DISCLAIMER: Beberapa waktu lalu, saya diundang meliput perjalanan dua pemenang kompetisi Go Ahead Challenge dalam gelaran Paris Fashion Week 2014; dengan tiket pesawat, akomodasi, serta uang saku selama perjalanan ditanggung oleh tim penyelenggara. Meskipun demikian, saya berangkat dalam kapasitas sebagai independent blogger yang berhak menuliskan dan melaporkan (ataupun tidak) mengenai apapun yang saya lihat, alami, dan rasakan selama perjalanan tersebut; tanpa sensor maupun suntingan dari pihak penyelenggara. Bagian pertama dari seri ini dapat dibaca di sini.

Ada orang-orang yang nyaris tak kelihatan di balik tiap impian yang jadi kenyataan.

Selagi kau berjajar dengan tawa menggigit dan dompet yang dikempit, di tengah wangi parfum yang menguar samar-samar dan kilat lampu dari kamera-kamera yang gemerlap berkeredap, mereka yang nyaris tak kelihatan mengelap gelas-gelas champagne dengan serbet dan menurunkan krat-krat minuman di tengah angin yang menggigilkan. Mereka yang nyaris tak kelihatan berdiri berjam-jam di ruang sempit dan bekerja sepagian membubuhkan bedak dan perona pipi sesuai takaran yang diharuskan. Beberapa lagi menyeterika tak henti-henti dan mengepel lantai berkali-kali; memastikan semua mengilat sempurna untuk malam paripurna. Ada toilet-toilet yang dibersihkan, puntung-puntung rokok yang dikembalikan ke dalam tempat sampah, dan kaki-kaki yang lelah karena terlalu banyak berjalan lekas-lekas.

Dalam setiap mimpimu yang jadi kenyataan, ada orang-orang yang nyaris tak kelihatan; yang diam-diam memungkinkan mimpimu menjelma seperti yang kau inginkan. Kepada orang-orang yang nyaris tak kelihatan ini; kepada merekalah kau berutang terima kasih.

***

Ketika saya melewati lobi hotel seraya merapatkan overcoat untuk bersiap menyambut dinginnya jalan-jalan kota Paris, saya menemukan barisan perempuan-perempuan tinggi dan ramping memenuhi koridor. Rata-rata, mereka mendekap map portfolio di dada. Seorang gadis keluar dari dalam salah satu ruangan hotel, kemudian mengangkat bahu ketika pandangannya beradu dengan gadis-gadis tinggi-ramping lainnya. “I don’t think I get it,” ujarnya pelan.

Sore itu, lantai bawah hotel kami yang mungil–Eugène en Ville di Rue Buffault–disesaki model-model Perancis yang hendak mengikuti casting. Dari sekitar 35 model yang diundang untuk casting, hanya 2 orang yang akan terpilih untuk dipotret oleh Bram dan tim Michel Dupré: satu model lelaki, dan satu model perempuan. Sayangnya, sore itu saya tak sempat melihat para model lelaki berjajar di lobi. Dalam pemotretan yang akan berlangsung lusa, model lelaki yang terpilih akan mengenakan desain rancangan Sylvester, sementara model perempuan akan mengenakan rancangan Tex Saverio.

Melihat sosok-sosok tinggi-ramping yang berjajar di lobi hotel itu–sebagian nampak tegang dan penuh harap; saya akhirnya mengerti. Mereka, sosok-sosok yang fisiknya selalu saya anggap demikian indah itu, juga tengah bergulat dengan impian-impian, pemikiran-pemikiran, dan perjuangan-perjuangan mereka sendiri: menembus udara Paris yang dingin dan berlari-lari naik-turun tangga stasiun serta berpindah-pindah dari satu jalur metro ke jalur metro lainnya, berjalan kaki cepat-cepat untuk tak terlambat menuju entah casting keberapa pada hari itu.

Sebagian dari mereka mungkin lelah, sebagian lagi mungkin sudah siap untuk menyerah, sebagian lagi berharap banyak karena pekerjaan ini bisa membantu mereka membayar biaya kuliah. Sebagian datang dari tempat-tempat jauh. Sebagian mempertaruhkan rasa percaya. Sebagian mencoba tak mengeluh karena harus berdiri lama.

Di sisi ruangan yang lain, ada Sylvester yang juga tengah mengejar impiannya. Ada banyak harapan dan tanggung jawab melekat padanya untuk mengambil keputusan. Ia harus memilih model terbaik yang akan bekerja dengannya. Model yang akan cocok dengan keseluruhan konsep photoshoot yang sudah disusun Bram dan Michel, juga bisa menonjolkan keindahan desain rancangannya dan Tex. Melihat nasib-nasib yang saling bersilangan dalam jarak yang begitu dekat ini–yang satu seakan menentukan yang lain, saya merasa bahwa kita semua; tak peduli di mana kita berada di dunia; sesungguhnya saling terhubung lewat miliaran helai benang-benang yang tidak kelihatan.

 

***

Persilangan nasib serupa saya temui kembali keesokan malamnya; ketika kami menghadiri fashion presentation Irakli di Centre d’Art et de Danse di Éléphant Paname–daerah yang terkenal sebagai pusat penjualan dan perancangan perhiasan tertua di Paris. Untuk saya, Irakli Nasidzé sendiri merupakan kisah mengejar mimpi yang mungkin juga belum berakhir hingga hari ini.

Ia lahir di Georgia–negara kecil yang berbatasan dengan Rusia, Armenia, Turki, dan Azerbaijan. Di tahun 80-an, jumlah penduduk di negara ini hanya 5 juta orang saja. Setelah lulus dari jurusan fine arts di Universitas Tbilisi, pada usia 23 tahun, Irakli pun menjejakkan mimpinya di Paris. Karirnya diawali dengan menciptakan bahan untuk rumah-rumah couture ternama seperti Christian Lacroix, Jean-Louis Scherrer and François Lesage. Lesage-lah yang akhirnya mensponsori Irakli untuk menciptakan dan memamerkan koleksi adibusana-nya sendiri di Palais Galliera. Baru di tahun 2011, Irakli meluncurkan koleksi ready-to-wear yang dinamainya IRAKLI Paris.

Malam itu, bersama para jurnalis fashion, fashion buyer dari rumah-rumah mode dan toko-toko retail ternama dari seluruh dunia, serta para penikmat fashion di Paris, saya mengagumi koleksi Irakli yang nampak segar, bersih, dan indah–dipresentasikan di ruangan yang berlatar putih dan dipadati dedaunan dan bebungaan. Cantik sekali dipadankan dengan warna-warna desainnya: biru, hijau, dan kuning.

 

“Potongannya bagus sekali! Lihat, dia bisa membentuk siluet seperti itu!” Sylvester berseru. “Susah sekali membuat potongan yang begitu rapi!”

Saya mengangguk saja–karena Sylvester rasanya memang lebih mengerti hal-hal teknis macam itu; dan saya percaya ketika melihat kekaguman yang memancar dari matanya. Sesekali, saya nyaris bertabrakan dengan Bram yang juga sedang sibuk berkeliling ruangan untuk mengambil foto.

Sementara Bram dan Sylvester mempelajari langsung bagaimana sebuah fashion presentation dikemas, mulai dari konsep, musik, pencahayaan, dekorasi, hingga pengaturan letak dan waktu, saya melarikan diri sejenak dari padatnya ruangan ke lobi depan. Di lobi inilah, dua orang pelayan menjaga sebuah meja champagne. Dengan sigap, mereka menyajikan, menuangkan, dan menyingkirkan gelas-gelas, sementara para tamu terus berdatangan.

Ah, bukankah semua orang selalu punya peranan? Buat saya, tak ada pemisahan antara peran kecil atau peran besar. Saya kira, peran kita semua sama besarnya. Yang satu takkan bisa berjalan baik tanpa yang lain bekerja dengan baik. Dan saya percaya, peran kita di dunia juga saling terhubung lewat miliaran helai benang yang tak kelihatan.

***

Saya bersyukur tak menjadi Sylvester dan Bram pagi itu.

Subuh di Paris adalah waktu ketika suhu turun semakin drastis. Yang paling nyaman, tentu saja bergelung dengan selimut di atas tempat tidur. Namun tidak demikian halnya bagi tim pemotretan yang sudah harus bangun pagi-pagi sekali. Para model harus mulai melakukan rias dan pengepasan. Sylvester harus memastikan bahwa riasan dan tata rambut sudah sesuai dengan yang diinginkan. Semuanya dilakukan bersamaan di dalam kamar hotel yang sempit. Di kamar saya saja–yang ditempati sendirian, seringkali saya terantuk kaki kursi, meja, atau koper sendiri. Jadi saya bisa membayangkan tantangan bekerja bersama beberapa orang di dalam sebuah kamar berukuran kecil.

Baru sekitar pukul 9 saya bergabung dengan Sylvester dan Bram untuk menuju Parc de la Villete. Tim pemotretan Michel yang terdiri dari sekitar 8 orang dengan kebangsaan yang berbeda-beda juga sudah bersiap di sana. Rangkaian pemotretan untuk hari itu pun dimulai. Michel banyak membantu Bram dan Sylvester dengan memberikan berbagai masukan selama pengambilan gambar. Sylvester dan Bram pun banyak berdiskusi–dan berkoordinasi mengarahkan anggota tim yang lain. Melihat keduanya bekerja keras hari itu seraya memberikan arahan kepada anggota tim dari Perancis, Rusia, Australia, dan entah mana lagi, ada rasa bangga menyelusup ke dalam hati saya.

“Ah, aku menyesal sekarang. Aku rasanya ingin belajar bahasa Inggris lagi,” ujar Bram, yang merasa bahwa ia bisa mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak dan berkomunikasi jauh lebih baik jika saja ia berbahasa Inggris dengan lebih baik. Meskipun demikian, ia nampak baik-baik saja di mata saya ketika mencoba menyampaikan visinya pada tim pemotretan Michel. Bukankah yang kita butuhkan untuk berkomunikasi tak semata bahasa; melainkan lebih kepada upaya untuk saling mengerti?

Pukul satu siang, pemotretan itu belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Seluruh tim itu justru pindah ke lokasi pemotretan berikutnya di sisi lain taman. Saya pun pamit dari sesi itu untuk berjalan kaki di bawah matahari Paris yang mulai bersinar agak cerah–meski udara tetap saja dingin.

Ketika malam harinya saya berkumpul kembali dengan Sylvester dan Bram untuk makan malam, mereka nampak sedikit lelah. Namun wajah keduanya mendadak cerah ketika mengetahui bahwa esok adalah hari bebas. Untuk pertama kalinya sejak menjejakkan kaki di Paris, tak akan ada jadwal apapun bagi mereka esok hari. Sengaja, keduanya diberikan waktu untuk beristirahat, tidur, dan memulihkan stamina–sebab esok lusa, mereka sudah harus berjibaku lagi dengan waktu dalam mempersiapkan fashion presentation Tex Saverio.

“Waktu memang jadi tantangan besar di sini,” kata Bram. “Jadwal di sini ketat sekali. Semua harus on time. Kalau waktu sudah habis, ya, walaupun merasa masih kurang dan masih ingin terus mengulik, ya sudah tidak bisa. Mau tidak mau harus selesai.”

Di Paris, pemotretan memang dilakukan secara disiplin, dengan jadwal yang sudah ditata rapi. Mau tak mau, jika rentang waktu yang disepakati sudah dilewati, pemotretan harus dihentikan. Ada banyak orang yang ambil bagian dalam pemotretan ini–memperpanjang waktu berarti menambah waktu kerja semua yang terlibat. Disiplin waktu ini menjadi salah satu pengalaman berharga bagi Sylvester dan Bram. Mental demikian penting dimiliki oleh mereka yang hendak berkecimpung di industri fashion internasional.

***

Pada jamuan makan malam itu, kami berkenalan dengan Waleed Zaazaa, kawan Michel–yang juga merupakan sebuah kisah perwujudan mimpi yang lain. Baik ZaaZaa dan Michel sama-sama telah mematahkan anggapan saya mengenai bayangan akan orang-orang Perancis yang dingin dan menjaga jarak.

Zaazaa yang gemar bercerita dan tertawa ini adalah seorang desainer asal Perancis yang pernah bekerja dengan brand-brand terkenal semacam Calvin Klein dan DKNY, sebelum akhirnya memutuskan melepaskan kenyamanan dan posisinya yang sudah cukup tinggi untuk mencari tantangan baru. Ia ingin merambah pasar ritel Asia lewat Singapura. Desember mendatang, ia akan meluncurkan concept store-nya, Manifesto, di sana.

“Untuk meluncurkan brand-mu sendiri sangat sulit,” ujar Zaazaa. “Hal itu selalu menjadi impianku sejak dulu–untuk mempunyai line sendiri. Jadi, aku tahu bahwa aku harus mencoba jalan lain. Dengan tetap berada di pekerjaanku yang dulu, rasanya aku tak akan kunjung beranjak untuk mewujudkan mimpiku. Lalu kupikir, aku bisa memulai lewat ritel. Ya, aku tahu, ini mungkin jalan yang tak biasa. Namun dari pengalamanku selama bekerja, aku tahu ada banyak brand yang berupaya keras untuk masuk ke retail store. Aku berpikir, bagaimana jika aku melakukan yang sebaliknya. Aku bisa membuka concept store yang bagus; sehingga nantinya aku bisa memasukkan line-ku di concept store-ku sendiri.”

Saya terpana mendengar penjelasan Zaazaa. Ia begitu berani (dan sedikit nekat) dalam mencari berbagai jalan untuk mewujudkan mimpinya–meski jalan itu jalan yang jarang dilalui orang. Butuh keyakinan sekaligus kepasrahan yang luar biasa untuk meninggalkan kenyamanan di belakang, kemudian mengambil risiko dan mempertaruhkan apa yang dimiliki demi mewujudkan sekeping mimpi yang tak pernah punya jaminan pasti.  Namun, saya yakin keberhasilan selalu menunggu orang-orang yang berani dan sedikit nekat. Orang-orang seperti ZaaZaa. Bukankah mereka bilang, magic happens when you’re expanding your comfort zone?

***

Dalam perjalanan, kau akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tak selalu mudah. Namun, ketika kau benar-benar yakin perihal arah yang hendak kau tuju, sesungguhnya kau tak akan tersesat terlalu lama. Sebagaimana keputusan-keputusan yang harus kau buat di tiap persimpangan, kau juga perlu memilah mereka yang akan kau ijinkan berada dalam lingkup mimpimu.

Habiskanlah lebih banyak waktu dengan mereka yang akan jujur bertutur tentang apa yang perlu kau lakukan untuk memenuhi impian-impianmu; mereka yang tak akan mendengarkan khayal dan bualmu, namun selalu ada untuk membantumu melakukan sesuatu; mereka yang akan membawakanmu segelas teh atau secangkir kopi hangat ketika terkadang kau tengah teramat lelah; mereka yang akan duduk diam bersamamu ketika hal-hal tak berjalan sesuai dengan yang kau inginkan; mereka yang akan melompat dan bersorak paling keras di hari ketika mimpimu menjejak tanah.

Jika kau mengenali mereka dalam hidupmu, berikan mereka sebanyak-banyaknya waktu yang kau punya.

Screen Shot 2016-04-03 at 7.01.55 PM

(bersambung…)

hanny

5 Responses

  1. Reblogged this on Ransel Ijo and commented:
    “Dalam perjalanan, kau akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tak selalu mudah. Namun, ketika kau benar-benar yakin perihal arah yang hendak kau tuju, sesungguhnya kau tak akan tersesat terlalu lama. Sebagaimana keputusan-keputusan yang harus kau buat di tiap persimpangan, kau juga perlu memilah mereka yang akan kau ijinkan berada dalam lingkup mimpimu” – Hanny

  2. Hi.

    Kebetulan banget gue lagi ngikutin ‘America’s Next Top Model, cycle 21’. Dari acara ini, kelihatan banget betapa susahnya jadi modelnya saja, belum lagi elemen lainnya seperti make-up artis, fotografer, kru, bahkan ‘cable guy’nya.

    Kalau dipikir-pikir, dunia fashion high-end diciptakan oleh begitu banyak orang-orang yang tidak hidup di skala itu, atau bahkan tidak memilih untuk memiliki high-end. Mihhiihihihi…

    And I LOVE to see things behind the scenes. Sometimes, more than the results itself. It’s such a fascinating and sexy thing to see the process of creation. Hani tulisannya menyenangkaann!

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP