Meraih reputasi baik itu sulit. Mempertahankannya lebih sulit lagi.

Soalnya, ketika kita sudah dikenal memiliki reputasi baik, orang punya ekspektasi lebih terhadap kita. Mereka berharap kita ‘sebaik’ reputasi yang sudah sering mereka dengar. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, jatuhnya kecewa.

Ini beda dengan orang yang punya reputasi buruk. Karena kita sudah mengetahui bahwa orang itu reputasinya buruk, maka kita tidak berharap. Kalau kinerjanya bagus, kita terkejut (eh, wah, kok kinerjanya bagus, padahal dengar-dengar reputasinya buruk); kalau kinerjanya buruk kita tidak kecewa (yah, memang reputasinya sudah buruk, nggak perlu berharap).

Sama dengan brand yang punya reputasi baik. Menjaganya setengah mati. Apalagi jika brand itu berkembang pesat. Semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin sulit menjaga reputasi tersebut. Ibaratnya, semakin banyak yang bisa menjadi ‘nila setitik’—yang lantas akan merusak susu sebelanga itu. Demikian halnya dengan layanan taksi. Dari dulu sampai beberapa waktu lalu, layanan taksi yang paling baik itu lekat dengan si Burung Biru. Setidaknya untuk saya.

Belakangan? Tidak lagi.

Saya bisa berkata begini karena memang saya cukup kerap menggunakan jasa layanan taksi Burung Biru itu. Pasalnya, kantor saya juga berlangganan layanan taksi ini dan menyediakan voucher untuk pegawai-pegawainya.

Dulu, setiap kali naik Burung Biru, saya masih menemukan standar pengemudi yang sopan. Menyapa dengan selamat pagi/siang/sore/malam Pak/Bu, tersenyum, berkata argonya sudah dijalankan, lalu… apakah AC-nya cukup dingin atau tidak, tujuannya ke mana, dan lain sebagainya. Belakangan ini, pengemudi yang seperti itu termasuk jarang. Bahkan dari pengemudi bintang 1 (ketua grup). Banyak yang tidak mengucapkan salam sama sekali. Padahal pengalaman ‘sopan-santun pengemudi Burung Biru’ itu kan dirasakan begitu naik taksi dan duduk di jok. Kalau begitu masuk saja ekspektasi sudah tidak terpenuhi, rasanya ada yang kurang. Resiko sebuah brand yang sudah dikenal dengan reputasinya ya begini 🙂 Harus dijaga supaya penumpang tidak kecewa.

Awal tahun ini saya merasakan kemerosotan layanan Burung Biru yang cukup signifikan. Dimulai dari semakin banyaknya pengemudi yang tidak tahu jalan, bahkan ke rute-rute yang cukup mudah seperti bandara atau Sudirman-Thamrin. Dulu, begitu naik taksi dan menyebutkan tujuan, jika si pengemudi tidak tahu jalan, dia akan berkata, “Aduh, maaf, Bu, saya masih baru, jadi belum tahu jalan, apa bisa ditunjukkan jalannya?” Ini masih jauh lebih baik daripada kebanyakan pengemudi Burung Biru sekarang yang sama sekali nggak bilang bahwa mereka nggak tahu jalan, kemudian di tengah-tengah salah belok dan baru nanya, “Eh, ini yang belok ke sini bukan jalannya, ya?” atau ngotot lewat jalan yang macet walau sudah diminta lewat jalan lain oleh penumpangnya. Ini sangat mengesalkan, apalagi di Jakarta, salah jalan sedikit saja bisa mengakibatkan terlambat setengah jam.

Layanan pemesanan lewat telepon juga semakin tidak ‘ramah’. Dulu, kalau dari siang sudah memesan taksi untuk pukul 5 sore dan ternyata mereka belum mendapatkan taksi yang bisa dikirim, pukul setengah 4 sore petugas pemesanan akan menelepon dan mengabarkan bahwa mereka belum bisa mendapatkan taksi. “Mau ditunggu atau bagaimana, Ibu?”

Ini jelas membantu, karena kita jadi bisa mengira-ngira transportasi lain apa yang bisa digunakan jika taksi tidak muncul tepat waktu. Belakangan ini, sudah berkali-kali saya kesal karena tidak dikabari jika taksinya tidak ada. Janjinya jam 5 sore, dan sampai setengah 6 belum ada taksi yang muncul di depan. Begitu ditelepon dan dicek kembali, barulah petugas layanan berkata, “Taksinya belum ada, Bu, mau ditunggu?” *aaarrgh!*

Tapi buat saya, hal-hal macam itu masih termaafkan. Yang berbahaya adalah ketika pengemudi taksi ketiduran di jalan dan membahayakan nyawa penumpang. Dalam beberapa bulan terakhir ini, sudah ada 6 (ya, ENAM!!!) pengemudi taksi Burung Biru yang ketiduran di jalan tol. Ini mengecewakan sekali.

Bukannya apa-apa, setiap kali memesan taksi lewat telepon pun, saya selalu mewanti-wanti bahwa saya akan menuju Bogor dari Jakarta; atau menuju Jakarta dari Bogor. Jika menghentikan taksi di pinggir jalan pun, saya selalu bertanya dulu sebelum naik, apakah sanggup membawa saya melintasi kota. Saya sadar perjalanan cukup jauh, apalagi jika disertai macet.

Saya ingat, dulu pun saya pernah menaiki taksi yang pengemudinya mengantuk di jalan. Tetapi pengemudinya berkata pada saya, “Bu, maaf, saya agak ngantuk ini, apa kira-kira boleh menepi sebentar untuk cuci muka?” Wah, buat saya ini patut diacungi jempol. Tentu boleh! Saya hargai bahwa pengemudi mengakui bahwa dia mengantuk, dan daripada membahayakan nyawa saya dan dia, menawarkan berhenti sebentar. Setelah merasa sedikit segar, baru melanjutkan perjalanan lagi.

Tetapi belakangan ini, yang terjadi justru sebaliknya. Saya merasakan mobil mulai bergoyang kiri-kanan tidak fokus, lalu melihat dari kaca bahwa pengemudi sedang terkantuk-kantuk. “Pak, kalau ngantuk berhenti dulu aja, nanti lanjut lagi.” Pengemudi berkata, “Nggak kok, nggak apa-apa.” Lalu beberapa menit kemudian dia terkantuk-kantuk lagi dan semakin tidak fokus menyetir. Saya harus melihat kiri-kanan dan berkata “Pak, awas kiri! Awas kanan! Pak, rem!!!”

Buat saya ini menjengkelkan. Mengecewakan. Dan membahayakan. Puncaknya Jumat lalu, ketika pengemudi taksi sudah saya tegur 2 kali karena mengantuk dan saya minta untuk berhenti dulu dan cuci muka, tapi tidak mau. Jadilah di kilometer 30-an kami nyaris terserempet mobil besar dari arah kanan. Pengemudi baru menghindar ketika saya bilang, “Pak, awas!!!”

Di situ saya marah dan berkata,”Pak, berhenti! Minggir sekarang! Sekarang juga! Sebelum kenapa-kenapa!”

Begitu berhenti di pinggir jalan, pengemudi itu berkata,”Saya turun sebentar cuci muka ya, Bu.”

HOOOOIIII, yang bener aja! Bukannya dari tadi udah diminta begitu, yaaa -____-

Saya mengerti mengantuk itu manusiawi. Saya juga tidak akan protes kalau pengemudi bilang bahwa ia mengantuk dan butuh istirahat sebentar. Justru mereka yang tidak bilang dan tetap nekat membawa mobil meski sudah disuruh istirahat itulah yang membuat saya jengkel bukan main. Konsentasi menyetir pasti buyar jika dalam keadaan mengantuk, dan ini sangat membahayakan!

Sebenarnya yang membuat saya lebih kesal lagi, ini jalan tol. Kalau di jalan biasa sih saya akan memilih turun di pinggir jalan dan mengambil taksi lain daripada membahayakan nyawa sendiri. Kalau di jalan tol, saya bisa apa? Apalagi Exit satu dengan yang lain terkadang cukup jauh, sehingga kalau mau keluar tol pun masih harus menunggu cukup lama. Pertanyaan saya, karena cukup seringnya saya menemukan pengemudi yang ketiduran ini, apakah memang sebegitu panjangnya jam kerja di Burung Biru sehingga mereka begitu keletihan? Atau bagaimana? Karena dari 6 kali pengalaman pengemudi yang ketiduran, 1 kali terjadi pada siang hari, lho. Dan bukan malam hari. Apakah perlu ada perhatian khusus mengenai hal ini dari manajemen Burung Biru?

Dan karena sudah 6 kali mengalami hal semacam inilah, saya memutuskan kapok menggunakan layanan Burung Biru. Mungkin masih bolehlah jika untuk jarak dekat. Tapi untuk jarak jauh saya lebih baik menggunakan jasa layanan taksi lain (yang setelah dicoba ternyata malah lebih baik layanannya ketimbang Burung Biru, dan pengemudinya tidak ketiduran).

Saya tidak mengatakan bahwa semua pengemudi Burung Biru tidak ada yang baik. Ada juga yang masih menjaga reputasi Burung Biru, bahkan saya jadikan langganan 🙂 Mungkin juga di luar sana masih banyak orang yang punya pengalaman baik dengan Burung Biru. Tetapi tidak dengan saya. Bukan saya. Saya enggan ‘deg-deg plas’ dalam perjalanan panjang menuju Bogor dan harus berteriak-teriak mengawasi jalanan sambil menyenteri pengemudi dengan cahaya handphone agar saya bisa melihat apakah dia sedang ketiduran.

Entahlah, apakah hanya saya saja yang merasakan bahwa layanan Burung Biru mulai menurun?

hanny

45 Responses

  1. di Malang ndak ada burung biru mbak, tapi dari pengalaman saya dan istri (yang kebetulan orang jakarta) memang pelayanan blue bird ndak seprima dulu. paling standard ndak tau jalan, atau yang bikin kesel waktu saya pernah diputer-puter di kota, harusnya tinggal belok kanan sampe lha kok ini belok kiri dulu, trus belok kanan lagi, trus kanan lagi, trus kanan lagi, asem!

    mari persenjatai diri dengan GPS! 😀

  2. wah wah gawatz … gimana ya tuh proses rekrutmen n trainingnya ….
    trus customer service-nya, kalo dikomplain gimana reaksinya ya ….
    apa cuek2 aja atau ada sanksi buat pengemudi tersebut ….
    kalo aku udah aku laporin tuh, pengemudi nomer sekian, nama: pak X, KETIDURAN.

    aku pertama-tama masih lapor, tapi terus karena ga ada laporan balik ke aku dan ga ketauan kompensasinya juga, belakangan jadi udah males lapor 😀

  3. saya ndak ngerti bagaimana proses rekrutmen supir taksi, masih tetep aneh rasanya kalau seseorang diterima jadi supir, sementara dia tak kenal medan, apalagi untuk seputaran Jakarta. Kalau ndak tau jalan mending ndak usah narik taksi, alasan bahwa mereka masih baru pun sulit untuk diterima.

    sampai saat ini tidak fanatik pada burung biru, krn saya pikir taksi yg lain pun pasti berusaha untuk memperbaiki layanannya agar ndak slalu dinomor sekiankan setelah si burung biru.

    setuju, her. seenggaknya supir baru ditraining dulu ya, agar setidaknya tau daerah-daerah jakarta yang ‘basic’. kalo mblusuk-mblusuk mungkin masih bisa dimengerti kalo nggak tau. tapi kalo jalan protokol ga tau juga sih T___T hadeuuuh. saya juga sekarang pakai yang lain selain burung biru kok, sekarang lagi suka sama yang ada tivi kabelnya, supirnya lebih sopan, nyetirnya enak, on-time, di-follow up terus kalo mesen lewat telepon, dan utk jarak Jkt-Bgr, lebih murah 60rb dibandingkan Burung Biru! 😀

  4. Hi hi hi, saya ketipu, dari judul saya kira “Burung Biru” itu si Twitter .. ternyata si taksi 😉

    Iya nih, emg terasa kualitasnya turun banget.

    Kalau masalah sapa-menyapa saya maklum, kali aja Pa Supir lupa, tapi kalau sampai ngantuk dan ga tau jalan itu tidak boleh dimaklumi, udah coba komplein ?

    Untungnya deket apartemen sekarang bukan si “Burung Biru” yang hinggap, tapi si “cepat”. hahaha

    udah komplain beberapa kali, tapi karena merasa cuma ditanggapi ‘baik nanti kami tegur’ tapi nggak ada effort yang kerasa, ya udah sekarang udah malas komplain lagi :)) si “Cepat” oke tuh, banyak yang tau jalan tikus supirnya! 😀

    1. iya, emg si “cepat” supirnya asik2, kadang2 suka ngajak ngobrol mengenai musik dan politik, nilai plus tuh, *kyanya diajarin kewarganegaraan saat training*.

      Pernah saya dibawa nyusur komplek demi komplek, menghindari macetnya sekitar plaza semanggi 😉

      bener, si cepat lebih tau jalan2 tikus 😀

  5. oknum itu kan emang selalu ada, hanny.. (halah oknum). gue sih ga pernah naik burung biru sejak ada taksi tarif bawah, apalagi kl jarak jauh. mahal bener.. kmrn gue ke bogor naik omprengan aja, cuma 10 ribu :mrgreen:

    gue masih agak ngeri el, naik omprengan, takut salah naik dan isinya entah siapa :))

  6. Padahal setiap supir burung biru yang kedapatan kecelakaan di jalan tol, mereka akan langsung dipecat tidak hormat loh. Seharusnya dgn ancaman itu, merrka lebih berhati- hati.

    oh ya? gitu ya, pit??? *baru tau*

  7. padahal desember lalu pas pulang indo, gua ngeliat armada burung biru ini jadi bertambah banyak banget ya…
    apa karena itu ya? apa mereka sekarang memperbanyak armada, jadi penerimaan karyawannya udah gak seketat dulu? atau trainingnya udah gak ada lagi atau gimana ya…

    payah juga ya kalo supirnya kualitasnya begitu. itu bahaya banget… apa udah nyoba untuk komplein?

    iya, betul. kalo komplain sih cuma dibilang akan ditindak supirnya dll, tapi ya ga jelas kelanjutannya gimana dan tidak ada kompensasi juga

  8. Saya udah lama ga pake burung biru. Selain lebih mahal dari si cepat, dua kali sepupu saya (orang yang berbeda!) dari luar kota dibawa muter-muter sebelum sampai tujuan.. bikin naik darah..

    Komplen? Sudah.. tapi ga ada respon tuh..

    iya, ga jelas komplainnya larinya ke mana. diteruskan apa nggak…

  9. wah hanny, hati2 yaa..
    anyway, diriku juga kalo kepaksa banget pulang lebih malem dari biasanya atau berangkat pagi2 buta, sering memakai jasa si burung biru.. dan, sepertinya masih lebih baik ketimbang kalo siang hari..

    sepertinya para pengemudi yang budiman, pada berpindah jadi shift malam atau pagi buta.. yang siang2, diberikan pada rookie atau yang mereka sudah keburu lelah

    huhuhu 😐

  10. eh serem yak sopirnya nekat banget nyetir sambil ngantuk
    *jadi ingin @k_amelia @ceritaeka @wiewae dengan #pakudin nya 😐

    Pak Udin kenapa? Kenapa? #ketinggalanberita

  11. Wah Mba…aku 2 bln terakhir bermasalah terus sama si burung biru, pertama waktu aku berkendara, aku kasih lewat orang nyebrang trus dia dr belakang gak sabar trus nyalip dan mepetin ampe hampir nyerempet!! kedua waktu aku jln kaki mau sebrang jalan, aku udah kasih tangan minta jalan eh dia malah nge-gas-in…aneh ya? kok bisa sih kwalitas drivernya jadi erorisme begitu???

    nggak tau, aku juga bingung, padahal sayang, udah lama banget bangun brand mereka sehingga dapet reputasi yang bagus, sayang kalau nggak dijaga baik-baik, sih…

  12. pertama baca judulnya kirain postingannya soal twitter, ternyata soal taksi itu toh. aku sih pribadi belum pernah mengalami kejadian yang gimana2 sama taksi ini, mungkin karena lebih sering naik bajaj dibanding taksi, getarannya lebih nikmat *ngelantur*..

    tapi lega juga karena dirimu tidak knp2 pada akhirnya.. fiuhh thank God!

    btw, salam kenal ya, baru pertama kali kesini 🙂

    kalo naik bajaj ke bogor susah soalnya, nanti aku ga bisa berhenti bergetar! 😀

  13. Tidak tahu jalan, ngantuk (saya sampai pernah mengganti jadi supirnya), bau rokok, tidak ramah … sudah semua. Sampai saya menemukan Pak Eka yang sekarang jadi langganan saya tiap kali saya ke Jakarta.

    saya juga ada langganan Pak Dhe, namanya Pak Ade, tapi kalo doi lagi libur ya naik yang lain aja deh 😀

  14. Di deket kontrakan saya ada semacam pool-nya Blue Bird, di depan gerbangnya terdapat spanduk bertuliskan “Dibutuhkan Cepat Banyak Pengemudi”. Apa karena itu jadi penerimaan sopirnya jadi kurang selektif ya? Katanya sih kebanyakan sopir BB itu orang dari daerah yang baru datang di Jakarta dan belum kenal jalan-jalan di Jakarta 😐

    oh yaaaa, baru tauuu 😐 mungkin juga ya 😐

  15. ngejar target permintaan yang membludak.
    tapi kekurangan tenaga sopir yang tau jalan..
    waktu awal-awal di jakarta, bener-bener mengandalkan blue bird buat pergi kesana-kesini (secara diriku gak tau jalan gituh..)
    lha yang repot kalo nemu sopir taksi yang bilang : “aduh, wilayah saya jakarta utara, bu.. maaf.. saya kurang tau jakarta selatan..”
    terpaksa harus nelpon bang Suprie buat memandu si sopir taksi..

    cieh, ihiii ihiii, kalo dulu nelp suprie, sekarang… judulnya nostalgia ya tik 😀 xixixixi *dilempar panci*

  16. serem banget di setirin sama supir yg ngantuk!
    bagaimana pun, di Jakarta terutama, ga banyak pilihan selain Blue Bird 😛

    Waktu itu sempet diskusi sama temen… kenapa ga ada yg nyaingi Blue Bird dalam hal reputasi dan fasilitas. ckckck

    sekarang saya langganan transcab 😀 sejauh ini puas dan belum ada insiden, semoga jangan *berdoa* 😀

  17. Saya sudah lama berpaling ke primajasa.
    Sangat memuaskan selama ini

    oooh primajasa bagus, yaaa! boleh ah ntar kapan2 aku cobaaa! ^o^

  18. Ini persis keluhan saya yang paling utama sama BB group. Saya juga paling marah sama yang ngantuk. Konon, menurut salah satu pengemudi yang pernah ngobrol sama saya, masalah ini menjadi masalah yang paling sulit teratasi dibanding komplain lainnya. Ini lantaran kalau kita komplain pengemudi ngantuk, yang kena ada dua pihak: pengemudi dan pihak pool yang melakukan manajemen shift pengemudi tersebut. Jadi susah kalau begini, karena ada dua pihak yang masing2 bisa punya alasan sendiri.

    Kalau komplain yang lain gampang karena yang kena sangsi langsung driver-nya.

    oooh, wah, bahaya juga ya, mas. tapi apakah memang ‘ngantuk’ ini karena shift mereka yg terlalu panjang? soalnya kok belakangan makin sering ketemu supir ngantuk -______- dan ini membahayakan banget, kalo ga tau jalan sih ya paling nyasar, tapi kalo ngantuk kan… *hiks*

  19. Kalau saya pengalaman yg menyebalkan dengan Burung Biru adalah dipisuhi. Cuma gara2 saya ngasihnya duitnya pas argo (biasanya saya lebihin beberapa ribu), lha ini begitu saya mau nutup pintu, dia misuh “ASU”. WTF??!!

    HAH!!!! menyebalkan sekaliiih goooeeennn!!! 🙁 🙁 trus kamu buka lagi ga pintu taksinya dan menggonggongi supir taksinya: WUF WUF!!! 😀

  20. akhir2 ini memang lebih sering nemu sopir burung biru yang ga tau jalan, bikin sebel kalo pas kitanya lagi perlu ke daerah yang kita juga nggak tau. Pernah juga dapet sopir yang ramah banget, ngajak cerita mulu, tapi yang diceritain adalah pengalaman kriminalnya sampe sempet harus lari ke luar jawa sebelum jadi sopir taxi. Gimana gw ga pengen sesegera mungkin loncat keluar taxi??

    apaaa? pengalaman kriminallll??? kok horor???!!! *siapin golok*

  21. AH! saya sudah malas naik BB kecuali dapat voucher taksi dari kantor. pernah dari blok M mau ke senayan, supirnya nanya, “itu di mana ya mbak?”

    YAOLOH PAK, TINGGAL LURUS AJA!!

    LOL :)) :)) *getok pake sepatu bot merah*

  22. Menurut saya juga layanan burung biru sudah ga sebagus dulu.

    Pernah waktu saya mau ke stasiun, eh taksinya telat hampir 30 menit, terus pas turun, si sopir marah gara2 saya ngasih duit pecahan besar dan dia ga punya kembalian. Sialan.

    Terus pernah jg kejadian 2x, saya mau les, eh, taksinya telat 40 menit. Lesnya uda mulai kalee.. Akhirnya saya batalin. Dan habis itu saya ga pernah naik burung biru lagi. Ntar kalo kepepet baru mau naik lagi deh.

    iya, tuh, kalo mesen telat dan ga ngasih tau itu sebelll bangetttttt *grrr*

  23. daku juga pernah 2 kali han pas pulang menuju rumah eh nyasar sampe pondok gede dan cibubur, padahal daku udah mastiin di awal, tau arah ke daerah tempat daku ndak, katanya tahu *lah wong cuma masuk keluar tol doang*. sebenarnya daku ndak masalah kalo mereka khilaf ya, tapi kedua driver ini sama-sama gak bilang minta maaf sama sekali! itu yang bikin kesel sih… karena itu daku sekarang kalo ndak kepepet banget prefer naik express atau putra aja, lebih murah dan sama amannya 😀

    EH BENER DIM! ga minta maafnya itu lebih menyebalkan daripada kesalahan yang diperbuat!!! *ngunyah rawit*

  24. Naik taksi lain juga belum tentu bagus.
    Temanku naik taksi putih, Express.
    Dari kantornya di Thamrin mau ke Pluit.
    Eh salah jalan malah sampai Pasar Baru!
    Kemudian dgn alasan mau buka puasa, teman sy diturunkan
    disuruh ganti taksi..
    Teman sy nggak berani protes, takutkena semprot supir:(

    iiih menyebalkan sekaliiiii 🙁

  25. Pokoknya setuju sekali sama komplain2 di atas.
    Supir BB janjian nggak tau jalan kali yah? Buat ngejar argo.

    hihihi 😀

  26. Kalo naik taksi, gw selalu punya kebiasaan dengerin MP3. Bukan apa-apa, tapi emang kalo lagi commuting gitu selalu lebih enak sambil dengerin MP3, daripada bengong. Dulu kalo naik si biru ini, selalu nyaman. Begitu duduk, disapa sama supirnya, ditunjuk argo sudah menyala, ditanya mau kemana abis itu udah. Bisa santai dengerin MP3, Twitteran atau tidur.

    Sekarang? Ya salam. Boro-boro dengerin MP3 (walopun kesannya sepele, tapi gw sebel kalo lagi enak-enak dengerin musik tiba-tiba disela dengan “Palmerah itu dimana ya bu?” ALAMAAAAKKK! Sekalian aja gw bilang kalo BSD itu bukan Serpong, tapi Bintaro Sonoan Dikit kali ya?) mau ngelamun aja ga bisa. Dikit-dikit harus, “pak, di depan belok kanan ya,” “pak, ga usah belok kiri, lurus aja,” atau sampe gontok-gontokan karena si pak supir ngerasa paling tau jalan padahal salah 😐 Bukan berarti si biru ini jelek sih ya, masih ada yang bagus dan berkualitas, tapi kok ya banyakan yang nggilani ketimbang yang waras.

    Jauh mendingan naik Express sih gw rasa sekarang, walo supirnya masih kurang ramah (dan berupaya khusnudzon. Siapa tau dese lagi sariawan, gyahaha) tapi begitu dibilang nama tujuan, pak supir langsung tau mau kemana, lewat mana dan jalan alternatif mana yang bebas macet.

    Jadi panjang XD Heuhe, numpang curhat bos XD *dikeplak*

    LOL gpp *peyukpeyuk*, kangen cupcupppp!!! sini doooong!!!!!!!!!!

  27. Iya, sopir Blue Bird semakin bertambah banyak turun kualitasnya. Tidak tahu jalan tak apa, penumpang bisa mengarahkan, atau bertanya ke orang di pinggir jalan.

    Untuk urusan kantor kadang saya tak ragu memesan Silver Bird.

    yang kasihan kalo penumpangnya tak tau jalan sih 😀

  28. terdampar 🙂

    kata2 pembuka nya udah ngena banget. di saat kita udah terkenal (baca: diketahui) baik, orang2 akan lebih berharap yang lebih baik dari kita

    sama seperti manusia ya 😀

  29. Taxi BluBird sudah mulai tidak tepat waktu, saya pesan malem utk sekolah pagi jam 6 sampai 6.30 masih dicarikan, Profesional dong, ternyata sama aja sama taxi abal abal laennya ya Bluebird reputasinya jeleeeeeeeekkkk!!!!!!

  30. halo ka hanny! aku waktu itu pesen taksi bluebird ke rumah dan tiba-tiba yang dateng dua, dan supirnya dua2nya td rencana buat ninggalin orderan aku gr2 gak enak satu sama lain. ini gara2 operatornya kak katanya. ug ngasih order ke dua supir, dan pas aku blg ke supirnya jgn ninggalin customer mending ngalah satu sama lain drpd ngerusak image bluebird di mata customer, sopirnya kekeuh mendingan ninggalin drpd ribut sama sopir yg lain. dan lagi, katanya ini udah kejadian 3 kali dalam sebulan terakhir.

    mamaku jg pernah pesen taksi subuh2 untuk naik travel dan dia nyasar dan terlambat, tapi ini baru sekali sih, sebelum2nya gak pernah gitu.

    meskipun gmn, sampe skrg aku kmn2 masih tetep pake bluebird soalnya taksi yg paling gampang ditemuin masih itu, jarak yg biasanya aku tempuh juga gak jauh2, jd smpe skrg mgkn masih lebih prefer pake bluebird 🙂

    anyway, krn baca posting ini aku jd dpt byk referensi taksi yg lain yg bagus juga! makasi ya kaa.

  31. Sorry ya. Menanggapi kaka admin yg pernah dapet taksi dg pengemudi ngantuk, minta pengemudi menepi dan stop argo dg alasan bp mengantuk, kalo di pinggir tol jauh dr rest area minta pengemudi tungguin kaka, tp kalo dkt rest area turun aja di rest area.
    Selanjutnya telepon reservasi blue bird Sebutin No Taksi (penting banget untuk di tindak oleh taksi biru) minta kirimin taksi baru Minta yg tidak ngantuk (biasanya kalo malem minta crew malam, kalo siang minta crew siang)
    Kalo jawabannya ga bisa Bilang ke operatornya “saya turun di rest area atau di pinggir tol krn pengemudinya ngantuk”
    Biasanya operator akan minta acc dari spv dan akan kirimkan taksi baru.

    Kalo taksi terlambat. Mengingat burung biru adalah taksi nomor 1 pastinya yang pesen bukan cuma 1atau dua orang perjamnya tapi RIBUAN/jamnya itu sy hitung dr jumlah taksi yg ada dr perusahan tsb dg jumlah lbh dr 30rb armada jadi bisa menampung order lebih dari puluhan ribu. Jadi operator pasti akan ada miss info ke kita kalau terlambat atau taksi terlambat.

    Jadi saran saya 15menit sebelum jam penjemputan make sure udah ada taksi dan minta operator cek posisi taksi apakah sdh dekat dg rumah alamat jemput kita. Jd terhindar dari keterlambatan.

    Kenapa saya tau? Sepupu saya kerja disana dan sering cerita dalam 1jam bisa ada 2000 telpon masuk baik pesan atau pun cek.. semoga ini bisa jadi bahan pertimbangan sebelum komplain

    Customer adalah Raja, Raja adalah orang bikjaksana. Jadi jadilah customer yg bijaksana 🙂

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP