Berapa banyak di antara kita yang berjalan dengan menyeret-nyeret beban masa lalu di belakang?

Masa lalu memang sulit untuk direlakan lepas begitu saja. Mungkin karena masa lalu menyimpan banyak kenangan. Dan kenangan sesungguhnya adalah ingatan yang tereduksi angan-angan. Impian. Maka masa lalu bukan hanya ada di belakang, tetapi juga ingin kita seret ke muka: menjadikannya sebagai masa depan.

Saya selalu berkata, kenangan itu berbahaya. Kenangan itu candu. Jika ingatan adalah tentang segala yang sungguh-sungguh terjadi, kenangan adalah ingatan akan hal-hal yang pernah terjadi sebagaimana kita ingin mengingatnya. Kenangan memberikan kesan seolah-olah masa lalu–suatu hari nanti, akan menjadi masa depan kita. Inilah yang membuat kita, tanpa sadar, merasa bahwa kita sedang bergerak maju—dan lupa bahwa ada beban berat yang masih terseret-seret di belakang.

Beban ini bukan hanya membuat langkah kita lamban. Tapi juga menyulitkan. Ketika kita harus maju dengan berenang, beban berat ini akan menyeret kita tenggelam. Di kala kita harus mendaki tebing curam untuk sampai ke tujuan, beban berat ini akan menyeret kita jatuh ke dalam jurang.

Terkadang, kita sayang membuang beban masa lalu. Sudah terlalu lama ia menjadi bagian dari perjalanan kita. Sudah sejauh ini kita berjalan dengan menyeret-nyeretnya di belakang. Kita toh masih baik-baik saja. Mungkin kita takut merasa kehilangan. Kita takut merasa tidak lengkap. Sama seperti mengangkat tas yang terasa ringan. Lalu kita menjadi ragu-ragu: apakah ada sesuatu yang ketinggalan?

Maka sebagian dari kita terus memilih untuk berjalan dengan menyeret-nyeret beban masa lalu di belakang. Terkadang, kita sengaja berdiri di pinggir jurang agar beban masa lalu itu menarik kita kembali ke saat-saat itu: saat-saat di mana kita paling menginginkannya.

Selamat datang di dunia kenangan: di sini, semua orang tidak benar-benar hidup. Mereka bermimpi. Setelah sekian lama, sebagian orang terbangun dari mimpi mereka, memutuskan untuk memotong beban masa lalu, kemudian mendaki maju untuk hidup dalam kenyataan. Sebagian lagi masih menikmati ilusi, terus bermimpi, dan tak pernah bangun-bangun lagi.

hanny

24 Responses

  1. suka dengan analogi tas yang terasa ringan, keren 😀
    omong-omong, dosen saya pernah bilang
    jadilah seperti sungai, ia tak akan membawa batu yang berat dalam perjalanannya ke laut. :mrgreen:

  2. ada proses panjang untuk menjadikan kenangan sekedar ingatan, dan dalam proses panjang itu, ternyata ada beberapa bagian kita yg ikut terbuang. been there! love the way you write, han 🙂

  3. astaga….
    ini artikel yang bagus sekali…
    aku ingin menyimpannya sebagai koleksi penyemangatku
    bolehkah aku menyimpannya??

    ketika aku posting tentang sebuah mimpi dan impian, tiba2 muncul komentar dari anak gadis yang masih amat muda…
    dia berkomentar “aku berhenti membaca cerita, karena cerita membuatku bermimpi. sedang aku lagi malas bermimpi.”

    kira2 seperti itulah komentarnya….
    dan posting ini… memang benar, ngilu…
    tapi realisme nya menghiduppkan ^___^

  4. tapi, bisakah kita alpa dari kenangan, bebas dari beban? bukankah kenangan adalah reproduksi otomatisasi pikiran pada suatu waktu, suatu saat, yang tak mungkin dielakkan?

  5. *tendang Dimas, gantian peluk madu*
    buatku, ikhlas yang bisa membantu merelakan kenangan-kenangan itu 🙂
    Habis gelap terbitlah terang, Madu! *ganyambung*

  6. Han, aku baru baca yang ini. Bagus kalimat terakhirnya. Kata temanku, “Setiap orang pasti pernah jatuh, tapi cuma sedikit yang memilih untuk bangkit.”

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP