David Nicholls, 2009 | 435 halaman
You can live your whole life not realising that what you’re looking for is right in front of you.
Kisah Emma dan Dexter bermula pada suatu malam, selepas wisuda. Keduanya menghabiskan satu hari terakhir bersama, kemudian berpisah untuk menempuh jalan hidup masing-masing. Emma, sang aktivis, memutuskan bergabung dengan sebuah kelompok teater, sementara Dexter–yang berasal dari keluarga berada, memutuskan untuk bertualang berkeliling dunia.
Dari sinilah kisah mereka bermula. Tentang Dexter dan kekasih-kekasihnya, petualangan cinta yang seakan tidak pernah berakhir, karir yang ditekuninya sebagai bintang televisi, serta kartu pos dan surat-suratnya untuk Emma. Dan Emma; yang terpuruk menjadi pelayan di sebuah restoran Mexico, berbagi flat kecil dengan seorang kekasih yang selalu berharap bisa menjadi komedian, serta surat-suratnya untuk Dexter.
“We’re Dex and Em. Em and Dex,” demikian yang sering dikatakan Dexter kepada Emma. Tetapi, benarkah?
One Day adalah sebuah novel yang berkisah tentang betapa sia-sianya “jika saja”. What-if. Nicholls membawa kita larut dalam percakapan yang terkadang sinis, terkadang manis, antara Dex dan Em. Momen-momen kecil yang membuat kita berkaca-kaca. Pertengkaran hebat yang penuh dengan air mata. Dan tentunya, perjalanan roller-coaster mengikuti benang-benang yang terjalin antara Dex dan Em.
Apakah sebuah persahabatan bisa bertahan selama lebih dari 20 tahun? Ataukah… yang bertahan itu cinta?
“Dexter, I love you so much. So, so much, and I probably always will. I just don’t like you anymore. I’m sorry.” – Emma Morley