Ah.

Tanpa kamu, aku masih akan duduk-duduk dengan segelas kopi tubruk. Ngorek-ngorek sisa makanan yang nyelip di geraham pakai tusuk gigi. Ngidam dim sum setiap kali lewat Duck King dan masih saja kepingin mie ayam jorok dekat tempat sampah Melawai situ. Lalu lupa waktu begitu masuk Kinokuniya atau Times. Dan masih nggak bosan-bosan nonton My Blueberry Nights dan Two Lovers berkali-kali.

Tanpa kamu, aku juga masih akan rajin malas-malasan di kala hujan. Masih gemar berkendara entah ke mana: hidung menempel di jendela, mata jelalatan pada lampu rem dan lampu jalan yang merah oranye. Hidupku selalu terasa lebih produktif ketika jadi penumpang, meski cuma dihabiskan buat bengong dan online di handphone.

Tanpa kamu, aku juga masih akan mendengarkan Endah dan Rhesa, memutar Catch The Windblows berulang-ulang sampai orang rumah ketularan bersenandung. Atau selonjor di Dreamland tengah hari bolong, duduk di atas pasir tanpa payung tanpa sunblock, pasang headphone terus nonton ombak. Aku juga masih kangen makan es duren sambil ngobrol di pinggir jalan atau pesan toge goreng nggak pakai toge. Ngantri beli martabak atau tahu Sumedang yang ada cocolan sambal kecapnya itu.

Tanpa kamu, tempat tidur juga masih akan jadi surgaku. Semua harta dalam hidupku adanya nggak jauh-jauh dari situ. Jaraknya cuma selengan atau setungkai. Aku masih akan lari ke alam mimpi ketika ngantuk atau kebluk. Masih suka menyalakan AC siang-siang biar bisa tidur pakai selimut. Masih akan capek menghadapi sekian persoalan hidup yang memang nggak bakalan selesai.

Tapi, kalau ada kamu, rasanya lain.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

skate my heart awaySekotak ingatanku tentangmu adalah serupa film-film sedih. Sesak akan beberapa episode perpisahan yang selalu dilalui seorang diri (lucu, karena bukankah sebuah perpisahan biasanya melibatkan dua orang—ia yang tinggal dan ia yang pergi?).

Selalu ada kota-kota asing dengan pemandangan yang tak kukenali. Rewind episode-episode sebelumnya sembilan kali. Ada hujan yang turun terlalu dini (dan sejak saat itu tidak pernah lagi berhenti, sehingga setiap kali perpisahan itu terjadi, kelopak langit selalu meneteskan gerimis).

Repetisi hi-and-goodbye ini seperti iklan wafer cokelat yang diulang-ulang—bukan cuma tiga, tetapi dua puluh kali, hingga perjumpaan dan perpisahan ini mulai terasa sebagai satu siklus yang nyaris menjemukan sekaligus mengerikan.

Hai.

Sejak lama, genangan hujan telah menjelma danau yang beku lapisan atasnya. Di sanalah, setiap kali kau kembali, kita bersua. Angin dingin menerpa wajahmu yang merona selagi kau berseluncur riang di atas danau beku itu; menyerpih-nyerpih permukaan es-nya dengan gesekan pisau tajam di bawah sepatumu.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

LightYou don’t run with the crowd, you go on your own way, you don’t play after dark, you light up my day. Got your own kind of style that sets you apart. Baby, that’s why you captured my heart.

I know sometimes you feel like you don’t fit in. And this world doesn’t know what you have within. When I look at you I see something rare: a rose that can grow anywhere, and there’s no one I know that can compare.

What makes you different makes you beautiful. What’s there inside you shines through me. In your eyes I see all the love I’ll ever need. What makes you different makes you beautiful to me.

You’ve got something so real, you touched me so deep. The material things don’t matter to me. So come as you are, you’ve got nothing to prove. You won me with all that you do, and I wanna take this chance to say to you:

“You don’t know how you’ve touched my life. Oh, there are so many ways, I just can’t describe. You taught me what love is supposed to be. It’s all the little things that made you beautiful to me.”

Everything in you is beautiful, love you give shines right through me. Everything in you is beautiful to me…

———

*) I know, I know, it’s a lyric from a Backstreet Boys song, and–guess what, I have never even heard the song! But it pretty much sums up everything, so there you go, sunshine!

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

The most comfortable feeling in the world is when I’m squeezing marshmallow, or sitting lazily at Coffee Bean: slurping Sunrise and enjoying the yellowish view of Chicago Cheese Cake,

Chicago Cheese Cake Coffee Bean & Tea Leaf

or gazing admirably at a talented friend, who was drawing Coin A Chance! mascot on her Wacom,

Picture 30

or, as my bestfriend put it, the most comfortable feeling in the world also involve having too much coffee plus staring blankly at the sky for far too long. Or even performing this stupid Chicken Dance and singing meow-meow cat song…

or having an unbelievable 12-hour shopping trip in Bandung with some hip girls

Bandung Trip

The moral of this unessential posting is: “Life is indeed beautiful!” 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Hari Rabu adalah hari kesayangan saya. Tidak tahu persis mengapa atau bermula bagaimana. Seperti juga angka sembilan. Yang biasanya saya tunjuk ketika diberi pilihan. Mungkin karena ini juga nomor kesayangan pesepak bola Italia, Vincenzo Montella (love you!).

L'aeroplaninoDulu, di depan layar televisi, saya biasa mencari kaus bernomor punggung sembilan. Nomor sembilan biasanya merentangkan kedua tangan lebar-lebar sambil berlari untuk merayakan gawang lawan yang jebol. Seperti pesawat terbang.

Sewaktu Batistuta datang ke AS Roma dan meminta nomor punggung 9, Montella menolaknya mentah-mentah. Batistuta harus puas dengan nomor punggung 18. Sayangnya, ketika Montella kembali ke AS Roma setelah dipinjamkan ke Sampdoria, nomor 9-nya sudah keburu disandang Vučinić. Jadi Montella pun mengambil nomor punggung Vučinić: 23.

Terlepas dari itu semua, hari ini adalah hari Rabu tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan. Sejak bangun tidur tadi pagi, saya sudah tahu bahwa hari ini akan istimewa. Tidak perlu ‘sempurna’, tetapi pasti akan ‘istimewa’. Rasanya seperti firasat.

ADotPKebetulan, beberapa hari lalu, saya dikontak Lisa Siregar, seorang jurnalis dari Jakarta Globe. Kami berjumpa di Twitter karena sama-sama punya ketertarikan terhadap proyek ‘A Day on the Planet‘: merekam momen pribadi orang-orang di seluruh dunia pada tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan, dalam satu halaman A4, untuk kemudian dibukukan.

Salah satu pertanyaan Lisa kepada saya adalah: “Are you planning to do something special on September 9?”

Saya katakan kepada Lisa, bahwa saya belum punya rencana apa-apa. Saya juga masih belum tahu apakah saya perlu melakukan sesuatu yang ‘spesial’ or to just let the moment flows naturally.

Ternyata saya memilih yang belakangan.

The Greatest Thing Since Sliced BreadSaya tahu bahwa hari ini akan menjadi istimewa ketika saya menemukan sebuah novel di Amazon. Judulnya The Greatest Thing After Sliced Bread. Penulisnya Dan Robertson.

Pada salah satu halamannya, Morris Bird III yang berusia sembilan tahun bercakap-cakap dengan anak perempuan yang ditaksirnya, Suzanne Wysocki.

“I don’t think much about dying.”

— “You should,” said Suzanne.

“Why?”

— “Because it’s going to happen to you.”

Kalimat ini mengendap di benak saya hingga siang tadi. Saya dan kawan saya baru saja pulang dari sebuah rapat. Begitu mobil kami melewati apotik Senopati, kawan saya memekik dan berkata,”Aduh, gue nggak tega lihat orang tua itu. He looks exactly like my father when he’s dying…”

Saya yang duduk menghadap kawan saya dan membelakangi jendela, tidak sempat melihat dengan jelas. Rupanya ada seorang kakek yang terduduk di pinggiran trotoar. Dan kawan saya menggambarkannya seekstrim itu. He looks exactly like my father when he’s dying.

Mengingat salah seorang rekan kami di kantor bertempat tinggal tak jauh dari apotik Senopati, kawan saya itu pun berniat ‘menitipkan’ sesuatu untuk si kakek. Apa saja. “Seharusnya orang setua itu ada yang ngurusin,” ujar kawan saya, sedih bercampur geram.

Dying. Sudah dua kali hari ini.

WishSaya ingat, beberapa waktu lalu, saya dan seorang sahabat lama berbincang mengenai sepuluh hal yang ingin kami lakukan sebelum kami meninggal dunia. Kami sama-sama berhenti di nomor lima.

Tepatnya, saya sempat berhenti di nomor lima, kemudian memaksakan diri menulis sesuatu di urutan 6.

Saya tidak yakin saya sungguh-sungguh menginginkannya. Saya tuliskan sebaris kalimat hanya untuk mengisi titik-titiknya.

Hari ini, saya memandangi daftar permohonan itu kembali. Memandangi urutan 1 sampai 5. Urutan nomor 6 yang ‘terpaksa’. Dan urutan 7 sampai 10 yang tidak terisi. Saya tak bisa ungkapkan di sini apa saja permohonan saya, tetapi secara acak melibatkan kata-kata berikut: aurora, kafe di negeri yang jauh, sebuah novel, pesawat tempur, musim gugur, dan sebuah perjalanan.

Lalu saya melihat daftar permohonan sahabat saya di atasnya. Dengan nomor 6 sampai 10 yang masih berupa titik-titik. Dan saya melihatnya. Saya mengerti.

Ini seperti sebuah aha-moment, atau apalah namanya. Ternyata 10 permohonan memang terlalu banyak jika hanya ditujukan untuk diri sendiri.

Mungkin sebenarnya saya cukup meminta dua atau tiga untuk saya pribadi, lalu mengalokasikan yang empat sampai sepuluh untuk orang lain. (Tak lupa menyisakan satu dari tujuh untuk binatang-binatang. Dan satu dari enam untuk tumbuh-tumbuhan.)

Dan jika titik-titiknya tetap tidak terisi juga, biarkan saja.  Sometimes, we don’t really need to fill in the dots. Mungkin memang belum waktunya. Sebagaimana cinta yang belum saatnya: terkadang hanya bisa mengisi sela-sela jari, dan bukan sela-sela hati.

Dan memang tidak ada hari yang lebih istimewa dari hari-hari ketika kita bisa mempelajari sesuatu yang baru, tentang diri sendiri.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP