I thought I had forgotten. But it all came back again.
Tonight with the first spring thunder. In a rush of rain.
— Sara Teasdale, Spring Rain

#1.

Kau sudah nyaris melupakan sesuatu yang tercecer dalam sebuah perjalanan. Kau nyaris percaya bahwa kau sudah sungguh-sungguh kehilangan. Tentu saja, kau merasa sedih—tetapi kau melepaskannya pada semesta, membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya. Karena bukankah segala sesuatu akan jatuh tepat pada tempatnya, ketika waktunya tiba?

Lalu kemarin semesta mengantarkannya ke hadapanmu: sesuatu yang sempat tercecer dalam sebuah perjalanan, tetapi tidak pernah hilang. Sesungguhnya ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali padamu.

#2.

Ya, tepat dua ratus tiga puluh hari, atau tiga puluh dua minggu, atau lima ribu lima ratus dua puluh jam, atau tiga ratus tiga puluh satu ribu dua ratus menit, atau sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh dua ribu detik kemudian, semesta mengantarkannya ke hadapanmu, begitu saja. Dia, yang kau kira telah hilang tercecer dalam sebuah perjalanan. Yang kau pikir takkan pernah bisa kau lihat lagi seumur hidupmu.

Kau terkejut ketika membuka pintu malam itu, dan menemukannya berdiri di hadapanmu. Kau pun bertanya mengapa tiba-tiba saja dia berada di situ.

“Aku sudah selalu berada di sini sejak semula,” katanya. “Tetapi baru malam ini, pintumu terbuka.”

#3.

Ia bilang, kau sudah menyimpan hatinya sejak dulu. Sejak pertama kali ia melihatmu. Kau tak tahu apakah ia bersungguh-sungguh; tetapi kau senang mendengarnya. Kau bertanya, mengapa kali pertama kalian bertemu itu, ia tidak mengajakmu keluar untuk minum kopi. Ia bilang, ia pikir kau tidak tertarik. Karenanya, ada jeda waktu sedemikian lama hingga ia kemudian memberanikan diri dengan mencoba menghubungimu lagi.

Ia tak tahu bahwa selama ini, ia juga sering melintas dalam benakmu.

Lalu, kau menyadari satu hal. Di dunia ini, pastilah ada begitu banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk jatuh cinta (atau sekadar ngobrol-ngobrol sambil menyesap secangkir kopi) hanya karena terlalu lekas hanyut dalam pemikiran-pemikiran dan prasangka-prasangka mereka sendiri.

#4.

Kau meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka. Orang-orang bilang kau ceroboh, tetapi kau tahu sebaliknya: kau justru sangat berhati-hati. Kau sudah sering terluka. Kau sedang tak ingin terikat pada apapun, pada siapapun. Dia bisa tetap tinggal jika dia ingin, tetapi kau tidak akan menjanjikan apa-apa. Dia bisa pergi jika dia ragu, dan kau tak akan kehilangan apa-apa.

#5.

Kau adalah cermin baginya, dia adalah cermin bagimu. Di dalam dirinya, kau melihat dirimu. Kau bertanya, jika kau adalah cermin baginya, dan ia berdiri di hadapanmu, refleksi macam apa yang akan dilihatnya dalam dirimu?

Ia tidak menjawab.

Tetapi kau pun tak memerlukan jawaban atas pertanyaanmu itu.

#6.

Kau meletakkan namanya di atas lidahmu, menggulungnya dalam sesesap kopi hangat. Lalu kau memainkannya berulang-ulang, mengucapkannya tanpa rasa bosan hingga nama-nama itu melebur dengan detak jantungmu. Kau merasa seperti seseorang yang tengah bertasbih atau berdoa rosario. Sepanjang hari, namanya masih selalu meninggalkan aroma mint dalam rongga mulutmu dan hangat cengkeh di tepian bibirmu.

#7.

Kau melingkari namanya dengan pucuk-pucuk teh. Carnation. Menyeduhnya dengan air mendidih. Kau membiarkannya mendingin di dekat jendela. Jendela tempat kau sering memandangi hujan itu. Ketika wangi teh meruap di udara dan membuat jendela berembun, kau menyesapnya dengan khidmat. Carnation. Aromanya yang kuat akan menghilangkan after-taste mint dan cengkeh yang ditinggalkannya padamu. Kau ingin membasuh dirimu hingga luruh.

#8.

Kau melihatnya sebagai kawan dalam sebuah perjalanan. Kalian memang tak berjalan beriringan, tetapi kau selalu membayangkan sebuah dunia paralel dalam benakmu. Ada kau di sisi sini, ia di sisi sana, dan seperti adegan dalam sebuah film, kalian sesungguhnya tengah berjalan dalam sebuah lingkaran. Tak berawal. Tak berakhir.

Ketika kalian menengadah ke langit malam dan melihat bintang, kalian tengah melihat ke dalam jiwa satu sama lain.

#9.

Pagi ini, kau ingin mengantarkan kata-kata ke depan pintu rumahnya. Kau ingin menjejali kotak posnya dengan huruf-huruf yang akan beterbangan keluar ketika tutupnya dibuka. Kau ingin memenuhi kamarnya dengan aksara-aksara dalam berbagai bentuk dan warna. Lalu diam-diam kau melumatkan beberapa kalimat ke atas bibirnya: sebuah doa. Agar kalian bahagia, berdua; ataupun sendiri-sendiri.

You can be sad for those left or be thankful for those who stay.

——————————————

*) The Art of Looking Sideways is the title of designer Alan Fletcher’s book that was posted by my friend, Astrid Schwarz.

hanny

8 Responses

  1. Seseorang yang selalu ada, tak pernah meninggalkan, atau ditinggalkan. pun tak saling menyakiti, karena keduanya hidup. paralel. Ha! Kita akan buka gelas2 bir lagi, hanny? πŸ˜€

  2. I missed this one when you posted it, naturally the Title caught my eye as I’ve been enjoying the past hour catching up with your inspiring posts! I love receiving emails from your updates, helps me remember to continue to “be myself” and that is the best I can be. Have you ever page through this book of Alan’s? I hope so, you will love it my talented “other half”

    1. No, I haven’t! Will try to find one in a bookstore here! I think it must be very inspirational simply to flip the pages! The same feeling when I read your blog! ^^ Love to see how appreciative one can be towards the simplest things life can offer ^^

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekendβ€”I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeβ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP