukankah kenangan manis akan selalu lebih indah ketika dibagi?

www.berbagisenyum.co.id
#berbagisenyum
@ListerineID

*)Listerine® juga memiliki varian Listerine Zero, yang bebas alkohol.

 

hanny

2 Responses

  1. Tapi memang benar, Hanny itu orangnya mudah tersenyum dan kalau ngelihat kamu rasanya pengen senyum-senyum terus. 😀

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP